Rabu, 25 Juli 2012

PRT Migran Rentan Penganiayaan

Jia Xiang - Negara yang tidak membekali pendidikan yang memadai bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) Migran sama artinya dengan menggadaikan warganya ke pada bangsa asing. Ironisnya, situasi ini berlaku bagi PRT Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri, terutama di Timur Tengah. Mereka kebanyakan tidak dibekali dengan pendidikan dan latihan (Diklat) yang memadai.

Demikian mengemuka dalam diskusi antara Tim Institut Kapal Perempuan, Tim Jala PRT dengan Media masa pada Kamis (14/6/12) di Jakarta. Menurut aktivis Kapal Perempuan, Budhis Utami, masalah utama yang menyelimuti ruang PRT Migran Indonesia adalah perhatian pemerintah yang minim dalam hal memberi diklat dan persiapan.

Akibatnya PRT Migran Indonesia tidak mengetahui hak-haknya dan sering diperlakukan semena-mena oleh majikannya. Selain itu sering terjadi kesalahpahaman antara majikan dan PRT yang berbuntut kekerasan bagi PRT. “Selama ini PRT Migran hanya diajarkan menjadi penurut, sementara budaya masyarakat di negara calon majikan tidak diajarkan,” ungkap Utami.

Menurut Utami, situasi demikian terjadi karena Modul, Kurikulum Diklat Pra Pemberangkatan PRT migran yang dibuat pemerintah belum maksimal. Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKN) yang menjadi pelaksana pelatihan belum mengaplikasikan antara keterampilan, keadilan gender dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Akibatnya merebak pelanggaran terhadap hak dan kewajiban, seperti penambahan jam kerja yang di luar kontrak. Namun hal mendasar dari permasalahan itu adalah perjanjian kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan negara tujuan PRT, khususnya Arab Saudi yang masih lemah. Akibatnya majikan merasa bisa memperlakukan PRT Indonesia sekehendak hatinya. “Keadaan ini sangat berbeda dengan Thailand dan negara-negara lain yang memiliki badan perlindungan khusus yang siap mengawal PRTnya,” terang Utami.

Utami juga mengungkap beberapa temuan mengenai modul pendidikan bagi PRT migran ke Timur Tengah. Misalnya soal pendidikan pra pemberangkatan untuk PRT Migran. Bagi mereka yang baru pertama ke Timur Tengah, diklat untuk Penatalaksanaan Rumah Tangga (PLRT) berlangsung selama 21 hari (241 jam). Sedangkan yang sudah pernah bekerja di sana adalah 11 hari (120 jam). Dari pembagian waktu itu, 168 jam untuk pendidikan keterampilan dan 62 jam untuk PAP dan pengetahuan umum. Cara seperti itu lebih memfokuskan pada keterampilan dan kewajiban PRT agar bekerja lebih rajin dan manut kepada majikan. Modul yang diberikan juga tidak menginformasikan perihal hak pekerja, bahasa Arab, Peraturan yang melindungi PRT, dan undang-undang yang berlaku di negara tujuan. Diklat yang dilaksanakan juga tidak diawasi dengan ketat dari pemerintah sehingga banyak PRT migran yang lulus seleksi dan diberangkatkan sekalipun tidak dapat membaca. Dari sini jelas bahwa tidak diberlakukannya sanksi tegas dari pemerintah terhadap penyelenggara pendidikan bagi PRT migran seperti tercantum dalam pasal 41-44 UU No. 39/2004 tentang Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN). Dalam hal ini termasuk pemalsuan dokumen seperti menambah data usia PRT migran yang masih tergolong anak-anak.
Mantan PRT migran yang dikirim ke Arab Saudi, Sofianti menuturkan pengalamannya. Wanita 40an tahun itu sambil menangis menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya selama 8 tahun bekerja di sana. Saat itu usianya baru 17 tahun dan berangkat ke Arab demi memperbaiki ekonomi keluarga. Namun usianya dipalsukan menjadi 34 tahun. Saat itu dia hanya diajarkan agar rajin memasak, menyeterika dan trampil melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sofianti juga diajarkan agar selalu tersenyum dan ramah pada majikan. Namun saat dia tersenyum pada majikan laki-laki malah langsung ditampar, karena dianggap menggoda majikannya. Sebelum berangkat Sofianti hanya diajarkan memasak makanan Indonesia, seperti rawon, dsb. Padahal saat di Arab ketrampilan itu sama sekali tidak terpakai sehingga dia mesti belajar dari nol lagi. Di Arab, Sofianti bekerja di rumah yang memiliki 32 orang anggota keluarga. Awalnya dia hanya disuruh bersih-bersih. Namun setelah itu dia disuruh memasak, dan memberikan makanan kambing. Perjanjian kerja yang 8-10 jam, kemudian berubah menjadi 22 jam.
Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara yang diperkuat dengan pasal 28 c yang menyatakan bahwa pendidikan harus bisa mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidup demi kesejahteraan umat manusia, tak terkecuali para PRT migrant, sepertinya belum sepenuhnya dinikmati anak negeri ini.

Sementara itu, Koordinator JALA PRT, Lita Anggraini mengatakan belum maksimal melindungi PRT migrant. Mereka mudah sekali menjadi korban kekerasan, pemerasan, dan penipuan, di negara Timur Tengah. Stigma tentang upah murah, patuh dan rajin bekerja yang masih melekat di PRT asal Indonesia membuat PRT asal Indonesia mendominasi pasar kerja, terutama di Timur Tengah. Oleh sebab itu pemerintah didorong bertindak tegas dan segera meratifikasi Konvensi Internasional PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarga. Konvensi ini memadatkan perlindungan atas hak-hak Buruh migran dan keluarganya sebagaimana prinsip-prinsip dalam deklarasi universal hak asasi manusia, konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik, konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan hak anak, serta menentang diskriminasi dalam pendidikan dari organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya.[Donita T/W1]

sumber: http://jia-xiang.biz/read/prt-migran-rentan-penganiayaan

Kamis, 19 Juli 2012

Mengaku Disiksa Majikan PRT Nekat Kabur Panjat Atap Rumah

TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Seorang pembantu rumah tangga asal Lamongan bernama Rina membuat geger warga Kelurahan Tikala Kumaraka, Lingkungan IV, sekitar pukul 08.30 Wita, Kamis (19/5/2012).

Pagi-pagi buta, Rina sudah memanjat atap rumah keluarga Woinalang-Waleleng. Kepala Lingkungan IV Herry Hapsi mengatakan, Rina mengaku disiksa majikan sudah selama satu minggu ini.

"Pagi-pagi biasa kasih bersih lingkungan, biasa sapu-sapu. Tiba-tiba ada suara dari rumah keluarga Woinalang-Waleleng, depan rumah saya. Saya dengar di atas atap ada seorang ibu gerak-gerakkan tangannya. Dia kaseh tanda mau lompat. Kita bilang tunggu, tunggu. Baru kita bilang duduk dulu. Saya akan siapkan tangga untuk turun. Kurang 1-2 jam dia menunggu soalnya ini dua lantai, jadi harus atur tangga dulu," jelasnya.

Dia menambahkan Rina lari dari rumah sebelah. "Sekarang kita amankan di rumah saya, ketua lingkungan. Baru saya interogasi. Ternyata dia dari Lamongan. Kita datangkan orang Lamongan supaya berbicara dengan dia karena dia kurang bisa berbahasa Indonesia. Ternyata dia sudah sejak pukul 03.00 pagi di atas atap. Dia juga bilang sudah tiga bulan tak terima gaji. Katanya dia sering dianiaya, ada bagian tubuhnya yang terlihat memar," terangnya.

sumber: http://www.tribunnews.com/2012/07/19/mengaku-disiksa-majikan-prt-nekat-kabur-panjat-atap-rumah