Kamis, 16 Februari 2012

PSK dan PRT Bisa Ikut Jamsostek

INILAH.COM, Jakarta - Direktur Utama PT Jamsostek Hotbonar Sinaga menegaskan Pekerja Seks Komersial (PSK) dan Pembantu Rumah Tangga (PRT) bisa mendapatkan jaminan dari Jamsostek.

"Saya pastikan bisa daftar, asalkan didaftarkan oleh majikannya," tegasnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Perasuransian di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (16/2/2012).

Jika PSK dan PRT ikut Jamsostek maka sama seperti peserta lainnya juga
diwajibkan untuk membayar iuran. "PSK bisa dapat jaminan asal bayar
iuran," tuturnya.

Hotbonar menjelaskan, sampai akhir 2011 sektor informal worker yang
mengikuti Jamsostek hanya 600 ribu orang, padahal seluruh peserta
Jamsostek sudah mencapai 30 juta orang.

Pernyataan PSK dan PRT bisa ikut Jamsostek itu menjawab pertanyaan
Anggota Panja Perasuransian Andi Timo Pangerang yang menanyakan apakah PSK dan PRT bisa ikut Jamsostek. "Saya bawa akan aspirasi ini,"
tandasnya. [cms]

sumber:
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1830911/psk-dan-prt-bisa-ikut-jamsostek#.Tz3RDaln1B8.facebook

Rabu, 15 Februari 2012

Document - Indonesia: Parliament must make protection of domestic workers a priority in 2012

Indonesia: Dewan Perwakilan Rakyat harus membuat perlindungan terhadap pekerja rumah tangga sebagai prioritas di 2012

Sejalan dengan berkumpulnya pekerja rumah tangga Indonesia untuk memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga, Amnesty International mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia untuk mengambil langkah kongkrit untuk melindungi pekerja rumah tangga (PRT) di negeri tersebut dengan mengesahkan Undang-Undang (UU) Perlindungan PRT di 2012.

Amnesty International menyambut baik perkembangan belakangan ini oleh kelompok kerja DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut. Namun kegagalan yang terus berlangsung dalam mengesahkan UU ini – yang telah menjadi agenda legislatif sejak 2010- membuat jutaan PRT di Indonesia, yang mayoritas adalah perempuan dan anak perempuan, semakin rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan sewenang-wenang.

PRT tidak diakui secara legal sebagai tenaga kerja, dan tidak menikmati perlindungan dan jaminan yang sama dengan tenaga kerja lainnya di Indonesia. Tanpa perlindungan legal yang memadai, mereka sering dieksploitasi secara ekonomi, hidup dan bekerja di kondisi yang buruk, dan menjadi subjek kekerasan psikologis dan seksual secara rutin. Sebagai tambahan perempuan dan anak perempuan menghadapi hambatan signifikan dalam memperoleh perawatan kesehatan seksual dan reproduksi yang mereka butuhkan.

Amnesty International telah menerima informasi bahwa komisi IX DPR, yang membawahi proses pembuatan UU, telah membentuk kelompok kerja untuk mendiskusikan RUU tersebut. Kelompok kerja tersebut, dibentuk bulan lalu, telah bertemu dengan organisasi masyarakat madani dan institusi lainnya untuk mendiskusikan RUU itu, dan sekarang sedang mengkaji RUU tersebut pasal perpasal.

Namun, Amnesty International prihatin, pada posisinya sekarang, RUU tersebut tidak memenuhi standar dan hukum internasional, terutama terkait dengan PRT anak, jam kerja, gaji dan mekanisme resolusi perselisihan. DPR harus menjamin agar RUU tersebut selaras dengan standar dan hukum internasional, dan secara eksplisit mengandung ketentuan yang berkaitan dengan kebutuhan spesifik perempuan. Ketentuan semacam itu juga harus memasukkan penjaminan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi PRT, terutama pada saat dan setelah kehamilan.

Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah lebih lanjut untuk melindungi PRT dengan meratifikasi Konvensi Pekerja Rumah Tangga (Konvensi 189) yang baru dari Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization –ILO) pada kesempatan terdekat, memasukkan ketentuan-ketentuannya dalam hukum nasional dan menerapkannya dalam kebijakan dan praktik. Konvensi tersebut, yang telah dibuka untuk penandatanganan sejak diadopsi pada 16 Juni 2011, didukung oleh Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di Konferensi Buruh Internasional pada bulan Juni 2011.

Dalam Komentar Penutupnya (Concluding Comments) untuk laporan berkala Indonesia tahun 2007, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), mengangkat keprihatinannya terhadap perlakuan sewenang-wenang dan eksploitasi PRT perempuan di Indonesia. Ia merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menerapkan hukum yang komprehensif dan menerapkan prosedur untuk menjamin hak-hak PRT.

Sebuah studi ILO tahun 2002 memperkirakan ada 2.6 juta PRT di Indonesia. Namun berdasarkan informasi dari Jala-PRT, Jaringan Nasional Advokasi PRT, ada sekitar 10 juta PRT di seluruh negeri.

UU Perlindungan PRT pertama kali masuk program legislatif nasional (Prolegnas) pada tahun 2010 setelah kampanye bertahun-tahun oleh organisasi nasional dan internasional. Namun perbedaan pandangan antara partai politik telah menghambat kemajuan proses pembahasan RUU tersebut. Pada April 2011, aktivis hak-hak PRT mengajukan gugatan warga negara ke pengadilan terhadap Presiden, Wakil Presiden, tiga Menteri dan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan DPR karena gagal mengesahkan RUU tersebut. Gugatan tersebut ditolak pada 7 Februari 2012 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan para aktivis tersebut telah menyatakan akan mengajukan banding.

Amnesti Internasional Desak DPR Lindungi PLRT



REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Amnesti Internasional mendesak DPR mengambil langkah kongkret untuk melindungi para penata laksana rumah tangga (PLRT) dengan mengesahkan Undang-Undang (UU) Perlindungan PRT di 2012. Desakan Amnesti International yang bermarkas di London itu terkait dengan berkumpulnya PRT Indonesia untuk memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga.

"DPR harus membuat perlindungan terhadap penata laksana rumah tangga sebagai prioritas di 2012," ujar Josef Roy Benedict, Campaigner Amnesti Internasional untuk Indonesia dan Timor Leste di London, Rabu (15/2).

Pihaknya menyambut baik perkembangan belakangan ini oleh kelompok kerja di DPR yang membahas RUU tersebut. Namun kegagalan terus berlangsung dalam mengesahkan UU ini. Padahal, RUU ini telah menjadi agenda legislasi sejak tahun 2010. Hal ini membuat jutaan PLRT di Indonesia, yang mayoritas perempuan dan anak perempuan, semakin rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan sewenang-wenang.

Menurut Benedict, PLRT tidak diakui secara legal sebagai tenaga kerja dan tidak menikmati perlindungan dan jaminan yang sama dengan tenaga kerja lainnya di Indonesia. Tanpa perlindungan legal yang memadai, mereka sering dieksploitasi secara ekonomi, hidup dan bekerja di kondisi yang buruk, serta menjadi subjek kekerasan psikologis dan seksual secara rutin.

Amnesti International menerima informasi bahwa komisi IX DPR, yang membawahi proses pembuatan UU, telah membentuk kelompok kerja untuk mendiskusikan RUU tersebut, bulan lalu. Namun, pihaknya prihatin bahwa posisi RUU itu tidak memenuhi standar dan hukum internasional, terutama terkait dengan PLRT anak, jam kerja, gaji, dan mekanisme resolusi perselisihan.
Redaktur: Dewi Mardiani
Sumber: Antara
sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/02/15/lzfwai-amnesti-internasional-desak-dpr-lindungi-plrt