Jumat, 16 November 2012

Awas, Malaysia Ingin Alihkan Kasus Pemerkosaan TKW



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- LSM pemerhati buruh migran, Migrant Care, meminta Pemerintah Indonesia jangan mau termakan pengalihan isu yang dilakukan Pemerintah Malaysia. Kuat dugaan akan terjadi pengalihan isu dari tindak perkosaan TKW Indonesia menjadi isu keimigrasian.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan berdasarkan informasi yang diperoleh, Pemerintah Malaysia tengah berupaya menggiring aksi kriminalitas tersebut ke ranah pelanggaran ke imigrasian.

Pasalnya ketika bertemu dengan tiga pelaku yang notabenenya adalah Polisi Diraja Malaysia, SM hanya membawa salinan paspor. "Ini perlu mendapat perhatian serius, jangan sampai ada pengalihan isu ke masalah keimigrasian," ujarnya saat ditemui di depan Kantor Kedutaan Besar Malaysia, Kuningan, Jakarta, Jumat (16/11).

Dia menyebut sebenarnya Pemerintah Malaysia dan Indonesia telah memiliki MoU mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran di mana PRT migran berhak memegang paspor sendiri dan memperoleh hari hari libur. "Namun nyataanya MoU tersebut tidak dimplementasikan di lapangan," katanya.

Bahkan lemahnya Pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas pada pemerintah Malaysia menyebabkan berbagai kasus kekerasaan terhadap PRT migran terus berulang.

Untuk itu, Migrant Care mendesak Pemerintah Indonesia mengirimkan nota protes diplomatik ke Malaysia. Selain itu, Anis menuntut pemerintah Indonesia bersikap tegas pada Malaysia untuk mengimplementasikan MoU Indonesia-Malaysia tentang PLRT/PRT ke Malaysia 2006 yang telah diperbaiki melalui penandatanganan MoU kedua Negara pada 30 Mei 2011.
Redaktur: Djibril Muhammad
Reporter: Qommarria Rostanti

sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/11/16/mdl51k-awas-malaysia-ingin-alihkan-kasus-pemerkosaan-tkw

Selasa, 18 September 2012

Pulang Merantau Tiga PRT Positif AIDS

Laporan Wartawan Pos Kupang, Alfons Nedabang

TRIBUNNEWS.COM, TAMBOLAKA - Tiga warga Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), semuanya wanita dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT), positif HIV/AIDS. Saat ini, keberadaan ketiganya tidak diisolasi tetapi tinggal bersama anggota keluarga masing-masing.

Demikian diungkapkan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Propinsi NTT, dr. Husein Pancratius, saat ditemui di Tambolaka, Selasa (18/9/2012).

"Semua kelompok masyarakat rentan HIV/AIDS, termasuk PNS. Yang istimewa di SBD, ada tiga orang PRT positif AIDS. PRT positif AIDS ini baru. Dan SBD sebagai perintisnya. Selama ini yang kita tahu, wanita/perempuan positif AIDS," kata Pancratius.

Menurut Pancratius, dengan ditemukannya PRT positif AIDS menunjukkan bahwa atensi pemerintah Kabupaten SBD sangat bagus. Ia juga menilai Pemda SBD bagus dalam hal penanggulangan HIV/AIDS. Meski baru menjadi daerah otonom, namun SBD sudah ada rumah sakit yang dilengkapi dengan VCT untuk pengobatan penderita HIV/AIDS.

"Tinggal saja masyarakat menggunakan fasilitas yang sudah disiapkan pemerintah," ujar Pancratius yang saat itu didampingi Gusti Brewon, staf KPAD Propinsi NTT.

Pancratius mengatakan, perlu dicari tahu riwayat kerja tiga PRT dimaksud. Apakah mereka direkrut sebagai PRT, istri simpanan atau PSK (perempuan pekerja seks). Karena setelah bekerja mereka pulang dengan membawa penyakit HIV/AIDS.

Ia menduga ada unsur tidak peduli dari siapa saja yang merekrut tenaga kerja, termasuk perusahaan jasa tenaga kerja indonesia (PJTKI).

"Siapa pun yang merekrut tidak perhatikan kesehatan tenaga kerja. Tenaga kerja tidak dibekali dengan pengetahuan HIV/AIDS dan bagaimana pencegahannya. Semua pihak harus bekerjasama," tandas Pancratius.

Terkait kerja sama, Pancratius menaruh respek yang besar kepada Kapolsektif Loura, Kompol Antonia Pah. Meski baru menginjakkan kakinya di SBD, belum sampai 24 jam karena tiba Senin (17/9/2012), sudah memiliki ide menjadikan Polsektif Loura peduli HIV/AIDS.

Polsektif Loura merupakan Polres SBD persiapan. Tanggung jawab Kepala Polsektif hampir sama dengan Kapolres, karena memiliki wilayah dalam satu kabupaten.

"Saya ketemu ibu Antonia Pah. Beliau mengatakan akan menjadikan Polsektif peduli HIV/AIDS, ditindaklanjuti dengan penandatanganan MoU antara Polsektif dengan KPAD SBD. Walau belum 24 jam di SBD tapi berniat mewujudkan Polsektif peduli HIV/AIDS. Saya pikir ini yang pertama di NTT," puji Pancratius.

Menurutnya Kapolsektif Loura menunjukkan naluri keibuannya karena prihatin dengan perempuan penderita HIV/AIDS.

"Kalau semua Kapolres di NTT seperti ibu Antonia, kita bubarkan KPAD," katanya.

Ia mengakui, polisi menguasai 'populasi kunci' yang diidentifikasi menjadi sumber penularan penyakit.

Populasi kunci dimaksud, seperti waria dan PSK. Dengan begitu, memudahkan polisi untuk melakukan pembinaan. "Saya senang ibu Antonia memberikan suatu wawasan yang baru bagi saya dan kita semua," ujar Pancratius.

sumber:
http://www.tribunnews.com/2012/09/18/pulang-merantau-tiga-prt-positif-aids

Minggu, 16 September 2012

Pengiriman TKW/PRT Dihentikan 2017



Minggu, 16/09/2012 - 18:49

SUMBER,(PRLM).- Pemerintah akan menghapuskan pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) sektor pembantu rumah tangga (PRT) pada tahun 2017. Kalau pun masih kirim PRT harus jelas kontraknya baik upah, jaminan kerja dan standard ketrampilannya.

"Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sudah menyusun road map 2017. Saat ini di Malaysia saja terdapat 2,5 juta pekerja infornal yang ilegal dari Indonesia,"kata Menakertrans Muhaimin Iskandar di Munas Alim Ulama NU di Pontren Kempek, Cirebon, Sabtu malam (14/9).

Saat ini Indonesia sudah menutup total pengiriman TKW ke luar negeri sehingga gaji TKW PRT naik tiga lipat karena berkurangnya pasokan PRT. "Namun kami kesulitan untuk menutup sama sekali karena pengirim TKW memanfaatkan visa umrah untuk bisa bekerja," katanya.

Menurut Muhaimin, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri akan dilakukan selektif dengan tenaga kerja terdidik. "Bukan untuk PRT yang susah diawasi sehingga banyak masalah. Tenaga kerja yang menjadi PRT sebagian besar pendidikannya SD bahkan tak lulus SD," katanya. (A-71/A-26).***

sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com/node/203646

Minggu, 09 September 2012

PRT Citra Raya Cikupa-Bekasi Gelar Halal Bi Halal

Kabar6-Kelurahan Mekar Bakti dan Yayasan Mitra Imadei (YMI), menggelar halal bihalal dan temu kenal Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di Perumahan Citra Raya, Cikupa dan Bekasi.



Seremonial halal bihalal berlangsung semarak di Aula Kantor Kelurahan Mekarbakti, Kecamatan Panaongan, Kabupaten Tangerang, Minggu (9/9/2012).

Panitia halal bihalal, Maria dari YMI mengatakan, pertemuan ini digelar untuk memberikan pembinaan dan saling mengenalkan sesama profesi PRT.

Pasalnya, PRT bukanlah pembantu semata, mereka juga memiliki hak dan kewajiban, baik upah yang layak, waktu libur, jaminan kesehatan dan pendidikan.

Apalagi, lanjutnya, PRT sekarang multi fungsi mulai dari memasak, mencuci, melaksanakan semua tugas rumah.

“Maka dari itu mereka harus memiliki wawasan dan keterampilan yang lebih dikembangkan, agar tidak hanya dipekerjakan semata,” katanya.

Maria menambahkan, melalui keberadaan YMI, para ibu-ibu PKK di Kelurahan Mekar Bakti melakukan pembinaan PRT di wilayah tersebut. Mulai dari kursus memasak, menjahit, hingga kejar pendidikan paket A, paket B dan paket C.

“Dalam pembinaan ini, para PRT tidak dipungut biaya sepeserpun,” kata Maria.

Sementara itu, Lurah Mekarbakti Nasita Sunarya berharap kegiatan ini terus berjalan dan bisa dirasakan khususnya di wilayah Mekarbakti.

Begitupun dengan Camat Panongan, Hendar Herawan, yang berharap PRT agar SDM dan wawasan PRT bisa meningkat lebih baik. Hingga, kedepan mereka bisa memilih jalan ataupun pekerjaan yang layak dan mampu bersaing dengan wanita lainnya.

Hadir dalam kegiatan ini, Hsiung Amanda, LEE Global Fund sebuah lembaga internasional yang menangani hak-hak Pekerja Rumah Tangga dari Amerika, LBH Jala Jaringan Nasional PRT, Lurah Kelapa Dua Dadang Sudrajat dan puluhan PRT dari Bekasi dan Mekarbakti.(dre/*)

sumber:
http://www.kabar6.com/tangerang-raya/komunitas/5033-prt-citra-raya-cikupa-bekasi-gelar-halal-bi-halal.html

Selasa, 04 September 2012

Komisi IX DPR: PRT Harus Dapat Perlindungan Maksimal



Tuesday, 04 September 2012 19:33

Jakarta - Anggota Komisi IX DPR RI, Poempida Hidayatulloh Sudah selayaknya peran, tanggung jawab, hak, dan kewajiban profesi Pekerja Rumah Tangga (PRT) mendapat perlindungan hukum yang memadai.

"Sudah sangat layak PRT mendapatkan tempat yang khusus dalam konteks perlindungan hukum, melingkupi peran, tanggung jawab, hak dan kewajiban profesi tersebut," kata Poempida, di Jakarta, Selasa (4/9).

Menurutnya, hal tersebut harus mendapatkan perlindungan hukum maksimal karena PRT semakin menjadi suatu elemen yang cukup signifikan dalam menciptakan kelancaran kehidupan individu-individu, terutama di daerah urban dalam kehidupan domestik rumah tangga.

Siginifikansi elemen ini, tidak dapat disepelekan dalam kehidupan berbangsa. Pasalnya, ditengarai terdapat kurang lebih 11 juta lebih Warga Negara Indonesia (WNI) yang terdata mempunyai profesi sebagai PRT.

Poempi, begitu politisi Golkar yang merupakan Anggota Panja RUU PRT mengatakan, kompleksitas permasalahan yang melekat dalam profesi PRT secara umum tidak berbeda dengan profesi pekerja dan buruh lainnya. Namun, kekhususan dalam konteks profesi PRT, adalah basis elemen pemberi kerja (majikan) yang berupa individu, bukan kelompok berbadan hukum, dan ruang lingkup kerja yang merambah sektor privasi si pemberi kerja, yakni rumah tangga.

PRT lanjutnya, jelas mempunyai akses yang langsung pada informasi privasi para pemberi kerja sebagai akibat interaksi pribadi ruang lingkup kerjanya. "Keamanan domestik rumah tangga pun seringkali bertumpu pada integritas dan tanggung jawab PRT," ujarnya.

Sebagai profesi yang banyak diperankan oleh kaum marginal, perlindungan bagi PRT secara khusus harus ditata berdasarkan pertimbangan HAM, posisi PRT dalam ranah hukum dan posisi PRT sebagai WNI di mata konstitusi Republik Indonesia.

Terkait hal itu, proses perancangan UU PRT ini masih menyisakan sedikit dilematika dalam beberapa isu. Pertama, basis mekanisme pengupahan tergantung dari parameter sosial ekonomi demografis Indonesia yang tidak dapat disamaratakan di seluruh daerah di Indonesia.

Kedua, mekanisme pengawasan dari pembuat kebijakan. Ketiga, formalisasi profesi PRT yang membutuhkan standar kompetisi dan pelatihan yang mumpuni. Keempat, proses hukum dalam hal terjadinya persengketaan/perselisihan antara PRT dan pemberi kerja. Kelima, jenjang karir profesi PRT.

Tantangan lainnya, tambah politikus Partai Golkar itu, adalah kekhawatiran dari pihak-pihak yang berperan sebagai pemberi kerja (majikan), yang pada umumnya tidak menyukai berbagai formalitas administrasi sebagai konsukuensi implementasi UU PRT ini di kemudian hari.

Atas dasar itu, Komisi IX DPR RI berkomitmen menjawab segala tantangan di atas untuk dapat merancang suatu undang-undang yang berlandaskan Konsitusi Republik Indonesia.

"Kumpulan referensi dan berbagai simulasi 'system thinking' adalah basis yang saya gunakan untuk secara logis dan bertanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam perancangan UU PRT ini," pungkasnya. [IS]



Perlindungan PRT Harus Ditata Berdasarkan HAM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh mengatakan perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) secara khusus harus ditata berdasarkan pertimbangan HAM, posisi PRT dalam ranah hukum dan posisi PRT sebagai WNI di mata konstitusi Republik Indonesia.

Pasalnya menurut dia, PRT semakin menjadi suatu elemen yang cukup signifikan dalam menciptakan kelancaran kehidupan individu-individu terutama di daerah urban dalam kehidupan domestik rumah tangganya.

Siginifikansi elemen yang satu ini, imbuhnya, tidak dapat disepelekan dalam kehidupan berbangsa. Mengingat ditengarai terdapat kurang lebih 11 juta lebih Warga Negara Indonesia yang mempunyai profesi sebagai PRT (yang terdata).

"Sudah sangat layak jika kemudian PRT mendapatkan tempat yang khusus dalam konteks perlindungan hukum yang melingkupi peran, tanggung jawab, hak dan kewajiban profesi tersebut," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (4/9/2012).

Anggota Panja RUU PRT mengatakan kompleksitas permasalahan yang melekat dalam profesi PRT secara umum tidak berbeda dengan profesi pekerja dan buruh lainnya. Namun kekhususan dalam konteks profesi PRT adalah basis elemen pemberi kerja (majikan) yang berupa individu, bukan kelompok berbadan hukum, dan ruang lingkup kerja yang merambah sektor privasi si pemberi kerja (rumah tangga).

PRT lanjutnya jelas mempunyai akses yang langsung pada informasi privasi para pemberi kerja sebagai akibat interaksi pribadi ruang lingkup kerjanya. "Keamanan domestik rumah tangga pun seringkali bertumpu pada integritas dan tanggung jawab PRT," katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan proses Perancangan UU PRT ini masih menyisakan sedikit dilematika dalam beberapa isu. Pertama, basis mekanisme pengupahan tergantung dari parameter sosial ekonomi demografis Indonesia yang tidak dapat disamaratakan di seluruh daerah di Indonesia.

Kedua, mekanisme pengawasan dari pembuat kebijakan. Ketiga, formalisasi profesi PRT yang membutuhkan standar kompetisi dan pelatihan yang mumpuni.

Keempat, proses hukum dalam hal terjadinya persengketaan/perselisihan antara PRT dan pemberi kerja. Kelima, jenjang karir profesi PRT.

Tantangan lainnya tambah politikus Partai Golkar adalah kekhawatiran dari pihak-pihak yang berperan sebagai pemberi kerja (majikan), yang pada umumnya tidak menyukai berbagai formalitas administrasi sebagai konsukuensi implementasi UU PRT ini di kemudian hari.

Sebagai informasi, Komisi IX DPR RI berkomitmen untuk dapat menjawab segala tantangan di atas untuk dapat merancang suatu Undang Undang yang berlandaskan Konsitusi Republik Indonesia.

"Kumpulan referensi dan berbagai simulasi “system thinking” adalah basis yang saya gunakan untuk secara logis dan bertanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam perancangan UU PRT in," katanya.

Andri MALAU

sumber:
http://www.tribunnews.com/2012/09/04/perlindungan-prt-harus-ditata-berdasarkan-ham

Rabu, 29 Agustus 2012

Filipina Tak Mau Lagi Kirim PRT ke Luar Negeri

TEMPO.CO, Manila - Pemerintah Filipina baru saja mengumumkan rencana penghentian pelaksana (pembantu) rumah tangga ke luar negeri. Menteri Tenaga Kerja Rosalinda Baldoz telah memerintahkan Agen Pengiriman Pekerja ke Luar Negeri (POEA) untuk menghapuskan secara bertahap pengiriman tersebut selama lima tahun.

POEA adalah lembaga resmi pemerintah yang mempromosikan dan mengawasi pekerja Filipina di luar negeri. Alternatifnya, pemerintah mencoba mencari peluang yang lebih bagus ketimbang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

"Tapi kemungkinan kami masih mengirim pekerja ke Eropa," ujar Ketua POEA, Hans Cacdac, Senin, 27 Agustus 2012. Sebab negara di benua biru tersebut memberikan upah yang tinggi bagi para pekerja Filipina.

Sebenarnya, menurut Cacdac, bukanlah hal yang memalukan menjadi pekerja rumah tangga. Tapi ternyata banyak dari pekerja rumah tangga yang dikirim tersebut memiliki latar belakang pendidikan formal, seperti guru atau perawat, sehingga seharusnya mereka mendapat pekerjaan yang lebih baik dengan upah yang lebih tinggi.

Saat ini lebih dari 1 juta pekerja Filipina yang bekerja sebagai asisten rumah tangga. Kebanyakan mereka berada di kawasan Asia Tenggara atau Timur Tengah. Angka tepatnya sekitar 1,2 juta. Total ada sekitar 5,5 juta pekerja Filipina di luar negeri. Jadi, para pekerja asisten rumah tangga hampir mencapai seperempatnya.

Cadcac menambahkan, permintaan pekerja domestik asal Filipina meningkat. Permintaan terbesar datang dari Italia. Diikuti Malaysia, Singapura, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, Arab Saudi, Oman, dan Hongkong. "Jumlah ini terus naik. Saya bisa bilang, sepertiga dari pekerja domestik adalah orang baru," ujar dia.

Untuk pertama kalinya pada 2011, pekerja domestik baru menembus angka 100 ribu per tahun. Biasanya hanya berkisar 60-70 ribu per tahun. Tahun lalu, mencapai 142 ribu pekerja.

Cacdac menyatakan, citra tentang negara pengekspor pembantu adalah masalah yang sensitif. Bagi dia bukan soal citra. "Kami lebih peduli untuk memastikan bahwa setiap pekerja memiliki pekerjaan yang sah, layak, dan bermartabat di luar negeri," kata dia.

Awal bulan ini, Filipina menjadi negara kedua di dunia (setelah Urugay) yang meratifikasi konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang pekerja rumah tangga yang layak. Tahun lalu, Cacdac juga menjadi kunci dalam pembuatan konvensi standar pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga di seluruh dunia

sumber:
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/29/118426183/Filipina-Tak-Mau-Lagi-Kirim-PRT-ke-Luar-Negeri

Lebih Baik Menjadi PRT di Negeri Sendiri

KASUS Muji, sarjana asal Solo yang jadi korban perdagangan manusia, sebagai TKI di Malaysia, makin membuka mata betapa kejinya perdagangan manusia. Kalau umumnya berita yang muncul di media massa korban perdagangan manusia (trafficking) adalah orang-orang yang berpendidikan tidak terlalu tinggi, kali ini lain.

Alumnus universitas ternama di Yogyakarta ini harus menjadi pembantu rumah tangga (PRT) setelah dijual oleh ''majikan'' lama ke majikan baru seharga 12.500 ringgit atau seharga Rp 37 juta. Hal itu baru diketahuinya setelah berulangkali majikan mengatakan, ''Aku sudah membeli mahal kamu.'' Muji baru sadar ia jadi korban perdagangan manusia.

Kita bisa membayangkan betapa sedih Muji yang sarjana sampai tertipu begitu. Menurut pengakuannya di TV-0ne (24/8, Kabar Pagi), kejadian yang menimpa dirinya terkuak berkat kebaikan seseorang yang berbelanja di toko tempat ia bekerja.

Kepada orang itu, ia mengeluhkan tidak diizinkan shalat dan berpuasa. Orang itulah yang melaporkan peristiwa yang dialami Muji ke Migran Care Malaysia, yang kemudian membawa kasusnya ke KBRI.

Muji berkisah, ia ingin memperbaiki nasib, mencari biaya sekolah untuk anak-anaknya. Bahkan ia berencana nantinya akan memboyong keluarganya ke Malasyia. Takdir berkata lain. Ia jadi korban penipuan, meskipun untuk keberangkatannya ke Malaysia, PJTKI tempat ia mendaftar adalah resmi.

Sampai di Malaysia, ia dipekerjakan di sebuah kantor asuransi. Lima hari di sana, setiap kali menanyakan job-nya, tidak dijawab. Tiap hari ia diminta memasukkan data ke komputer, sampai kemudian dipindahkan ke ''majikan'' baru. Di tempat baru menjadi pembantu pada keluarga yang membuka toko.

Merasa tidak berdaya (paspor diminta majikan, tak punya duit dan terbatas akses keluar), maka ia menceriterakan nasibnya pada seorang pembeli yang baik hati di tokonya.

Muji mengimbau kepada masyarakat agar tidak pergi keluar negeri untuk bekerja jika tidak mempunyai keahlian khusus.

Ceritera Muji yang belum selesai itu membuka kisah tentang kemiskinan, semangat memperbaiki nasib, dan takdir Tuhan.

Kenekatan berangkat keluar negeri merupakan iktikad seseorang yang ingin memperbaiki nasib. Untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang, ribuan orang mendaftar, bahkan ke pengerahan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) ilegal.

Berpikir Ulang

Dalam persoalan plus minus menjadi PRT di luar negeri, rasanya sosialisasi agar masyarakat (khususnya perempuan) menahan diri atau berpikir ulang, perlu selalu dilakukan. Bahwa menjadi PRT di dalam negeri jauh lebih baik dan aman.

Data yang ada di KBRI Malaysia , dalam bulan Mei 2012, 52 TKW ada di selter KBRI dengan masalah antara lain gaji yang tidak dibayar, pelecehan seks dan kekerasan (Pelita on line, 24 Agustus 2012) .

Di negeri yang bahasanya umumnya masih dimengerti oleh TKI saja permasalahan sebanyak itu, apalagi di negeri yang bahasa dan budaya sangat berbeda. Untuk kasus PRT, rasanya pantas kita menerapkan peribahasa ''lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang''.

Menjadi PRT di luar negeri bukan saja mengabaikan pendidikan anak (bagi PRT yang seorang ibu, yang setahun sekali belum tentu bisa berkumpul dengan keluarga) tetapi juga keselamatan diri.

Gaji antara Rp 500.000 - Rp 1.000.000 /bulan (dalam negeri) sangat lebih baik daripada Rp 2 juta yang untuk memperolehnya harus meninggalkan keluarga dan beberapa risiko.

Beberapa langkah, menurut penulis, yang perlu dilakukan antara lain (pertama) kampanye atau sosialisasi terus menerus yang dilakukan oleh aktivis agar masyarakat tidak cepat tergiur dengan jumlah rial, ringgit atau dolar yang besar ketimbang pada rupiah yang nilainya mungkin lebih kecil, namun lebih aman dan berkah.

Bahwa ringgit atau rial memang pantas diterimakan untuk yang berhak yaitu mereka yang memang betul-betul memiliki keterampilan selain PRT .

Masyarakat perlu mewaspadai adanya jaringan gelap perekutan TKI di desa ataupun di kota. Di sini peran aktivis pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sangat diperlukan.

Kedua, masyarakat lebih memanusiakan PRT di dalam negeri dengan memberi gaji yang lebih pantas dan hak sebagai pekerja seperti hari libur dan tunjangan /bantuan kesehatan.

Ketiga, ramai-ramai mewujudkan pekerja paruh waktu. Menjadi asisten (pembantu) keluarga tidak harus bermalam. Datang pagi (sesuai kesepakatan ), akan sama-sama menguntungkan, khususnya di keluarga yang tidak ada anak kecil yang harus dimomong (diasuh).

Keempat, pemerintah segera menyelesaikan UU tentang PRT yang menguntungkan dua pihak, yaitu majikan dan PRT/asisten.

Kelima, memperbanyak program pemberian keterampilan yang mendorong kemandirian perempuan baik oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat. (24)


– Humaini As, Ketua Yayasan Kepodang /Koalisi Komunikasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KKP3A)

sumber:
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/08/29/196883/10/Lebih-Baik-Menjadi-PRT-di-Negeri-Sendiri

Minggu, 26 Agustus 2012

Kesibukan Warga Jakarta Tinggi, PRT pun Jadi Primadona

JAKARTA--MICOM: Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Musni Umar mengatakan tingginya tingkat kesibukan di Jakarta membuat warga ibu kota semakin bergantung dengan pekerja rumah tangga (PRT) maupun pengasuh bayi. Tingkat kebutuhan pembantu di Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kota lain.

"Dibandingkan kota lain Jakarta memang sangat tinggi kebutuhan dan ketergantungan terhadap pembantu. Ini selaras dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang juga meningkat. Semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin ingin warga dilayani," ungkap Musni kepada Media Indonesia, Minggu (26/8).

Menurut Musni, tidak sedikit perumahan mewah di Jakarta yang mempekerjakan pembantu hingga belasan bahkan puluhan dengan gaji yang menggiurkan. Kebutuhan tersebut, imbuhnya, menimbulkan simbiosis mutualisme antara pembantu dengan majikan.

"Ini yang membuat permintaan akan pembantu tetap tinggi," jelasnya.

Sayangnya, Musni menilai tingginya ketergantungan terhadap pembantu tersebut tidak diimbangi dengan pembentukan profesionalitas kerja PRT maupun pengasuh bayi. Kebanyakan bekerja tanpa kontrak dan gaji yang jelas.

"Majikan beranggapan bisa mempekerjakan pembantu sepanjang masa, di sisi lain pembantu juga tidak punya disiplin kapan kembali jika pulang kampung. Banyak yang tidak bisa dihubungi atau tidak kembali ketika pulang kampung. Profesionalisme ini yang harus diperbaiki," tandasnya. (Vni/OL-10)


sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/08/08/343402/38/5/Kesibukan-Warga-Jakarta-Tinggi-PRT-pun-Jadi-Primadona#.UDwwTmoKK9Q.twitter

Senin, 13 Agustus 2012

November, PRT Asal Indonesia di Singapura Harus Digaji Lebih

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Pada akhir tahun nanti, warga Singapura yang ingin mempekerjakan pembantu asal Indonesia.

Mereka yang ingin menggunakan tenaga TKI, mulai November harus menandatangani kontrak dengan klausul yang berbunyi PRT asal Indonesia harus dibayar paling sedikit 450 dolar Singapura (Rp3,43 jutaan).

Klausul lain dalam kontrak juga menyatakan jika ia bekerja sepekan penuh bahkan di hari liburnya tiap bulan, maka ia harus mendapat upah tambahan. Gaji tambahan yang harus dibayarkan yakni 70 dolar Singapura (Rp500 ribuan) untuk per hari libur yang digunakan bekerja.

Kedua klausul itu dipastikan muncul dalam kontrak yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia. Namun seberapa jauh kontrak itu memastikan tenaga kerja Indonesia mendapat kompensasi adil bergantung terhadap penegakan hukum keras. Sementara, menurut komentar The Strait Times, jejak rekam Kedutaan Besar Indonesia dalam persoalan ini selalu penuh lubang.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Strait Times

sumber:http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/13/m8ogkj-november-prt-asal-indonesia-di-singapura-harus-digaji-lebih

Press Release JPPRT

Berikut adalah Press Release dari Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta menanggapi pernyataan Kepala Disnakersos Sleman terkait TKI PRT.


JARINGAN PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA (JPPRT)

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Anggota Jaringan : ABY, Forum LSM DIY, IHAP, ICM, Koalisi Perempuan Indonesia DIY, Kongres Operata Yogyakarta (KOY), LKBH UII, LOD, LOS, LSPPA, LBH Yogyakarta, LSKP, Mitra Wacana, PKBH UMY, PKBI DIY, PSB, Rifka Annisa, Rumpun Tjoet Njak Dien, SAMIN, Sahabat Perempuan, Serikat PRT Tunas Mulia, SP Kinasih, Yasanti, Yayasan Kembang dan individu-individu.

Sekretariat bersama: RTND, Jalan Gurami UH VI/300B Sorosutan Umbulharjo Yogyakarta

Telp./Fax.: 0274 – 384056, E-mail: jpprt_yogya@yahoo.com



Press Release

Tanggapan Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Atas Pernyataan Kepala Disnakersos Sleman tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) PRT




Ia menjelaskan, pertimbangan kekerasan terhadap TKI informal, seperti, pekerja rumah tangga, menjadi salah satu penyebab penghapusan rekomendasi oleh pemkab untuk bidang tersebut.

“Selain itu, kami juga tidak ingin harga diri bangsa diinjak-injak dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang,” ujarnya.

(cuplikan pernyataan Kepala Disnakersos Sleman)



Kami dari Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta, menyatakan kekecewaan dan keprihatinan atas pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Disnakersos Sleman, Yuli Setiono Dwi Warsito, seperti diberitakan Media Surat Kabar Harian Jogja 3 Agustus 2012 dengan tajuk “PENGIRIMAN TKI: PRT Asal Sleman Dipastikan Ilegal” (sumber: http://www.harianjogja.com/2012/channel/jateng/pengiriman-tki-prt-asal-sleman-dipastikan-ilegal-315750)


JPPRT menganggap pernyataan Kepala Disnakersos Sleman tersebut telah menyakiti hati Pekerja Rumah Tangga. Bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) PRT diluar negeri bukanlah tanpa alasan, tetapi karena desakan kesulitan ekonomi keluarga dan sulitnya mendapatkan pekerjaan di negeri sendiri menjadikan alasan yang sangat mendasar bagi para Tenaga Kerja Indonesia yang berprofesi sebagai PRT. Meski disisi lain belum ada instrumen hukum yang menjamin pemenuhan hak-hak TKI, khususnya PRT, dan perlindungan atas kondisi rentan mereka yang dikarenakan lingkup kerja yang sangat privat. Kondisi ini memberi ruang bagi pelanggaran hak-hak PRT, penyiksaan dan perbudakan.


Pemerintah seharusnya tidak bisa menutup mata bahwa Tenaga Kerja Indonesia bukan hanya berjasa bagi keluarga, tetapi juga pada negara sebagai penghasil devisa. Dengan kondisi tersebut, pernyataaan yang disampaikan Kepala Disnakersos Sleman sangat bertolak belakang dengan apa yang telah disumbangkan oleh para pahlawan “Devisa Negara” tentang berapa besar jasa yang diberikan setiap tahun untuk negeri ini.


Penghapusan rekomendasi oleh Pemkab untuk pengiriman PRT sebagai TKI bukanlah solusi dari ketiadaan perlindungan di dalam negeri. Setelah kegagalannya menyediakan lapangan pekerjaan di negeri sendiri, sekarang dengan kebijakan tersebut pemerintah mencoba mempersempit ladang dunia kerja yang berhak dipilih oleh warga negaranya, meskipun itu adalah untuk menjadi PRT di negeri orang. Seharusnya kegagalan tersebut ditebus dengan memperlengkapi atau memberikan pendidikan yang tepat dan proporsional bagi para calon PRT migran bukan malah kembali melanggar hak warga negaranya. Perlu diketahui bahwa perlindungan juga mencakup proses pendidikan bagi warga negara dalam hal ini calon TKI. Jika demikian dapat disimpulkan bahwa Pemerintah lah yang melanggengkan kekerasan terhadap PRT dengan sikap lalainya menyediakan aturan yang melindungi PRT. Kalau memang Pemkab Sleman tidak mengizinkan warganya untuk menjadi tenaga kerja PRT ke luar negeri, apakah Pemkab Sleman telah memberikan kehidupan yang layak bagi rakyatnya?


Perlu kami tegaskan bahwa PRT merupakan salah satu tenaga kerja yang dibutuhkan di Indonesia dan di berbagai belahan dunia. Berdasarkan peran, jasa, permasalahan dan juga pernyataan Kepala Disnakersos Sleman terhadap TKI yang berprofesi sebagai PRT, Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta mendesak :

1. Hentikan segala bentuk diskriminasi terhadap profesi PRT,

2. Hargai PRT sebagai profesi Pekerja Rumah Tangga, bukan aib bangsa,

3. Segera wujudkan sistem perlindungan hukum bagi PRT, baik domestik maupun migran.



Yogyakarta, 13 Agustus 2012


Salam Solidaritas

Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta




PENGIRIMAN TKI: PRT Asal Sleman Dipastikan Ilegal


SLEMAN–Pekerja rumah tangga asal Sleman yang bekerja di luar negeri hampir dipastikan ilegal. Alasannya, Kabupaten Sleman sudah tidak merekomendasikan Tenaga Kerja Indonesia bekerja pada sektor informal di luar negeri.

Kepala Disnakersos Sleman, Yuli Setiono Dwi Warsito menuturkan, pekerja rumah tangga asal Sleman yang bekerja di luar negeri pasti tidak melalui tahap yang seharusnya. Mulai dari meminta rekomendasi ke Disnakersos, hingga mengurus surat-surat yang dibutuhkan. Kemungkinan, lanjutnya, mereka menumpang daerah lain dan dokumen yang digunakan tidak sah.

Ia menambahkan, kejadian ini akan tampak ketika para pekerja rumah tangga tersebut mengalami masalah di tempat kerjanya. “Barulah ketahuan asal mula bagaimana mereka bisa bekerja di luar negeri,” ungkapnya kepada Harian Jogja, Jumat (3/8).

Ia menjelaskan, pertimbangan kekerasan terhadap TKI informal, seperti, pekerja rumah tangga, menjadi salah satu penyebab penghapusan rekomendasi oleh pemkab untuk bidang tersebut.

“Selain itu, kami juga tidak ingin harga diri bangsa diinjak-injak dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang,” ujarnya. (ali)

sumber: http://www.harianjogja.com/2012/channel/jateng/pengiriman-tki-prt-asal-sleman-dipastikan-ilegal-315750

Jumat, 03 Agustus 2012

PENGIRIMAN TKI: PRT Asal Sleman Dipastikan Ilegal

SLEMAN–Pekerja rumah tangga asal Sleman yang bekerja di luar negeri hampir dipastikan ilegal. Alasannya, Kabupaten Sleman sudah tidak merekomendasikan Tenaga Kerja Indonesia bekerja pada sektor informal di luar negeri.

Kepala Disnakersos Sleman, Yuli Setiono Dwi Warsito menuturkan, pekerja rumah tangga asal Sleman yang bekerja di luar negeri pasti tidak melalui tahap yang seharusnya. Mulai dari meminta rekomendasi ke Disnakersos, hingga mengurus surat-surat yang dibutuhkan. Kemungkinan, lanjutnya, mereka menumpang daerah lain dan dokumen yang digunakan tidak sah.

Ia menambahkan, kejadian ini akan tampak ketika para pekerja rumah tangga tersebut mengalami masalah di tempat kerjanya. “Barulah ketahuan asal mula bagaimana mereka bisa bekerja di luar negeri,” ungkapnya kepada Harian Jogja, Jumat (3/8).

Ia menjelaskan, pertimbangan kekerasan terhadap TKI informal, seperti, pekerja rumah tangga, menjadi salah satu penyebab penghapusan rekomendasi oleh pemkab untuk bidang tersebut.

“Selain itu, kami juga tidak ingin harga diri bangsa diinjak-injak dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang,” ujarnya. (ali)

sumber: http://www.solopos.com/2012/channel/jateng/pengiriman-tki-prt-asal-sleman-dipastikan-ilegal-315750

Kamis, 02 Agustus 2012

Malaysia Minta Puluhan Ribu PRT dari Indonesia

TEMPO.CO, Kuala Lumpur - Setelah dicabutnya pembekuan pengiriman pembantu rumah tangga (PRT) ke Malaysia, ratusan agensi dan pengerah tenaga kerja di Negeri Jiran tersebut mulai mengajukan permohonan (demand letter) melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. Dari sekian banyak permohonan, KBRI telah menyetujui 22.250 surat.

Hal tersebut dijelaskan Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur Agus Triyanto saat ditemui Tempo di ruang kerjanya, Kamis, 2 Agustus 2012. “Ada 108 agensi dan pengerah tenaga kerja yang mengajukan permohonan ini. Namun, kami baru menyetujui 22.250 surat,” kata Agus.

Beberapa persyaratan diminta KBRI dari agensi sebelum meluluskan permohonan tersebut, di antaranya profil calon majikan serta gaji minimal 700 ringgit (sekitar Rp 2 juta) per bulan untuk penempatan baru.

Selain itu, menurut Agus, pihaknya juga giat memberi penjelasan kepada majikan dan pihak-pihak terkait di Malaysia bahwa pembantu rumah tangga harus mendapatkan perlakuan yang baik. “Kami jelaskan bahwa pekerja domestik kita itu bukan robot yang bisa bekerja apa saja dan kapan saja. Mereka itu manusia yang punya sisi kemanusiaan, hak asasi, dan harga diri," katanya.

Hal ini dilakukan untuk mendukung rencana penghapusan pembantu rumah tangga yang tinggal bersama majikan selama 24 jam. “Road map (ketentuan kerja) yang dibuat Puslitbang Kementerian Tenaga Kerja tahun 2017 nanti, pembantu rumah tangga bekerja sesuai kompetensi dan waktu kerjanya, serta tidak tinggal 24 jam bersama majikan,” kata Agus.

Pernyataan ini sekaligus mengoreksi keterangan Ketua BNP2TKI Jumhur Hidayat bahwa pengiriman pembantu rumah tangga akan dihentikan pada 2017. Karena itu, Atase Ketenagakerjaan KBRI giat melakukan pendekatan kepada pihak otoritas Malaysia agar ketentuan tenaga kerja 2017 tersebut bisa terlaksana.

MASRUR

sumber: http://www.tempo.co/read/news/2012/08/02/118420865/Malaysia-Minta-Puluhan-Ribu-PRT-dari-Indonesia

UU Perlindungan PRT: Kebutuhan Penting dan Mendesak bagi Pekerja Rumah Tangga!

Profesi Pekerja Rumah Tangga (PRT), masih dipandang “sebelah mata” oleh semua lapisan masyarakat, bahkan lapisan masyarakat tertinggi, dalam hal ini Negara. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan perundangan yang memberikan jaminan terhadap PRT yang mengatur secara jelas hak-hak PRT. Komitmen Presiden SBY untuk memberikan perlindungan terhadap PRT masih sebatas janji saja.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mencakup peraturan perlindungan bagi PRT. Satu-satunya peraturan yang bisa mengakomodir yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Namun UU tersebut hanya dapat diterapkan sebatas pada kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh PRT saja, tidak mencakup aspek-aspek ketenagakerjaan PRT, yang sangat sering dialami oleh PRT dan dalam beberapa kasus merupakan cikal bakal terjadinya kekerasan terhadap PRT.

Menurut Dinda Nuurannisaa Yura, aktivis dari Solidaritas Perempuan, yang telah sekian tahun bergelut dengan masalah PRT di Indonesia, kata ”Pembantu” dan ”Pekerja” bukan sekadar perbedaan istilah. Penggunaan terminologi Pekerja juga mengandung makna bahwa PRT juga memiliki hak sebagaimana pekerja lainnya.

Dinda, dalam diskusi online bulanan atau #diktum yang dilaksanakan oleh ICJR pada Kamis, 2 Agustus 2012 di Sekretariat ICJR, yang dimoderatori oleh Anggara, mengatakan bahwa apa yang dialami oleh para buruh migran yang bekerja sebagai PRT sebenarnya tidak jauh beda dialami juga oleh para PRT di Indonesia. Hanya saja tidak mencuat ke permukaan karena korban kerap kali hanya diam jika muncul masalah. Begitupun masyarakat yang mengetahui tentang masalah tersebut. Ditambah media kita juga sangat jarang mengangkat masalah-masalah PRT domestik, lebih sering mengangkat berita PRT di luar negeri.

Tentang jam kerja PRT, gaji yang rendah atau tidak dibayarkan, hak komunikasi, kekerasan fisik, merupakan permasalahan-permasalahan umum yang dialami oleh PRT domestik. Hampir semua PRT domestik (termasuk di Jakarta) bekerja tanpa perjanjian kerja, kecuali di Jogja karena. Sebagian PRT di Jogja telah bekerja dengan perjanjian kerja antara PRT dengan majikan. Hal itu dapat terjadi karena Jogja telah memiliki Perda PRT, disamping juga komunitas/ jaringan PRT di Jogja sangat solid dalam menyuarakan dan melakukan gerakan untuk perlindungan terhadap PRT.

Masalah-masalah yang dialami PRT domestik memang akan terminimalisir, jika Indonesia telah memiliki peraturan perundangan yang mengatur tentang PRT. Desakan masyarakat sipil akhirnya berhasil memasukkan RUU PRT kedalam prolegnas 2004 – 2009. Namun, sampai akhir masa jabatan DPR 2004 – 2009, RUU ini tidak dibahas sama sekali. RUU ini kembali masuk ke Prolegnas periode sekarang, dan masuk ke dalam prioritas tahun 2010 dan 2011. Berkat desakkan masyarakat melalui aksi di depan gedung DPR, RUU ini masuk prioritas 2012.

Berdasarkan Rapid Assesment JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga), 2009, jumlah PRT di Indonesia mencapai lebih dari 10 juta orang. UU PRT menjadi kebutuhan yang sangat pokok dan mendesak. Para PRT yang akan membawa kasus-kasus yang dialaminya ke jalur hukum banyak yang mengalami hambatan atau mandeg begitu saja karena para penegak hukum berdalih tidak terdapat dasar hukum yang menjadi dasar penyelesai kasus.

Masyarakat dapat turut mendorong perbaikan/perubahan terhadap kondisi atau keberadaan PRT, dengan merubah paradigma keberadaan PRT, cara pandang terhadap PRT. Masyarakat yang selama ini berperan sebagai majikan juga merupakan tonggak penting dalam perjuangan ini. (AV/ICJR)


sumber: http://icjr.or.id/uu-perlindungan-prt-kebutuhan-penting-dan-mendesak-bagi-pekerja-rumah-tangga/

Rabu, 01 Agustus 2012

Pemerintah Akan Hentikan Penempatan TKI PRT

[JAKARTA] Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat menyatakan pemerintah akan menghentikan penempatan TKI sektor informal atau penata laksana rumah tangga (PLRT).

"Bukan merendahkan TKI PLRT tetapi ada saatnya tidak ada lagi TKI PLRT," katanya di Pekanbaru, Selasa (31/7), dalam rangkaian Safari Ramadhan BNP2TKI V 24 Juli - 3 Agustus 2012 ke Sumut, NAD, Riau, dan Kepri.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi merencanakan penghentian penempatan TKI PLRT pada 2017. Sejauh ini pemerintah telah menghentikan penempatan sementara (moratorium) TKI PLRT ke Arab Saudi, Jordania, Kuwait, Suriah, dan Malaysia.

"Penempatan TKI PLRT tak akan dilakukan ke negara-negara yang tidak mampu menjamin perlindungannya," katanya.

Jumhur mengakui permasalahan TKI di luar negeri umumnya dialami mereka yang bekerja pada sektor informal atau penata laksana rumah tangga (PLRT) karena memang perlindungannya sangat rentan.

"TKI PLRT cenderung terisolasi karena bekerja dan tinggal di dalam rumah pengguna, hubungan kerjanya subyektif, emosional, dan tidak terjangkau oleh ketentuan perundang-undangan di negara penempatan," katanya.

Sedangkan bagi TKI formal atau mereka yang bekerja pada perusahaan berbadan hukum terjamin perlindungannya. Saat ini terdapat sekitar enam juta TKI di 116 negara dengan porsi 55 persen TKI informal atau PLRT dan 45 persen TKI formal.

"Jumlah TKI PLRT akan terus dikurangi hingga dihentikan pada suatu saat," katanya. Ia menegaskan, pemerintah mulai fokus pada penempatan TKI formal terampil, semiterampil, hingga tenaga-tenaga profesional.

Beragam persoalan TKI di luar negeri membuat pemerintah tertantang menggencarkan program prorakyat yang banyak menyerap tenaga kerja di dalam negeri. "Pemerintah perlu menggencarkan program prorakyat, jangan menyelesaikan masalah dengan menjadi TKI," kata Jumhur.

Ia menegaskan, doktrin BNP2TKI adalah mendahulukan masyarakat untuk mengabdi atau bekerja di dalam negeri dan tidak serta merta hanya menginginkan bekerja di luar negeri. "Sepanjang lapangan kerja di dalam negeri masih amat terbatas dan persoalan pengangguran dan kemiskinan maka siapapun termasuk pemerintah tak bisa menahan warganya untuk bekerja ke luar negeri karena itu merupakan HAM . Tugas pemerintah memfasilitasi," katanya.

Ia sangat mendukung bila kepala daerah selaku pemimpin pemerintah di daerah hingga pemimpin di pemerintahan pusat menyediakan lapangan kerja yang seluas-luasnya.

Sementara itu ketika menyampaikan kuliah umum di Universitas Riau,
Kepala BNP2TKI, Moh Jumhur Hidayat mengatakan globalisasi dunia yang ditandai dengan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan telah melahirkan ketidakadilan dalam liberalisasi migrasi.

"Ketidakadilan ini disebabkan para pemimpin negara maju mempersulit datangnya tenaga kerja asing (TKA)," ujar Kepala BNP2TKI ketika menyampaikan Kuliah Umum di Universitas Riau (UNRI) di Pekanbaru, Selasa (31/7).

Menurut Jumhur, bentuk ketidakadilan itu dicontohkan dengan meski para pemimpin negara-negara maju seolah membutuhkan adanya TKA untuk mengisi di banyak sektor namun dari sisi persyaratan yang diminta seperti soal bahasa sangat tidak masuk akal. "Untuk Australia, syarat skore IELTS yang diminta 7.0. Syarat tinggi itu untuk orang Australia sendiri sulit diraih," paparnya.

Ia menyayangkan, sifat hipokrit para pemimpin di negara maju. Padahal di level masyarakatnya, kebutuhan itu sangat dirasakan. Politik migrasi negara maju yang tertutup ini merugikan bangsa Indonesia. Yang butuh kerja, kata Jumhur bukan para pemimpinnya tapi masyarakatnya. Dan yang ingin kerja bukan Jumhur, tapi para TKI.

Dicontohkannya, di Jerman, ada permintaan 7.000 orang perawat Indonesia. Sayangnya, ketika BNP2TKI menyanggupi kebutuhan itu ada regulasi para pemimpin Uni Eropa yang membatasi datangnya pekerja dari luar Uni Eropa.

Kepada para mahasiswa UNRI, Jumhur mengatakan, kalau republik ini menyediakan tempat anda untuk mengabdi silahkan mengabdi kepada tanah air. Namun, bila pekerjaan tidak ada di dalam negeri silahkan bekerja di luar negeri. [E-8]


sumber: http://www.suarapembaruan.com/home/pemerintah-akan-hentikan-penempatan-tki-prt/22944

Rabu, 25 Juli 2012

PRT Migran Rentan Penganiayaan

Jia Xiang - Negara yang tidak membekali pendidikan yang memadai bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) Migran sama artinya dengan menggadaikan warganya ke pada bangsa asing. Ironisnya, situasi ini berlaku bagi PRT Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri, terutama di Timur Tengah. Mereka kebanyakan tidak dibekali dengan pendidikan dan latihan (Diklat) yang memadai.

Demikian mengemuka dalam diskusi antara Tim Institut Kapal Perempuan, Tim Jala PRT dengan Media masa pada Kamis (14/6/12) di Jakarta. Menurut aktivis Kapal Perempuan, Budhis Utami, masalah utama yang menyelimuti ruang PRT Migran Indonesia adalah perhatian pemerintah yang minim dalam hal memberi diklat dan persiapan.

Akibatnya PRT Migran Indonesia tidak mengetahui hak-haknya dan sering diperlakukan semena-mena oleh majikannya. Selain itu sering terjadi kesalahpahaman antara majikan dan PRT yang berbuntut kekerasan bagi PRT. “Selama ini PRT Migran hanya diajarkan menjadi penurut, sementara budaya masyarakat di negara calon majikan tidak diajarkan,” ungkap Utami.

Menurut Utami, situasi demikian terjadi karena Modul, Kurikulum Diklat Pra Pemberangkatan PRT migran yang dibuat pemerintah belum maksimal. Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKN) yang menjadi pelaksana pelatihan belum mengaplikasikan antara keterampilan, keadilan gender dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Akibatnya merebak pelanggaran terhadap hak dan kewajiban, seperti penambahan jam kerja yang di luar kontrak. Namun hal mendasar dari permasalahan itu adalah perjanjian kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan negara tujuan PRT, khususnya Arab Saudi yang masih lemah. Akibatnya majikan merasa bisa memperlakukan PRT Indonesia sekehendak hatinya. “Keadaan ini sangat berbeda dengan Thailand dan negara-negara lain yang memiliki badan perlindungan khusus yang siap mengawal PRTnya,” terang Utami.

Utami juga mengungkap beberapa temuan mengenai modul pendidikan bagi PRT migran ke Timur Tengah. Misalnya soal pendidikan pra pemberangkatan untuk PRT Migran. Bagi mereka yang baru pertama ke Timur Tengah, diklat untuk Penatalaksanaan Rumah Tangga (PLRT) berlangsung selama 21 hari (241 jam). Sedangkan yang sudah pernah bekerja di sana adalah 11 hari (120 jam). Dari pembagian waktu itu, 168 jam untuk pendidikan keterampilan dan 62 jam untuk PAP dan pengetahuan umum. Cara seperti itu lebih memfokuskan pada keterampilan dan kewajiban PRT agar bekerja lebih rajin dan manut kepada majikan. Modul yang diberikan juga tidak menginformasikan perihal hak pekerja, bahasa Arab, Peraturan yang melindungi PRT, dan undang-undang yang berlaku di negara tujuan. Diklat yang dilaksanakan juga tidak diawasi dengan ketat dari pemerintah sehingga banyak PRT migran yang lulus seleksi dan diberangkatkan sekalipun tidak dapat membaca. Dari sini jelas bahwa tidak diberlakukannya sanksi tegas dari pemerintah terhadap penyelenggara pendidikan bagi PRT migran seperti tercantum dalam pasal 41-44 UU No. 39/2004 tentang Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN). Dalam hal ini termasuk pemalsuan dokumen seperti menambah data usia PRT migran yang masih tergolong anak-anak.
Mantan PRT migran yang dikirim ke Arab Saudi, Sofianti menuturkan pengalamannya. Wanita 40an tahun itu sambil menangis menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya selama 8 tahun bekerja di sana. Saat itu usianya baru 17 tahun dan berangkat ke Arab demi memperbaiki ekonomi keluarga. Namun usianya dipalsukan menjadi 34 tahun. Saat itu dia hanya diajarkan agar rajin memasak, menyeterika dan trampil melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sofianti juga diajarkan agar selalu tersenyum dan ramah pada majikan. Namun saat dia tersenyum pada majikan laki-laki malah langsung ditampar, karena dianggap menggoda majikannya. Sebelum berangkat Sofianti hanya diajarkan memasak makanan Indonesia, seperti rawon, dsb. Padahal saat di Arab ketrampilan itu sama sekali tidak terpakai sehingga dia mesti belajar dari nol lagi. Di Arab, Sofianti bekerja di rumah yang memiliki 32 orang anggota keluarga. Awalnya dia hanya disuruh bersih-bersih. Namun setelah itu dia disuruh memasak, dan memberikan makanan kambing. Perjanjian kerja yang 8-10 jam, kemudian berubah menjadi 22 jam.
Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara yang diperkuat dengan pasal 28 c yang menyatakan bahwa pendidikan harus bisa mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidup demi kesejahteraan umat manusia, tak terkecuali para PRT migrant, sepertinya belum sepenuhnya dinikmati anak negeri ini.

Sementara itu, Koordinator JALA PRT, Lita Anggraini mengatakan belum maksimal melindungi PRT migrant. Mereka mudah sekali menjadi korban kekerasan, pemerasan, dan penipuan, di negara Timur Tengah. Stigma tentang upah murah, patuh dan rajin bekerja yang masih melekat di PRT asal Indonesia membuat PRT asal Indonesia mendominasi pasar kerja, terutama di Timur Tengah. Oleh sebab itu pemerintah didorong bertindak tegas dan segera meratifikasi Konvensi Internasional PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarga. Konvensi ini memadatkan perlindungan atas hak-hak Buruh migran dan keluarganya sebagaimana prinsip-prinsip dalam deklarasi universal hak asasi manusia, konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik, konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan hak anak, serta menentang diskriminasi dalam pendidikan dari organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya.[Donita T/W1]

sumber: http://jia-xiang.biz/read/prt-migran-rentan-penganiayaan

Kamis, 19 Juli 2012

Mengaku Disiksa Majikan PRT Nekat Kabur Panjat Atap Rumah

TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Seorang pembantu rumah tangga asal Lamongan bernama Rina membuat geger warga Kelurahan Tikala Kumaraka, Lingkungan IV, sekitar pukul 08.30 Wita, Kamis (19/5/2012).

Pagi-pagi buta, Rina sudah memanjat atap rumah keluarga Woinalang-Waleleng. Kepala Lingkungan IV Herry Hapsi mengatakan, Rina mengaku disiksa majikan sudah selama satu minggu ini.

"Pagi-pagi biasa kasih bersih lingkungan, biasa sapu-sapu. Tiba-tiba ada suara dari rumah keluarga Woinalang-Waleleng, depan rumah saya. Saya dengar di atas atap ada seorang ibu gerak-gerakkan tangannya. Dia kaseh tanda mau lompat. Kita bilang tunggu, tunggu. Baru kita bilang duduk dulu. Saya akan siapkan tangga untuk turun. Kurang 1-2 jam dia menunggu soalnya ini dua lantai, jadi harus atur tangga dulu," jelasnya.

Dia menambahkan Rina lari dari rumah sebelah. "Sekarang kita amankan di rumah saya, ketua lingkungan. Baru saya interogasi. Ternyata dia dari Lamongan. Kita datangkan orang Lamongan supaya berbicara dengan dia karena dia kurang bisa berbahasa Indonesia. Ternyata dia sudah sejak pukul 03.00 pagi di atas atap. Dia juga bilang sudah tiga bulan tak terima gaji. Katanya dia sering dianiaya, ada bagian tubuhnya yang terlihat memar," terangnya.

sumber: http://www.tribunnews.com/2012/07/19/mengaku-disiksa-majikan-prt-nekat-kabur-panjat-atap-rumah

Kamis, 28 Juni 2012

Delapan Tahun Disiksa, PRT Depresi

PURWOREJO - Malang nasib yang dialami Apriyanti (26) warga RT 03 RW I Desa Jogoresan, Kecamatan Purwodadi, Purworejo. Kepergiannya dari rumah pada 2004 yang semula ingin menjadi TKI, gagal. Dia justru dipekerjakan sebagai PRT di rumah seorang pengusaha restauran di Medan.

Nahas, majikannya tergolong orang temperamental. Dia mengalami penyiksaan dan selama delapan tahun dan tidak diizinkan pulang ke kampung halamannya. Baru beberapa hari lalu dia bisa pulang ke rumah dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Badannya kurus, rambutnya rontok, dan banyak sekali bekas luka di beberapa bagian tubuhnya. Apriyanti diduga mengalami depresi.

"Kejiwaannya terganggu. Setelah pulang ke rumah dan kami dapat laporan, bersama Disnakertransos langsung kami bawa ke rumah sakit. Dia mengalami trauma atas perlakukan majikannya selama delapan tahun," ujar Camat Purwodadi, Drs H MGS Sukusyanto MM, di sela-sela menjenguk korban ke rumahnya, kemarin.

Mustofah (44), ibu korban menjelaskan, awalnya setelah lulus MTs tahun 2004, anaknya memutuskan mengikuti jejak tetangga untuk bekerja di Malaysia. "Keinginannya jadi TKI di Malaysia, kebetulan ada tetangga yang jadi sponsor, dia ikut orang itu," katanya.

Selanjutnya, Apriyanti melamar lewat cabang perusahaan pemberangkat TKI di Cilacap. Tidak sampai sebulan proses administrasi, gadis itu diterbangkan ke Medan dan menghuni penampungan calon TKI milik perusahaan yang sudah tidak lagi diingatnya.

Sampai di Medan, korban mendapat kabar dirinya gagal dalam proses seleksi untuk bisa bekerja di Malaysia. Namun, ketika ingin pulang perusahaan menghalangi dengan dalih korban masih mempunyai utang, hingga muncul niatannya untuk kabur. "Saya kabur, namun tertangkap dan dikembalikan ke mess," katanya.

Bosnya berinisial Sim (40) marah dan menendang dada dan menamparnya sampai pingsan. Tidak berhenti sampai di situ, penderitaanya justru baru dimulai setelah perusahaan menyalurkan korban untuk bekerja di rumah makan masakan laut milik Der (65) dan istrinya Ho (55) di Kota Medan.
Disepakati korban mendapat upah Rp 200.000 per bulan, kenyataannya uang tidak seberapa itu tak pernah dibayarkan majikan.

Memasuki tahun 2008, derita yang harus ditanggung korban bertambah dengan aksi kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan majikannya. Menurut pengakuan korban, pelaku memukul dengan tangan kosong pada bagian hidung hingga berdarah, atau menggunakan kayu menyasar kakinya.

Diperkosa

Berdasarkan pengakuan, korban mengaku beberapa kali diperkosa oleh Der. Pelaku mengancam akan membunuh korban jika membocorkan aksi bejatnya kepada Ho istrinya. "Der memberi sesuatu katanya obat, setelah diminum jadi pusing. Setelah sadar, sudah ada di tempat tidur majikan," ujarnya.

Menantu majikannya yang kasihan melihat dia akhirnya memulangkannya menggunakan pesawat rute Medan - Yogyakarta akhir Maret 2012. Sampai bandara, korban dipesankan taksi menuju Purworejo juga diberi pesangon Rp 10 juta. "Namun kerabat majikan tidak ikut mengantar sampai rumah, saya juga sudah hampir lupa daerah sendiri," tuturnya.

Kepulangan korban disambut tangis Mustofah yang sama sekali tidak menyangka niatan baik anak sulungnya itu harus berakhir tragis. "Saya bawa ke rumah sakit dan dirawat inap, hampir tiga bulan pulang dari Medan, kondisinya sudah membaik," kata Mustofah.

Kendati bahagia, namun Mustofah masih geram dengan kejadian yang menimpa anaknya. Seharusnya, lanjutnya, pelaku dihukum karena melakukan kekerasan, bahkan minimal 12 tahun untuk Der yang diduga memperkosa korban. Namun Mustofah bingung, sepengetahuannya, perlu biaya yang besar jika ingin melanjutkan peristiwa yang menimpa anaknya pada proses hukum.
Mustofa mengungkapkan, selama kepergian anaknya dia kehilangan kontak.

Berbagai upaya pencarian telah dilakukan tapi tak juga membuahkan hasil hingga akhirnya korban pulang sendiri. Dia berharap Pemkab Purworejo memberikan bantuan hukum kepada anaknya sehingga kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan mantan majikan anaknya itu bisa dituntut secara hukum.(H43-78)

sumber: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/06/28/190820/Delapan-Tahun-Disiksa-PRT-Depresi

Minggu, 24 Juni 2012

Waduh, 30 PRT di Semarang Menjadi Korban Kekerasan

SEMARANG--Sedikitnya 30 orang pembantu rumah tangga (PRT) di Semarang menjadi korban tindak kekarasan dari majikan. Aktivis Perhimpunan Studi dan Advokasi Anak Indonesia (Perisai) Semarang, Nyutiani, mengatakan kasus kekerasan terhadap PRT ini berupa fisik dan psikologis.

“Kekerasan fisik misalnya ditampar sampai dipukul oleh majikan,” katanya di Semarang, Minggu (24/6/2012).

Sedang bentuk kekerasan psikologis yang dialami PRT, lanjut ia, dibentak, dihina, sampai pelecehan seksual dan tindak perkosaan. Menurut dia, berdasarkan data Perisai, dari Januari-Mei 2012, tercatat telah terjadi 30 kasus tindak kekerasan yang menimpa PRT.

“Kasus yang terungkap ini hanya di permukaan saja, tapi ibarat gunung es yang tak tampak jumlahnya bisa lebih banyak,” ujarnya.

Sebab, ujar Nyutiani, PRT yang berasal dari desa lebih banyak memilih diam, takut melaporkan tindak kekerasan yang menimpanya. “Mereka takut dipecat oleh majikannya bila melaporkan kepada pihak luar atau polisi,” tandasnya.

Selain mengalami tindak kekerasan, sambung ia, tingkat kesejahteraan PRT juga masih belum memadai karena gajinya minim. Gaji PRT di Semarang rata-rata antara Rp400.000-Rp500.000 per bulan. Padahal beban pekerjannya cukup berat, dari menyapu, mencuci an menyetrika pakaian, sampai mengasuh anak majikan.
”Jam kerja PRT juga lebih dari delapan jam sehari. Di atas ketentuan yang berlaku,” ujarnya.

Untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan terhadap PRT di Semarang, ujar Nyutiani, Perisai telah membentuk serikat pekerja PRT Mandiri Semarang.
Serikat pekerja ini, memberikan advokasi dan pendampingan terhadap PRT yang mengalami tindak kekerasan. ”Serikat pekerja PRT Mandiri Semarang juga memberikan pendidikan dan organisasi,” katanya.

Sementara Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang, Ikhwan Pariyanto menyatakan belum ada payung hukum terhadap para PRT.

”PRT bukan sektor pekerja nonformal, sehingga kalau terjadi kasus yang menimpanya, kami tak bisa ikut melakukan mediasi,” ujar dia. Menurut Ikhwan, pemerintah pusat sedang menyusun rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Terhadap PRT.

”Kami pernah dimintai pendapat pemerintah pusat masalah PRT di Semarang. Tapi kapan rampungnya RUU itu belum tahu,” kata dia.

sumber: http://www.solopos.com/2012/channel/jateng/waduh-30-prt-di-semarang-menjadi-korban-kekerasan-196335

Jumat, 22 Juni 2012

PRT Adukan Majikan, Rumape Bawa Pulang Rp 4 Juta

Laporan Wartawan Tribun Manado Robertus Rimawan

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Seorang pembantu rumah tangga (PRT), Edis Rumape (48) nekat adukan majikannya ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulut karena majikan tersebut mengusir dan memecatnya, padahal ia telah puluhan tahun mengabdi. Kasus ini telah bergulir sejak Rumape laporkan hal ini ke Disnakertrans Sulut pada Januari 2012 dan setelah Disnakertrans Sulut memberikan rekomendasi akhirnya kasus ini dibawa ke hearing Komisi IV DPRD Sulut. Rumape akhirnya hanya membawa pulang uang sebesar Rp 4 juta hasil dari pembicaraan damai meski atas mediasi Disnakertrans sang majikan seharusnya membayar Rp 14.910.000, Kamis (21/6), pukul 10.30 Wita.

Melalui kuasa hukumnya Semuel Bentian SH MH Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Porodisa, Rumape terpaksa menerima uang tersebut mengingat lemahnya posisi tawar PRT tanpa kontrak kerja seperti karyawan perusahaan pada umumnya meski pekerjaan yang dilakukan lebih dari karyawan perusahaan. "Kerja saya ini bukan hanya sebagai PRT, saya sering menjaga toko, apalagi saat majikan pergi ke Singapura," ujar Rumape.

Ia mengaku juga ditugaskan untuk setor uang di bank, memasak, menjaga oma yang sedang sakit di rumah hingga menolong membersihkan kamar kecil seusai oma tersebut menggunakan toilet. "Saya kerja 24 jam, tinggal di sana. kerja dari tahun 1981 hingga tahun 1992 saya berhenti karena menikah dan melahirkan, lalu dipanggil lagi pada tahun 2007 hingga 2011 akhir saya diusir," kata Rumape pada Tribun Manado.

Rumape mengaku kecewa dengan perlakuan majikan yang mengusirnya hingga empat kali dan dua kali di antaranya di hadapan orang banyak. "Masalahnya sepele saya hanya tanya ke majikan kenapa gaji saya sama dengan gaji pegawai baru, saya digaji Rp 700 ribu per bulan. Padahal saya sudah puluhan tahun mengabdi. Lagipula ini tak sesuai dengan UMP saat ini yang mencapai Rp 1.250.000," katanya.

Ia mengakui akhir-akhir ini beberapa kali sering lupa dengan tugas yang diberikan majikannya sehingga Rumape sering kena marah. "Saya lupa karena memang banyak tugas yang dibebankan pada saya," imbuhnya. Ia berharap melalui hearing di DPRD ia bisa mendapatkan haknya sehingga bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga terutama sekolah anaknya.

Kuasa Hukum Rumape, Semuel Bentian mengaku kecewa atas hasil tersebut, namun ia akhirnya menyarankan pada kliennya agar menerima uang tersebut mengingat lemahnya posisi PRT. "Kasus klien saya ini menjadi pelajaran bagi PRT lain di Sulut, selama ini PRT seolah tak mendapat perlindungan. Biasanya kerja sebagai PRT hanya didasarkan pada perjanjian lisan bukan kontrak kerja sehingga posisinya lemah," kata Semuel.

Ia mendesak DPRD Sulut agar membuat peraturan daerah yang secara khusus melindungi PRT sehingga antara hak dan kewajiban bisa seimbang. Dalam kasus ini ia menilai kinerja dan hasil yang didapatkan kliennya tak seimbang, sehingga LBH yang ia pimpin serius mengawal kasus ini.

Dalam hearing tersebut Helena Prabowo majikan Rumape membantah pernyataan Semuel Bentian. Menurutnya Rumape hanya bekerja antara 3 hingga 4 tahun dan hanya sebagai PRT bukan karyawan toko. "Tugas lain-lain di toko hanya sifatnya membantu saja, dia (Rumape) datang saat membawakan makan dan tugas di luar kewajiban sebagai pembantu merupakan inisiatifnya saya tak pernah menyuruh," kata Helena.

Dengan tegas ia menolak rekomendasi dari Disnakertrans Sulut yang mewajibkan ia membayar uang hak-hak Rumape sebesar Rp 14.910.000. "Saya bersedia membayar tapi Rp 1 juta itu saja," jelasnya di ruang sidang Komisi IV DPRD Sulut. Akhirnya Komisi IV memberikan waktu untuk dilakukan pembicaraan damai antara majikan dan PRT selama 15 menit yang akhirnya disepakati pembayaran Rp 4 juta.

Sebelumnya Disnakertrans Sulut telah melakukan proses mediasi antara Rumape dan Helena Prabowo pengusaha Toko Kembang Indah yang beralamat di Jalan Panjaitan. Disnakertrans merekomendasikan agar Helena membayar Rumape total sebesar Rp 14.910.000. Uang tersebut merupakan uang hak Rumape berdasarkan perhitungan mediator Disnakertrans Sulut dihitung dengan patokan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2011 sebesar Rp 1.050.000.

"Perhitungan tersebut berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat dua, tiga dan empat Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003. Bila ada satu pihak yang menolak rekomendasi ini dalam jangka waktu 10 hari sejak surat diterbitkan bisa membawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)," ujar Chris Sondakh Sekretaris Disnakertrans Sulut saat hearing berlangsung.

Perda PRT Dikaji

Anggota Komisi IV DPRD Sulut Benny Rhamdani saat hearing menyatakan agar Rumape seharusnya diberikan kesempatan untuk bicara mengingat yang bersangkutan adalah korban karena ia menegaskan DPRD Sulut merupakan rumah rakyat. Wakil rakyat ada karena rakyat dan sosok Rumape merupakan satu bagian dari masyarakat yang harus dilindungi.

Ia berharap ada titik temu pada kasus ini dan jangan sampai ke PHI karena akan menyita waktu, tenaga maupun biaya. Rhamdani menambahkan seusai hearing, PRT mendapatkan perlindungan semacam peraturan atau perda yang mengatur agar tak mendapat perlakuan sewenang-wenang maupun hak-haknya dipangkas majikan. "Saat ini undang-undang yang mengatur PRT sedang digodok di pusat, masih RUU, nah kami sedang kaji apakah Sulut akan membuat perda terkait PRT setelah RUU disahkan dan menjadi UU atau mengawali dulu dengan membuat perda sambil menunggu pengesahan," jelasnya.

Hearing dihadiri oleh empat anggota Komisi IV. Dokter Ivonne Bentelu selaku sekretaris Komisi IV DPRD Sulut memimpin hearing tersebut. Hadir pula Paul Tirayoh dan Ayub Ali. Empat legislator ini mengimbau agar kasus jangan sampai ke PHI, dan akhirnya terjadi pembicaraan damai dan Rumape menerima Rp 4 juta.

sumber:
http://manado.tribunnews.com/2012/06/22/prt-adukan-majikan-rumape-bawa-pulang-rp-4-juta

Selasa, 19 Juni 2012

3,56 Juta PRT Tak Dapat Hak Sebagai Pekerja



INILAH.COM, Jakarta - Jaringan Nasional Advokasi Pembantu Rumah Tangga (JALA PRT) menilai Pemprov DKI Jakarta bulan memberikan perhatian khusus terhadap nasib PRT yang bekerja di Jakarta.

Padahal di DKI Jakarta diprediksikan ada sekitar 3,56 juta PRT atau sepertiga dari total jumlah PRT di Indonesia yang diperkirakan sebesar 10,7 juta PRT.

"Dalam realitas kehidupan sehari-hari, pekerja rumah tangga cenderung beresiko terhadap berbagai kekerasan. Baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan sosial," kata Koordinator Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT Lita Anggraeni, Senin (18/6/2012).

Bila diteliti lagi, lanjutnya, banyak kasus pelanggaran terhadap hak-hak PRT di Jakarta, seperti upah yang sangat rendah, hingga ada yang tidak dibayar sama sekali dengan alasan berbagai macam gaji ditahan majikannya.
Juga terjadi pemotongan pembayaran gaji semena-mena dikarenakan berbagai hal. Jam kerja PRT pun rata-rata diatas 12-16 jam, kondisi ini membuat kesehatan PRT sangat rentan.

“Selain itu, PRT juga tidak mendapatkan hari libur mingguan atau cuti, mereka juga tidak memiliki akses untuk bersosialisasi, tidak ada jaminan sosial dan tidak ada perlindungan ketenagakerjaan yang diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sudah jelas PRT dianaktirikan,” ujarnya.

Padahal, PRT sangat menunjang kesejahteraan dan peningkatan perekonomian keluarga di Jakarta, yang juga berdampak pada pergerakan roda perekonomian di ibu kota. “Coba bayangkan saja, tidak ada PRT yang membantu keluarga di Jakarta, pasti mereka akan mengalami kesulitan dan mengatur kehidupannya,” tutur Lita.

Menurutnya, Pemprov DKI belum memperikan perlindungan tenaga kerja bagi PRT yang bekerja di Jakarta. Baik dari segi kesehatan, hak sosial dan juga perlindungan terhadap kekerasan yang mungkin saja terjadi pada saat bekerja.

“Kami mendesak Pemprov DKI, melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI untuk memberikan perlindungan khusus terhadap PRT. Karena mereka juga seorang pekerja profesi dengan keterampilan khusus,” tegasnya.

Paling tidak, harapnya, selama Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan PRT belum dibahas dan disahkan DPR RI, Pemprov DKI sudah memiliki gebrakan tersendiri dengan membuat aturan sesuai dengan aturan otonomi daerah untuk memberikan perlindungan kepada PRT.[jat]

sumber: http://metropolitan.inilah.com/read/detail/1873509/356-juta-prt-tak-dapat-hak-sebagai-pekerja#.T_URc-Hw_bE.twitter

Pemprov DKI Tidak Perhatikan Nasib PRT

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemprov DKI dituding belum memberikan perlindungan tenaga kerja bagi pembantu rumah tangga (PRT) yang bekerja di Jakarta, baik dari segi kesehatan, hak sosial, maupun perlindungan terhadap kekerasan yang bisa terjadi pada saat bekerja.

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT, Lita Anggraeni, pihaknya mendesak Pemprov DKI melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI untuk memberikan perlindungan khusus kepada PRT. Dikatakan Lita, PRT juga seorang pekerja profesi dengan keterampilan khusus.

"Masih banyak kasus pelanggaran terhadap hak-hak PRT di Jakarta. Misalnya upah yang sangat rendah, sampai ada yang tidak dibayar sama sekali oleh majikan. Ada juga PRT yang dipotong gajinya secara semena-mena dikarenakan berbagai hal. Jam kerja PRT pun rata-rata di atas 12-16 jam, kondisi ini membuat kesehatan PRT sangat rentan," kata Lita, Selasa (19/6/2012).

Lita menuturkan PRT juga tidak mendapatkan hari libur mingguan atau cuti, serta tidak memiliki akses untuk bersosialisasi, tidak ada jaminan sosial dan tidak ada perlindungan ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Ini sudah jelas PRT dianaktirikan. Padahal di Jakarta ada sekitar 3,56 juta PRT atau sepertiga dari total jumlah PRT di Indonesia yang diperkirakan sebesar 10,7 juta PRT," katanya.

Senin, 18 Juni 2012

Lindungi Hak-hak PRT!

“Kami ingin hidup layak dengan mendapat upah dan kerja yang layak,”

Hal itu diungkapkan oleh Ririn, salah seorang pembantu rumah tangga dari Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia saat diskusi publik Hari PRT Internasional di Pendopo Kartapustaka Yogyakarta, Sabtu (16/6).

Pembantu Rumah Tangga (PRT) sudah selayaknya mendapat jaminan perlindungan melalui Undang-Undang. Agar terbentuk UU PRT, maka kita semua perlu mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 mengenai kerja layak PRT.

Hal itu menjadi pembahasan dalam diskusi yang diadakan oleh Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT). Mereka menuntut agar pemerintah juga ikut serta dalam perlindungan ketenagakerjaan yang nantinya juga akan memberikan perlindungan kepada PRT.

Dr. Sari Murti., SH.M.Hum, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY) mengatakan, untuk membentuk UU Perlindungan PRT, maka kita harus mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi tersebut. Ratifikasi Konvensi ini nantinya yang akan mendorong lahirnya RUU PRT sehingga akan melindungi PRT. “Kita perlu mendorong ratifikasi konvensi tersebut, agar PRT hak-haknya terlindungi,” ujar Sari.

Sementara itu, Drs. Nuryanto, perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY mengatakan, pemerintah DIY telah membuat Pergub yang mengatur mengenai hubungan kerja antara PRT dengan pengguna jasa. “Setidaknya kita sudah mengawali dan berkomitmen kepada PRT dengan membuat Pergub mengenai upah dan kerja layak bagi PRT di Yogyakarta,” kata Nuryanto.

Namun, Sri Murtini salah seorang pekerja rumah tangga mengungkapkan, meskipun telah lahir Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan Walikota (Perwal), ia merasa belum puas karena pihaknya tidak pernah diajak melakukan pembahasan mengenai hal tersebut. “Jangan lupakan kami PRT yang turut berjuang bagi bangsa ini dengan segenap kemampuan kami,” ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, Sari Murti menambahkan, dengan adanya Undang-undang tentang pekerja rumah tangga, bukan berarti semua permasalahan dianggap sudah selesai. Namun, ia berharap agar semua pihak juga ikut mengawali jalannya UU yang nantinya bisa diimplementasikan di lapangan.

Sebenarnya, lanjut Sari, alasan PRT sering tidak mendapat upah layak, karena budaya jawa yang masih menganggap PRT sebagai pembantu semata. “Selama ini, yang terjadi adalah, PRT hanya sekedar dimintain tolong oleh majikan tanpa diberi upah, atau tidak dihitung sebagai uang lemburan. Budaya seperti ini yang harus kita hilangkan, karena hal ini tidak akan mengubah nasib PRT menjadi lebih baik,” imbuhnya.

Dalam diskusi tersebut tercapai beberapa kesimpulan yang diantaranya adalah, mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi ILO no.189 dan selanjutnya membentuk RUU PRT. Sementara itu, di tingkat lokal, perlu diadakan sosialisasi Pergub no.31 tahun 2010 sehingga praktek implementasinya bisa sampai ke tataran grass root. Selain itu, jangan sampai terjebak hanya pada persoalan hukum semata, namun harus kita kawal juga praktek implementasinya di lapangan. [Anik Susiyani]

sumber: http://lpmarena.com/?p=659

Minggu, 17 Juni 2012

JPPRT tuntut Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 189 dan segera Mengesahkan UU Perlindungan PRT

“Lahirnya Konvensi ILO 189 mengenai kerja Layak bagi PRT pada tanggal 16 Juni 2011 di Jenewa, Sitzerland menjadi sejarah baru untuk dunia yang lebih beradab dan berkeadilan bagi 100 juta PRT di dunia yang mayoritas Perempuan, termasuk lebih dari 10 juta PRT yang bekerja di Indonesia dan lebih dari 6 juta PRT migran Indonesia,” demikian dinyatakan Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) DIY dalam siaran pers-nya memperingati diadopsinya Konvensi tersebut sebagai Hari PRT Internasional.

Konvensi ILO 189 memberikan pengakuan terhadap PRT sebagai pekerja, penghormatan dan perlindungan atas hak PRT sebagaimana pekerja lainnya. Konvensi ini disertai rekomendasi yang memuat standar setting: prinsip-prinsip fundamental perlindungan hak-hak dan situasi kerja serta keadilan sosial bagi Pekerja Rumah Tangga, penghapusan bentuk diskriminasi, perlindungan dari pelanggaran hak-hak, kesewenang-wenangan, kekerasan terhadap PRT, penghapusan kerja paksa dan sebagainya.

Pada konferensi ke 100 Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO di Palais des Nations, Jenewa, Swiss, pada 14 Juni 2011, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya telah menyatakan komitmen mengenai dukungan dan adopsi terhadap Konvensi ILO tentang Kerja Layak bagi PRT. Bahkan akan menjadikan acuan dalam melakukan perlindungan bagi PRT migrant maupun PRT dalam negeri melalui penyusunan peraturan-perundangan yang efektif.

“Apa yang disampaikan presiden RI dengan berkali-kali mengucapkan keadilan social, haruslah segera diwujudkan dalam tindakan politik yang konkrit, komprehensif atas kebijakan di tingkat nasional untuk perlindungan PRT migrant maupun PRT di negeri sendiri, bukan sekedar janji manis dan politik pencitraan belaka,” demikian dinyatakan oleh JPPRT.

JPPRT yang merupakan jaringan dari puluhan organisasi masyarakat sipil dan individu, yakni Aliansi Buruh Yogyakarta, Forum LSM DIY, IHAP, ICM, KPI DIY, Kongres Operata Yogyakarta (KOY), LKBH UII, LOD, LOS, LSPPA, LBH Yogyakarta, LSKP, Mitra Wacana, PKBH UMY, PKBI DIY, PSB, Rifka Annisa, RTND, SAMIN, Sahabat Perempuan, Serikat PRT Tunas Mulia, SP Kinasih, YASANTI, Yayasan Kembang dan para individu, pada peringatan Hari PRT Internasional ini menyampaikan tuntutannya, sebagai berikut:

Segera ratifikasi Konvensi ILO 189 mengenai Kerja Layak bagi PRT
DPR dan pemerintah harus mengintegrasikan Konvensi Kerja Layak PRT dalam peraturan perundangan lokal dan nasional
Segera bahas dan sahkan Perlindungan PRT menjadi UU Perlindungan PRT
Hentikan segala bentuk diskriminasi terhadap PRT
Wujudkan sistem perlindungan hukum bagi PRT di Yogyakarta

Yogyakarta, 17 Juni 2012

sumber: http://odishalahuddin.wordpress.com/2012/06/17/jpprt-tuntut-indonesia-meratifikasi-konvensi-ilo-189-dan-segera-mengesahkan-uu-perlindungan-prt/

Sabtu, 16 Juni 2012

Pemerintah dan DPR Didesak Ratifikasi Konvensi PRT

Pemerintah dan DPR didesak untuk segera meratifikasi Konvensi ILO tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga. Hal itu disampaikan Jaringan Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menyambut hari PRT internasional yang jatuh tiap 16 Juni.

Menurut Koordinator Jala PRT, Lita Anggraeni, Konvensi tersebut memberi pengakuan bahwa PRT sama seperti pekerja lainnya yang memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi. Dalam konvensi itu memuat rekomendasi yang menjelaskan prinsip-prinsip fundamental perlindungan atas hak-hak dan situasi kerja serta keadilan sosial bagi PRT.

Konvensi tersebut, menurut Lita, memberi kepastian tentang hak upah, hari libur dan jam kerja PRT. Dengan ratifikasi tersebut, semua peraturan perundang-undangan tentang PRT yang ada di Indonesia harus mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut. Ini penting karena jumlah PRT domestik di Indonesia dan PRT migran asal Indonesia jumlahnya cukup besar.

Saat ini Lita melihat pemerintah dan DPR sedang membahas dua regulasi terkait PRT. Yakni RUU PRT dan revisi UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKLN). Lita berharap kedua ketentuan itu memuat nilai-nilai yang ada dalam Konvensi PRT.

"Presiden SBY berjanji untuk meratifikasi," kata Lita kepada wartawan dalam jumpa pers di gedung Komnas HAM Jakarta, Jumat (15/6).

Senada, dalam kesempatan yang sama Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) cabang Sukabumi, Jejen Nurjanah, mengatakan ratifikasi penting segera dilakukan mengingat banyak TKI yang bekerja sebagai PRT di luar negeri.

Jejen mencontohkan dari 1100 pekerja migran yang berasal dari Sukabumi, yang bekerja di sektor formal hanya 15 orang. Sisanya bekerja di sektor informal, termasuk PRT. Sayangnya UU PPTKLN, tidak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja migran.

“Kita ingin UU PPTKLN yang memuat Konvensi ILO itu segera disahkan,” kata Jejen.

Dari pengalamannya bekerja sebagai TKI, Jejen menyebut PRT rentan terkena masalah karena kurangnya perbekalan keahlian sebelum diberangkatkan. Misalnya pemahaman akan bahasa, budaya dan hukum di negara tempat si TKI bekerja. Hal ini diperburuk dengan lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap pelatihan yang diselenggarakan oleh Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).

Dengan meratifikasi konvensi tersebut Jejen berharap PRT migran mendapat perlindungan yang menyeluruh. Mulai dari pra penempatan, penempatan dan pasca bekerja. Termasuk pelatihan dan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan TKI sebagai persiapan sebelum bekerja di negara tujuan kerja.

Sementara Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah, mengatakan peran media untuk menyuarakan pentingnya pemerintah meratifikasi konvensi ini sangat diperlukan sebagai bagian dari membantu perlindungan terhadap PRT. Pasalnya, Masruchah melihat pemerintah kurang mempertimbangkan perlindungan terhadap PRT.

Selain itu, Masruchah mengingatkan bahwa RUU Perlindungan PRT yang saat ini masih dibahas pemerintah harus memuat pemenuhan HAM bagi PRT. Dia berharap RUU tersebut dapat sesegera mungkin disahkan karena posisi dan situasi yang banyak dialami PRT Indonesia di dalam ataupun luar negeri membutuhkan perlindungan atas HAM.

“Lagi-lagi kalau terkait dengan sesegera mungkin disahkannya ini karena terkait dengan tanggung jawab negara soal perlindungan, pemenuhan dan kemajuan HAM PRT,” kata Masruchah.

TKI di Suriah
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) saat ini berupaya memberi perlindungan kepada TKI, terutama di wilayah konflik, seperti yang sedang terjadi di Suriah. Untuk menyelamatkan TKI dari konflik yang melanda Suriah, Menakertrans, Muhaimin Iskandar, mengatakan sedang berusaha untuk mengevakuasi TKI ke lokasi aman, setelah itu memulangkannya ke Indonesia.

Sampai 10 Juni 2012, TKI yang telah dievakuasi mencapai 202 orang, sedangkan pemulangan regular dan bantuan majikan mencapai 70 orang. Muhaimin menyebut pemulangan TKI dari Suriah akan dilaksanakan pada tanggal 17 dan 19 Juni 2012. “Pemulangan TKI dari Suriah akan terus dilakukan secara bertahap baik melalui evakuasi maupun pemulangan reguler,” kata Muhaimin dalam rilis yang diperoleh hukumonline, Sabtu (16/6).

Sementara Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta), Reyna Usman, mengatakan telah meminta kepada para majikan di Suriah untuk melakukan pemulangan setelah TKI habis kontrak. Bahkan kalau majikan merasa tidak dapat menjamin keamanan TKI, Reyna meminta para majikan untuk menyerahkan TKI yang dipekerjakan ke KBRI Damaskus. Seluruh perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan perusahaan asuransi juga diminta untuk membantu proses evakuasi dan pemulangan TKI di Suriah.

Sampai saat ini Kemenakertrans masih menerapkan moratorium penempatan TKI ke Suriah. Begitu pula dengan perpanjangan kontrak bagi TKI yang sebelumnya sudah bekerja disana. Dari data KBRI Damaskus, sejak Januari 2012, terdapat 457 paspor yang diperpanjang untuk keperluan pemulangan TKI.

“Semua pihak harus bekerja lebih keras dalam upaya proses pemulangkan TKI dari Suriah serta memenuhi kewajibannya dalam memberikan hak-hak TKI yang tidak bisa bekerja secara penuh akibat perang saudara,” kata Reyna dalam rilis.

Untuk memaksimalkan langkah yang sedang ditempuh, pemerintah membuka pusat informasi kepada seluruh pihak terkait evakuasi dan pemulangan terhadap TKI di Suriah. Bagi TKI /WNI yang membutuhkan bantuan informasi dan evakuasi di Suriah bisa menghubungi nomor telepon +963116132578, +963954444810, +963116119630.

sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fdc463c76ecd/pemerintah-dan-dpr-didesak-ratifikasi-konvensi-prt

KA PRT Desak UU Perlindungan PRT Segera Dibahas

Selama ini telah terjadi stigmatisasi terhadap pekerjaan PRT, yaitu pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, tidak bernilai ekonomis dan pekerjaan bawaan, sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap PRT.

Berbagai aliansi yang bergerak memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga (PRT) yang tergabung dalam Komite Aksi PRT menggelar aksi unjuk rasa di Bunderan Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Sabtu (16/6). Aksi yang diikuti 150 orang ini digelar selain memperingati Hari PRT Sedunia yang jatuh pada setiap 16 Juni ini, juga menyampaikan tuntutan kepada DPR RI dan pemerintah.

Tuntutan yang disampaikan yaitu segera menciptakan sistem perlindungan bagi PRT dengan segera membahas dan mengesahkan Undang-Undang (UU) Perlindungan PRT. Mereka juga menuntut pemerintah untuk memenuhi komitmen yang diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Sidang Perburuhan Internasional sesi ke-100 pada 16 Juni 2011, yaitu meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT dengan mengintegrasikannya dalam peraturan perundang-undangan nasional untuk perlindungan PRT domestik dan PRT Migran.

“Tuntutan ketiga adalah menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan stigmatisasi terhadap PRT. Sebab selama ini, kenyataan dilapangan para PRT tidak mempunyai waktu libur, dan tidak bisa keluar rumah hanya untuk melepaskan penat setelah bekerja penuh,” kata Koordinator Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT, Lita Anggraeni, kepada beritasatu.com usai mengadakan aksi unjuk rasa tersebut.

Lita menegaskan selama ini telah terjadi stigmatisasi terhadap pekerjaan PRT, yaitu pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, tidak bernilai ekonomis dan pekerjaan bawaan. Sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap PRT, yang paling utama tidak dianggap sebagai pekerja yang patut dilindungi oleh UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Praktis tidak ada kerangka hukum yang mengakui dan melindungi hak-hak PRT sebagai pekerja. Padahal, selama melakukan pekerjaannya, PRT memenuhi unsur upah, perintah dan pekerjaan. Ini menunjukkan PRT adalah pekerja yang memiliki hak normatif dan perlindungan seperti pekerja umumnya,” jelasnya.

Menurut rapid assessment JALA PRT, ada sebanyak 10,7 juta PRT yang menopang jutaan keluarga Indonesia. PRT memegang peranan penting di dalam peningkatan pendapatan keluarga. Namun demikian, 10,7 juta PRT di Indonesia tidak terlindungi oleh peraturan perundangan yang mengatur kondisi kerja dan standar kerja yang layak.

“Demikian juga dengan 6 juta PRT migran Indonesia. Dampaknya sering terlihat eksploitasi dan kekerasan terhadap PRT kerap kali terjadi,” kata Lita.

Menurutnya RUU PRT merupakan inisiatif dari DPR, sehingga seharusnya DPR lebih serius untuk menggodok RUU PRT agar semakin cepat disahkan. Dalam RUU PRT dijamin pengakuan PRT sebagai pekerja dan hal tersebut diatur dalam formalisasi hubungan kerja. Dampak dari pengesahan RUU PRT tidak hanya menguntungkan PRT saja tapi juga majikan.

Penulis: Lenny Tristia Tambun/ Didit Sidarta

Jumat, 15 Juni 2012

Pemerintah Harus Sahkan RUU PRT

JAKARTA, KOMPAS.com - Berbagai aliansi kelompok peduli pekerja rumah tangga (PRT) mendesak pemerintah dalam hal ini DPR RI untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang pekerja rumah tangga (RUU PRT). Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang belum mempunyai undang-undang yang menjamin perlindungan dan kepastian hukum PRT.

"Kami mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PRT. Pengesahan RUU tersebut tidak hanya akan melindungi hak PRT tapi juga akan melindungi mereka dari pelanggaran HAM yang dilakukan majikan," tegas Yunianti Chuzaifah, ketua Komnas perempuan, dalam pernyataan sikap Komnas Perempuan pada Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional di kantor komnas HAM, Jakarta, Jumat (15/06/2012).

Yunianti juga menyebutkan bahwa dari hasil Badan Pusat Statistik tahun 2008 saja, jumlah PRT hampir mendekati 2 juta orang, 12 persen diantaranya PRT anak-anak dan selebihnya adalah perempuan.

Sementara itu, Lita Anggraeni yang merupakan koordinator Jala PRT mencatat bahwa jumlah PRT diperkirakan mencapai 16 juta orang. Rita juga turut mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU PRT dan meratifikasi Konvensi ILO 189. ILO adalah organisasi Buruh Internsional yang bernaung di bawah PBB.

"RUU PRT yang akan melindungi hak-hak PRT adalah inisiatif dari DPR, seharusnya DPR lebih serius untuk menggodok RUU PRT agar semakin cepat disahkan," ujar Rita.

Dalam RUU PRT dijamin pengakuan PRT sebagai pekerja dan hal tersebut diatur dalam formalisasi hubungan kerja. Dampak dari pengesahan RUU PRT tidak hanya menguntungkan PRT saja tapi juga majikan.

Pasalnya, PRT dituntut untuk lebih profesional dan ada standarisasi serta akreditasi tersendiri untuk menjadi PRT, sehingga majikan dan PRT akan mendapatkan banyak manfaat dari RUU PRT. Sedangkan Konvensi ILO 189 yang harus segera diratifikasi pemerintah memuat prinsip dan standar kerja yang layak bagi PRT.

sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2012/06/15/1802025/Pemerintah.Harus.Sahkan.RUU.PRT

Komnas Perempuan Desak Pemerintah Sahkan RUU PRT

KBR68h, Jakarta - Pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Pekerja Rumah Tangga (PRT). Anggota Komnas Perempuan Sri Nurherawati mengklaim aturan ini adalah bentuk perlindungan terhadap pekerja rumah tangga. Pasalnya, aturan ini melindungi hak PRT dan memberi jaminan serta kepastian hukum kepada pemberi kerja atau majikan.

“Sebenarnya kerangka di hari PRT ini kita ingin menegaskan kembali. Bahwa sebenarnya RUU ini toh sudah diagendakan, beberapa waktu yang lalu, di dalam area UPR, sudah diterima, sebaga salah satu yang akan dijalankan oleh pemerintah dan langsung menujunya bukan membahas lagi, namun mengesahkan. Artinya ini menjadi tantangan untuk kita bersama, untuk mendorong pemerintah segera mengesahkan bersama DPR, RUU PRT ini.”

Sri Nurherawati menambahkan RUU Pekerja Rumah Tangga merupakan satu paket perlindungan untuk buruh migran maupun pekerja lokal. Data dari Badan Pusat Statistik pada 2008 mencatat, jumlah pekerja rumah tangga hampir mencapai dua juta orang. Sekitar 12 persen diantaranya adalah anak-anak.

sumber: http://www.kbr68h.com/berita/nasional/27826

Pemerintah Didesak Lakukan Ratifikasi Konvensi ILO Tentang Kerja Layak Bagi PRT

JAKARTA, (PRLM).-Sejumlah kelompok mendesak pemerintah segera membentuk Undang-undang yang melindungi pekerja rumah tangga (PRT). Selain standar upah dan jam kerja, PRT harus mendapat jaminan sosial seperti jaminan kesehatan dan hak berorganisasi. Untuk itu, mereka juga menagih komitmen pemerintah untuk meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 189 tentang Kerja Layak bagi PRT.

Hal itu terungkap dalam konferensi pers menjelang peringatan Hari PRT Dunia di Gedung Komnas Hak Asasi Manusia, Jln. Latuharhari, Jakarta Pusat, Jumat (15/6).

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraeni mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kerja layak bagi PRT itu meliputi antara lain standar upah minimum, durasi kerja dalam satu hari, hak mendapat libur satu hari dalam satu minggu, perjanjian kerja secara tertulis, jaminan sosial seperti diatur dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), hak berorganisasi, hak berkumpul, usia minimum, dan hak bersosialisasi.

"Dari banyak perdebatan, yang paling banyak dibahas memang standar upah, dan ini masih dibahas rumusannya. Prinsipnya harus ada upah minimum untuk PRT," ujar Lita.

Pada kesempatan itu, turut hadir Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah; Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jejen Nurjanah; Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah; dan Komisioner Komnas HAM, Sri Nurherwati, turut memberikan keterangan pers.

Yuniyanti menambahkan, PRT juga mempunyai hak mendapat kondisi kerja yang layak dan aman. Beberapa indikator kerja layak bagi PRT antara lain durasi kerja yang manusiawi, cukup istirahat, mendapat cuti melahirkan, tempat tinggal layak, diberi kebebasan memilih untuk tinggal dengan majikan atau tidak, mempunyai kamar/ruang pribadi yang mendapat kunci sendiri untuk menjamin privasi dan keamanan, serta mendapat makanan yang layak.

Pada kesempatan itu, mereka juga memperkenalkan Hari PRT Sedunia yang jatuh pada hari ini, 16 Juni. Tanggal tersebut disepakati berdasarkan peristiwa pengadopsian Konvensi ILO 189 dan Rekomendasi 201 tentang Kerja Layak bagi PRT pada sesi ke-100 sidang Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), 16 Juni 2011.

Dengan demikian, Hari PRT mulai diperingati tahun ini. Pada salah astu sesi sidang ILO tersebut, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato yang di antaranya berisi tentang komitmen pemerintah dalam melindungi PRT dan pekerja migran Indonesia yang mayoritas bekerja sebagai PRT.

Berdasarkan data ILO, jumlah PRT di dunia mencapai 52,6 juta orang di 117 negara. Namun, ILO tidak menutup kemungkinan pandangan para ahli bahwa jumlah PRT di seluruh dunia diperkirakan mencapai 100 juta orang.

Sementara, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2008 jumlah PRT hampir mendekati 2 Juta orang,12% diantaranya merupakan PRT anak dan 90% adalah perempuan. Sementara itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh JALA PRT, jumlah PRT diperkirakan mencapai 16.117.331 orang. Data lain menyebutkan, 72-80% pekerja migran Indonesia di luar negeri bekerja sebagai PRT.

Saat ini, sudah ada tiga negara yang meratifikasi Konvensi ILO 189 yaitu Uruguay, Costa Rica, dan Filipina. Pada sidang universal periodic review (UPR) Dewan Hak Asasi Manusia PBB Mei lalu, sejumlah negara memberikan rekomendasi kepada Indonesia untuk mengesahkan RUU Perlindungan PRT.

Pemerintah Indonesia menerima rekomendasi tersebut, namun belum memasukkan ratifikasi konvensi ILO dalam daftar rekomendasi yang diadopsi langsung, tetapi masih dipertimbangkan. "Pengesahan RUU Perlindungan PRT di DPR masih tersendat. Padahal RUU Perlindungan PRT merupakan inisiatif dari DPR RI," ujar Yuniyanti. (A-156/A-89)***


sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com/node/192500

PBB Menunggu Komitmen Pemerintah RI untuk segera Ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT

Pernyataan Sikap Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional 2012

Pengadopsian Konvensi ILO 189 dan Rekomendasi 201 tentang Kerja Layak bagi PRT pada sidang ke 100 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 16 Juni 2011 lalu, merupakan sejarah baru bagi pengakuan, perlindungan dan penciptaan kondisi kerja layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Momentum bersejarah tersebut kemudian disepakati sebagai hari PRT Internasional yang pada 2012 dirayakan pertama kali secara bersamaan di seluruh dunia.

Pada peristiwa bersejarah tersebut, pemerintah RI melalu Presiden SBY mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato yang berjudul “ Forging A New Global Employment Framework for Social Justice and Equality”. Salah satu hal penting disampaikan dalam pidato tersebut adalah komitmen pemerintah RI pada dunia Internasional dalam perlindungan PRT dan Pekerja Migran yang mayoritas bekerja sebagai PRT. Presiden RI juga menyampaikan arti penting Kovensi ILO 189 bagi Pemerintah RI sebagai salah satu Negara dengan warganegara yang banyak bekerja sebagai PRT.

Menurut data ILO jumlah PRT saat ini diperkirakan sebanyak 52,6 Juta, berdasarkan sensus yang dilakukan di 117 negara. Namun, ILO tidak mengabaikan keterangan para ahli yang menyampaikan kemungkinan jumlah PRT di seluruh dunia mencapai 100 Juta orang, mengingat pekerjaan rumah tangga saat ini masih dianggap bukan pekerjaan dan profesi tersendiri. Di Indonesia, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2008 jumlah PRT hampr mendekati 2 Juta orang,12% diantaranya merupakan PRT anak dan 90% adalah perempuan. Sementara itu berdasarkan hasil Rapid Assesment yang dilakukan oleh JALA PRT, jumlah PRT diperkirakan mencapai 16.117.331 orang. Sedangkan data lain menyebutkan, 72-80% pekerja migran Indonesia di luar negeri bekerja sebagai PRT.

Pada perkembangannya, saat ini baru tiga negara yang sudah meratifikasi Konvensi ILO 189, yaitu Uruguay, Costa Rica dan Filipina. Sementara itu, Indonesia belum menunjukan signal untuk meratifikasi Konvensi ILO 189. Bahkan pada forum Internasional yang sangat penting lainnya, yaitu sidang UPR, pemerintah Indonesia bahkan sama sekali tidak menyinggung perihal kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan khususnya PRT. Namun, sejumlah negara dalam sidang tersebut merekomendasikan Indonesia agar meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT.

Pada hari PRT Internasional pertama kali ini, Komnas Perempuan :

Mengapresiasi sejumlah negara yang memberi rekomendasi kepada pemerintah RI untuk memberi perhatian serius untuk perlindungan PRT melalui pengesahan RUU PRT maupun ratifikasi Konvensi ILO 189, dalam sidang UPR (Universal Periodic Review) Dewan HAM PBB di Geneva.
Mengapresiasi pemerintah RI yang telah memasukkan rekomendasi pengesahan RUU Perlindungan PRT dalam 144 rekomendasi dari 74 negara dalam sidang UPR tersebut. Komnas Perempuan mendorong DPR RI agar melanjutkan pembahasan dan pengesahan atas RUU Perlindungan PRT.
Komnas Perempuan menyayangkan rekomendasi UPR untuk meratifikasi Konvensi ILO 189 masih masuk dalam daftar rekomendasi yang berstatus ”dipertimbangkan” oleh pemerintah Indonesia. Komnas Perempuan mendorong rekomendasi ini harus masuk dalam list yang diadopsi pemerintah RI untuk disampaikan didepan dewan HAM PBB September 2012, selain karena urgensi perlindungan untuk PRT juga konsistensi komitmen Presiden SBY sudah didengar dunia.
Meminta agar sosialisasi dan harmonisasi hukum segera dilakukan, terkait perlindungan PRT dan Pekerja Migran dilakukan pasca ratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan semua Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
Presiden harus bersikap tegas terhadap pejabat publik, khususnya menteri maupun pejabat strategis lainnya, yang membuat pernyataan diskriminatif dan merendahkan perempuan, khususnya menyalahkan korban termasuk PRT migran perempuan. Pemerintah harus membuat mekanisme seleksi untuk memastikan pejabat publik memiliki keberpihakan dan pemahaman yang utuh tentang HAM dan gender.

Yuniyanti Chuzaifah (Ketua Komnas Perempuan)

Agustinus Supriyanto (Ketua Gugus Kerja Migran)


sumber: http://www.komnasperempuan.or.id/2012/06/pernyataan-sikap-hari-pekerja-rumah-tangga-prt-internasional-2012-pbb-menunggu-komitmen-pemerintah-ri-untuk-segera-ratifikasi-konvensi-ilo-189-tentang-kerja-layak-bagi-prt/

Rabu, 13 Juni 2012

Tentang C189: Kerja yang Layak Untuk PRT

Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan. Pekerja rumah tangga, seperti pekerja lainnya, berhak atas pekerjaan yang layak.

Pada tanggal 16 Juni 2011, Konferensi Perburuhan Internasional, ILO mengadopsi Konvensi tentang pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga, yang juga disebut sebagai Konvensi Pekerja Rumah Tangga, 2011 (No 189).

Konvensi ILO adalah sebuah perjanjian yang diadopsi oleh Konferensi Perburuhan Internasional, yang dihadiri oleh delegasi pemerintah, pekerja dan pengusaha dari 183 Negara anggota ILO.

Konvensi nomor 189 menawarkan perlindungan tertentu kepada pekerja rumah tangga. Konvensi ini menetapkan prinsip-prinsip dan hak-hak dasar pekerja rumah tangga, dan mendesak negara untuk mengambil serangkaian tindakan dengan maksud untuk mendorong terciptanya pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga.

Ketika suatu negara meratifikasi Konvensi, pemerintahnya secara resmi membuat komitmen untuk melaksanakan semua kewajibannya dalam Konvensi, dan melaporkan secara berkala kepada ILO tentang kebijakan yang diambil berkaitan dengan konvensi tersebut.

Rekomendasi Pekerja Rumah Tangga Nomor 201, juga diadopsi oleh Konferensi Perburuhan Internasional tahun 2011, ini melengkapi Konvensi nomor 189. Tidak seperti Konvensi, Rekomendasi nomor 201 tidak terbuka untuk diratifikasi. Rekomendasi tersebut menyediakan bimbingan praktis tentang hukum dan langkah-langkah lainnya untuk melaksanakan prinsip dan hak yang dinyatakan dalam Konvensi.

Konvensi dapat diimplementasikan dengan memperluas atau mengadaptasi hukum yang ada dan peraturan atau tindakan lain, atau dengan membuat peraturan baru dan langkah-langkah spesifik untuk pekerja rumah tangga. Beberapa langkah yang diperlukan berdasarkan Konvensi dapat dilakukan secara progresif.

Konvensi No 189 mendefinisikan pekerjaan rumah tangga sebagai “pekerjaan yang dilakukan dalam atau untuk rumah tangga atau beberapa rumah tangga”. Pekerjaan ini dapat mencakup tugas-tugas seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci dan menyetrika pakaian, mengurus anak-anak, atau anggota keluarga lanjut usia atau sakit, berkebun, menjaga rumah, sopir, bahkan merawat hewan peliharaan rumah tangga.

Di bawah Konvensi ini, pekerja rumah tangga adalah “setiap orang yang terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dalam suatu hubungan pekerjaan”. Seorang pekerja rumah tangga dapat bekerja secara penuh waktu atau paruh waktu; mungkin dipekerjakan oleh satu rumah tangga atau dengan beberapa majikan; mungkin berada di rumah tangga majikan (live-in) atau mungkin tinggal di tempat sendiri tinggal (live-out). Seorang pekerja rumah tangga mungkin bekerja di negara tempat asal bekerja atau di negara lain.

Semua PRT yang dilindungi oleh Konvensi nomor 189, meskipun negara tersebut memutuskan untuk mengecualikan beberapa kategori, dibawah kondisi yang sangat ketat.

Majikan pekerja rumah tangga adalah anggota rumah tangga yang baginya PRT melakukan pekerjaan, atau agen atau perusahaan yang mempekerjakan pekerja rumah tangga untuk urusan rumah tangga.

Konvensi nomor 189 menegaskan hak-hak dasar pekerja rumah tangga. Konvensi ini menerapkan standar kerja minimum untuk pekerja rumah tangga.

Dalam Konvensi ini pekerja rumah tangga dapat:

mengatur & memobilisasi dukungan untuk ratifikasi dan implementasi Konvensi oleh Pemerintah mereka;

menggunakan ketentuan-ketentuan Konvensi dan Rekomendasi untuk mempengaruhi perubahan hukum dan meningkatkan kerja dan kehidupan kondisi pekerja rumah tangga, terlepas dari apakah negara dimana mereka bekerja meratifikasi Konvensi nomor 189 atau tidak.

Hak-hak Dasar PRT

Promosi dan perlindungan hak asasi manusia dari semua pekerja rumah tangga (Mukadimah, Pasal 3).

Penghormatan dan perlindungan atas prinsip-prinsip dan hak-hak dasar di tempat kerja: (a) kebebasan berserikat dan pengakuan hak untuk berunding bersama; (b) penghapusan segala bentuk kerja paksa, (c) penghapusan pekerja anak, dan (d) penghapusan diskriminasi sehubungan dengan pekerjaan dan jabatan (Pasal 3, 4, 11).

Perlindungan efektif terhadap semua bentuk kekerasan, pelecehan dan kekerasan (Pasal 5).

Adil dalam hal pekerjaan dan kondisi hidup layak (Pasal 6).

Informasi mengenai syarat dan ketentuan kerja

Pekerja rumah tangga harus diberi informasi tentang syarat dan kondisi kerja dengan cara yang mudah dimengerti, sebaiknya dibuat dalam kontrak tertulis (Pasal 7).

Jam kerja

Ketentuan jam kerja bertujuan untuk memastikan perlakuan yang sama antara pekerja rumah tangga dan pekerja pada umumnya dengan menghormati jam kerja normal, kompensasi lembur, istirahat harian dan mingguan, dan cuti tahunan (Pasal 10).

Waktu istirahat mingguan minimal 24 jam berturut-turut (Pasal 10).

Peraturan jam siaga (Periode dimana pekerja rumah tangga tidak bebas untuk menggunakan waktu sesuka mereka dan diperlukan untuk tetap berada di rumah tangga untuk siap sedia atas keperluan mendadak). (Pasal 10).

Remunerasi/Pengupahan

Upah minimum jika upah minimum ada untuk pekerja lain (Pasal 11).

Pembayaran upah harus dibayar secara tunai, langsung ke pekerja, dan pada interval yang tetap, tidak lebih dari satu bulan. Pembayaran dengan cek atau transfer bank - kalau diizinkan oleh hukum atau kesepakatan bersama, atau dengan persetujuan pekerja (Pasal 12)

Biaya yang dikenakan oleh lembaga tenaga kerja swasta (agen) harus tidak dipotong dari remunerasi (Pasal 15).

Kesehatan dan keselamatan kerja

Hak keamanan dan lingkungan pekerjaan yang sehat (Pasal 13).

Aturan diletakkan di tempat kerja untuk memastikan keselamatan dan kesehatan pekerja (Pasal 13).

Jaminan sosial

Perlindungan jaminan sosial, termasuk manfaat bersalin (Pasal 14).

Kondisi yang tak kalah menguntungkan dari yang berlaku untuk pekerja umumnya (Pasal 14).


sumber: http://hukum.kompasiana.com/2012/06/13/tentang-c189-kerja-yang-layak-untuk-prt/