Rabu, 29 Agustus 2012

Filipina Tak Mau Lagi Kirim PRT ke Luar Negeri

TEMPO.CO, Manila - Pemerintah Filipina baru saja mengumumkan rencana penghentian pelaksana (pembantu) rumah tangga ke luar negeri. Menteri Tenaga Kerja Rosalinda Baldoz telah memerintahkan Agen Pengiriman Pekerja ke Luar Negeri (POEA) untuk menghapuskan secara bertahap pengiriman tersebut selama lima tahun.

POEA adalah lembaga resmi pemerintah yang mempromosikan dan mengawasi pekerja Filipina di luar negeri. Alternatifnya, pemerintah mencoba mencari peluang yang lebih bagus ketimbang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

"Tapi kemungkinan kami masih mengirim pekerja ke Eropa," ujar Ketua POEA, Hans Cacdac, Senin, 27 Agustus 2012. Sebab negara di benua biru tersebut memberikan upah yang tinggi bagi para pekerja Filipina.

Sebenarnya, menurut Cacdac, bukanlah hal yang memalukan menjadi pekerja rumah tangga. Tapi ternyata banyak dari pekerja rumah tangga yang dikirim tersebut memiliki latar belakang pendidikan formal, seperti guru atau perawat, sehingga seharusnya mereka mendapat pekerjaan yang lebih baik dengan upah yang lebih tinggi.

Saat ini lebih dari 1 juta pekerja Filipina yang bekerja sebagai asisten rumah tangga. Kebanyakan mereka berada di kawasan Asia Tenggara atau Timur Tengah. Angka tepatnya sekitar 1,2 juta. Total ada sekitar 5,5 juta pekerja Filipina di luar negeri. Jadi, para pekerja asisten rumah tangga hampir mencapai seperempatnya.

Cadcac menambahkan, permintaan pekerja domestik asal Filipina meningkat. Permintaan terbesar datang dari Italia. Diikuti Malaysia, Singapura, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, Arab Saudi, Oman, dan Hongkong. "Jumlah ini terus naik. Saya bisa bilang, sepertiga dari pekerja domestik adalah orang baru," ujar dia.

Untuk pertama kalinya pada 2011, pekerja domestik baru menembus angka 100 ribu per tahun. Biasanya hanya berkisar 60-70 ribu per tahun. Tahun lalu, mencapai 142 ribu pekerja.

Cacdac menyatakan, citra tentang negara pengekspor pembantu adalah masalah yang sensitif. Bagi dia bukan soal citra. "Kami lebih peduli untuk memastikan bahwa setiap pekerja memiliki pekerjaan yang sah, layak, dan bermartabat di luar negeri," kata dia.

Awal bulan ini, Filipina menjadi negara kedua di dunia (setelah Urugay) yang meratifikasi konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang pekerja rumah tangga yang layak. Tahun lalu, Cacdac juga menjadi kunci dalam pembuatan konvensi standar pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga di seluruh dunia

sumber:
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/29/118426183/Filipina-Tak-Mau-Lagi-Kirim-PRT-ke-Luar-Negeri

Lebih Baik Menjadi PRT di Negeri Sendiri

KASUS Muji, sarjana asal Solo yang jadi korban perdagangan manusia, sebagai TKI di Malaysia, makin membuka mata betapa kejinya perdagangan manusia. Kalau umumnya berita yang muncul di media massa korban perdagangan manusia (trafficking) adalah orang-orang yang berpendidikan tidak terlalu tinggi, kali ini lain.

Alumnus universitas ternama di Yogyakarta ini harus menjadi pembantu rumah tangga (PRT) setelah dijual oleh ''majikan'' lama ke majikan baru seharga 12.500 ringgit atau seharga Rp 37 juta. Hal itu baru diketahuinya setelah berulangkali majikan mengatakan, ''Aku sudah membeli mahal kamu.'' Muji baru sadar ia jadi korban perdagangan manusia.

Kita bisa membayangkan betapa sedih Muji yang sarjana sampai tertipu begitu. Menurut pengakuannya di TV-0ne (24/8, Kabar Pagi), kejadian yang menimpa dirinya terkuak berkat kebaikan seseorang yang berbelanja di toko tempat ia bekerja.

Kepada orang itu, ia mengeluhkan tidak diizinkan shalat dan berpuasa. Orang itulah yang melaporkan peristiwa yang dialami Muji ke Migran Care Malaysia, yang kemudian membawa kasusnya ke KBRI.

Muji berkisah, ia ingin memperbaiki nasib, mencari biaya sekolah untuk anak-anaknya. Bahkan ia berencana nantinya akan memboyong keluarganya ke Malasyia. Takdir berkata lain. Ia jadi korban penipuan, meskipun untuk keberangkatannya ke Malaysia, PJTKI tempat ia mendaftar adalah resmi.

Sampai di Malaysia, ia dipekerjakan di sebuah kantor asuransi. Lima hari di sana, setiap kali menanyakan job-nya, tidak dijawab. Tiap hari ia diminta memasukkan data ke komputer, sampai kemudian dipindahkan ke ''majikan'' baru. Di tempat baru menjadi pembantu pada keluarga yang membuka toko.

Merasa tidak berdaya (paspor diminta majikan, tak punya duit dan terbatas akses keluar), maka ia menceriterakan nasibnya pada seorang pembeli yang baik hati di tokonya.

Muji mengimbau kepada masyarakat agar tidak pergi keluar negeri untuk bekerja jika tidak mempunyai keahlian khusus.

Ceritera Muji yang belum selesai itu membuka kisah tentang kemiskinan, semangat memperbaiki nasib, dan takdir Tuhan.

Kenekatan berangkat keluar negeri merupakan iktikad seseorang yang ingin memperbaiki nasib. Untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang, ribuan orang mendaftar, bahkan ke pengerahan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) ilegal.

Berpikir Ulang

Dalam persoalan plus minus menjadi PRT di luar negeri, rasanya sosialisasi agar masyarakat (khususnya perempuan) menahan diri atau berpikir ulang, perlu selalu dilakukan. Bahwa menjadi PRT di dalam negeri jauh lebih baik dan aman.

Data yang ada di KBRI Malaysia , dalam bulan Mei 2012, 52 TKW ada di selter KBRI dengan masalah antara lain gaji yang tidak dibayar, pelecehan seks dan kekerasan (Pelita on line, 24 Agustus 2012) .

Di negeri yang bahasanya umumnya masih dimengerti oleh TKI saja permasalahan sebanyak itu, apalagi di negeri yang bahasa dan budaya sangat berbeda. Untuk kasus PRT, rasanya pantas kita menerapkan peribahasa ''lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang''.

Menjadi PRT di luar negeri bukan saja mengabaikan pendidikan anak (bagi PRT yang seorang ibu, yang setahun sekali belum tentu bisa berkumpul dengan keluarga) tetapi juga keselamatan diri.

Gaji antara Rp 500.000 - Rp 1.000.000 /bulan (dalam negeri) sangat lebih baik daripada Rp 2 juta yang untuk memperolehnya harus meninggalkan keluarga dan beberapa risiko.

Beberapa langkah, menurut penulis, yang perlu dilakukan antara lain (pertama) kampanye atau sosialisasi terus menerus yang dilakukan oleh aktivis agar masyarakat tidak cepat tergiur dengan jumlah rial, ringgit atau dolar yang besar ketimbang pada rupiah yang nilainya mungkin lebih kecil, namun lebih aman dan berkah.

Bahwa ringgit atau rial memang pantas diterimakan untuk yang berhak yaitu mereka yang memang betul-betul memiliki keterampilan selain PRT .

Masyarakat perlu mewaspadai adanya jaringan gelap perekutan TKI di desa ataupun di kota. Di sini peran aktivis pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sangat diperlukan.

Kedua, masyarakat lebih memanusiakan PRT di dalam negeri dengan memberi gaji yang lebih pantas dan hak sebagai pekerja seperti hari libur dan tunjangan /bantuan kesehatan.

Ketiga, ramai-ramai mewujudkan pekerja paruh waktu. Menjadi asisten (pembantu) keluarga tidak harus bermalam. Datang pagi (sesuai kesepakatan ), akan sama-sama menguntungkan, khususnya di keluarga yang tidak ada anak kecil yang harus dimomong (diasuh).

Keempat, pemerintah segera menyelesaikan UU tentang PRT yang menguntungkan dua pihak, yaitu majikan dan PRT/asisten.

Kelima, memperbanyak program pemberian keterampilan yang mendorong kemandirian perempuan baik oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat. (24)


– Humaini As, Ketua Yayasan Kepodang /Koalisi Komunikasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KKP3A)

sumber:
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/08/29/196883/10/Lebih-Baik-Menjadi-PRT-di-Negeri-Sendiri

Minggu, 26 Agustus 2012

Kesibukan Warga Jakarta Tinggi, PRT pun Jadi Primadona

JAKARTA--MICOM: Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Musni Umar mengatakan tingginya tingkat kesibukan di Jakarta membuat warga ibu kota semakin bergantung dengan pekerja rumah tangga (PRT) maupun pengasuh bayi. Tingkat kebutuhan pembantu di Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kota lain.

"Dibandingkan kota lain Jakarta memang sangat tinggi kebutuhan dan ketergantungan terhadap pembantu. Ini selaras dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang juga meningkat. Semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin ingin warga dilayani," ungkap Musni kepada Media Indonesia, Minggu (26/8).

Menurut Musni, tidak sedikit perumahan mewah di Jakarta yang mempekerjakan pembantu hingga belasan bahkan puluhan dengan gaji yang menggiurkan. Kebutuhan tersebut, imbuhnya, menimbulkan simbiosis mutualisme antara pembantu dengan majikan.

"Ini yang membuat permintaan akan pembantu tetap tinggi," jelasnya.

Sayangnya, Musni menilai tingginya ketergantungan terhadap pembantu tersebut tidak diimbangi dengan pembentukan profesionalitas kerja PRT maupun pengasuh bayi. Kebanyakan bekerja tanpa kontrak dan gaji yang jelas.

"Majikan beranggapan bisa mempekerjakan pembantu sepanjang masa, di sisi lain pembantu juga tidak punya disiplin kapan kembali jika pulang kampung. Banyak yang tidak bisa dihubungi atau tidak kembali ketika pulang kampung. Profesionalisme ini yang harus diperbaiki," tandasnya. (Vni/OL-10)


sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/08/08/343402/38/5/Kesibukan-Warga-Jakarta-Tinggi-PRT-pun-Jadi-Primadona#.UDwwTmoKK9Q.twitter

Senin, 13 Agustus 2012

November, PRT Asal Indonesia di Singapura Harus Digaji Lebih

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Pada akhir tahun nanti, warga Singapura yang ingin mempekerjakan pembantu asal Indonesia.

Mereka yang ingin menggunakan tenaga TKI, mulai November harus menandatangani kontrak dengan klausul yang berbunyi PRT asal Indonesia harus dibayar paling sedikit 450 dolar Singapura (Rp3,43 jutaan).

Klausul lain dalam kontrak juga menyatakan jika ia bekerja sepekan penuh bahkan di hari liburnya tiap bulan, maka ia harus mendapat upah tambahan. Gaji tambahan yang harus dibayarkan yakni 70 dolar Singapura (Rp500 ribuan) untuk per hari libur yang digunakan bekerja.

Kedua klausul itu dipastikan muncul dalam kontrak yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia. Namun seberapa jauh kontrak itu memastikan tenaga kerja Indonesia mendapat kompensasi adil bergantung terhadap penegakan hukum keras. Sementara, menurut komentar The Strait Times, jejak rekam Kedutaan Besar Indonesia dalam persoalan ini selalu penuh lubang.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Strait Times

sumber:http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/13/m8ogkj-november-prt-asal-indonesia-di-singapura-harus-digaji-lebih

Press Release JPPRT

Berikut adalah Press Release dari Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta menanggapi pernyataan Kepala Disnakersos Sleman terkait TKI PRT.


JARINGAN PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA (JPPRT)

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Anggota Jaringan : ABY, Forum LSM DIY, IHAP, ICM, Koalisi Perempuan Indonesia DIY, Kongres Operata Yogyakarta (KOY), LKBH UII, LOD, LOS, LSPPA, LBH Yogyakarta, LSKP, Mitra Wacana, PKBH UMY, PKBI DIY, PSB, Rifka Annisa, Rumpun Tjoet Njak Dien, SAMIN, Sahabat Perempuan, Serikat PRT Tunas Mulia, SP Kinasih, Yasanti, Yayasan Kembang dan individu-individu.

Sekretariat bersama: RTND, Jalan Gurami UH VI/300B Sorosutan Umbulharjo Yogyakarta

Telp./Fax.: 0274 – 384056, E-mail: jpprt_yogya@yahoo.com



Press Release

Tanggapan Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Atas Pernyataan Kepala Disnakersos Sleman tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) PRT




Ia menjelaskan, pertimbangan kekerasan terhadap TKI informal, seperti, pekerja rumah tangga, menjadi salah satu penyebab penghapusan rekomendasi oleh pemkab untuk bidang tersebut.

“Selain itu, kami juga tidak ingin harga diri bangsa diinjak-injak dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang,” ujarnya.

(cuplikan pernyataan Kepala Disnakersos Sleman)



Kami dari Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta, menyatakan kekecewaan dan keprihatinan atas pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Disnakersos Sleman, Yuli Setiono Dwi Warsito, seperti diberitakan Media Surat Kabar Harian Jogja 3 Agustus 2012 dengan tajuk “PENGIRIMAN TKI: PRT Asal Sleman Dipastikan Ilegal” (sumber: http://www.harianjogja.com/2012/channel/jateng/pengiriman-tki-prt-asal-sleman-dipastikan-ilegal-315750)


JPPRT menganggap pernyataan Kepala Disnakersos Sleman tersebut telah menyakiti hati Pekerja Rumah Tangga. Bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) PRT diluar negeri bukanlah tanpa alasan, tetapi karena desakan kesulitan ekonomi keluarga dan sulitnya mendapatkan pekerjaan di negeri sendiri menjadikan alasan yang sangat mendasar bagi para Tenaga Kerja Indonesia yang berprofesi sebagai PRT. Meski disisi lain belum ada instrumen hukum yang menjamin pemenuhan hak-hak TKI, khususnya PRT, dan perlindungan atas kondisi rentan mereka yang dikarenakan lingkup kerja yang sangat privat. Kondisi ini memberi ruang bagi pelanggaran hak-hak PRT, penyiksaan dan perbudakan.


Pemerintah seharusnya tidak bisa menutup mata bahwa Tenaga Kerja Indonesia bukan hanya berjasa bagi keluarga, tetapi juga pada negara sebagai penghasil devisa. Dengan kondisi tersebut, pernyataaan yang disampaikan Kepala Disnakersos Sleman sangat bertolak belakang dengan apa yang telah disumbangkan oleh para pahlawan “Devisa Negara” tentang berapa besar jasa yang diberikan setiap tahun untuk negeri ini.


Penghapusan rekomendasi oleh Pemkab untuk pengiriman PRT sebagai TKI bukanlah solusi dari ketiadaan perlindungan di dalam negeri. Setelah kegagalannya menyediakan lapangan pekerjaan di negeri sendiri, sekarang dengan kebijakan tersebut pemerintah mencoba mempersempit ladang dunia kerja yang berhak dipilih oleh warga negaranya, meskipun itu adalah untuk menjadi PRT di negeri orang. Seharusnya kegagalan tersebut ditebus dengan memperlengkapi atau memberikan pendidikan yang tepat dan proporsional bagi para calon PRT migran bukan malah kembali melanggar hak warga negaranya. Perlu diketahui bahwa perlindungan juga mencakup proses pendidikan bagi warga negara dalam hal ini calon TKI. Jika demikian dapat disimpulkan bahwa Pemerintah lah yang melanggengkan kekerasan terhadap PRT dengan sikap lalainya menyediakan aturan yang melindungi PRT. Kalau memang Pemkab Sleman tidak mengizinkan warganya untuk menjadi tenaga kerja PRT ke luar negeri, apakah Pemkab Sleman telah memberikan kehidupan yang layak bagi rakyatnya?


Perlu kami tegaskan bahwa PRT merupakan salah satu tenaga kerja yang dibutuhkan di Indonesia dan di berbagai belahan dunia. Berdasarkan peran, jasa, permasalahan dan juga pernyataan Kepala Disnakersos Sleman terhadap TKI yang berprofesi sebagai PRT, Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta mendesak :

1. Hentikan segala bentuk diskriminasi terhadap profesi PRT,

2. Hargai PRT sebagai profesi Pekerja Rumah Tangga, bukan aib bangsa,

3. Segera wujudkan sistem perlindungan hukum bagi PRT, baik domestik maupun migran.



Yogyakarta, 13 Agustus 2012


Salam Solidaritas

Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta




PENGIRIMAN TKI: PRT Asal Sleman Dipastikan Ilegal


SLEMAN–Pekerja rumah tangga asal Sleman yang bekerja di luar negeri hampir dipastikan ilegal. Alasannya, Kabupaten Sleman sudah tidak merekomendasikan Tenaga Kerja Indonesia bekerja pada sektor informal di luar negeri.

Kepala Disnakersos Sleman, Yuli Setiono Dwi Warsito menuturkan, pekerja rumah tangga asal Sleman yang bekerja di luar negeri pasti tidak melalui tahap yang seharusnya. Mulai dari meminta rekomendasi ke Disnakersos, hingga mengurus surat-surat yang dibutuhkan. Kemungkinan, lanjutnya, mereka menumpang daerah lain dan dokumen yang digunakan tidak sah.

Ia menambahkan, kejadian ini akan tampak ketika para pekerja rumah tangga tersebut mengalami masalah di tempat kerjanya. “Barulah ketahuan asal mula bagaimana mereka bisa bekerja di luar negeri,” ungkapnya kepada Harian Jogja, Jumat (3/8).

Ia menjelaskan, pertimbangan kekerasan terhadap TKI informal, seperti, pekerja rumah tangga, menjadi salah satu penyebab penghapusan rekomendasi oleh pemkab untuk bidang tersebut.

“Selain itu, kami juga tidak ingin harga diri bangsa diinjak-injak dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang,” ujarnya. (ali)

sumber: http://www.harianjogja.com/2012/channel/jateng/pengiriman-tki-prt-asal-sleman-dipastikan-ilegal-315750

Jumat, 03 Agustus 2012

PENGIRIMAN TKI: PRT Asal Sleman Dipastikan Ilegal

SLEMAN–Pekerja rumah tangga asal Sleman yang bekerja di luar negeri hampir dipastikan ilegal. Alasannya, Kabupaten Sleman sudah tidak merekomendasikan Tenaga Kerja Indonesia bekerja pada sektor informal di luar negeri.

Kepala Disnakersos Sleman, Yuli Setiono Dwi Warsito menuturkan, pekerja rumah tangga asal Sleman yang bekerja di luar negeri pasti tidak melalui tahap yang seharusnya. Mulai dari meminta rekomendasi ke Disnakersos, hingga mengurus surat-surat yang dibutuhkan. Kemungkinan, lanjutnya, mereka menumpang daerah lain dan dokumen yang digunakan tidak sah.

Ia menambahkan, kejadian ini akan tampak ketika para pekerja rumah tangga tersebut mengalami masalah di tempat kerjanya. “Barulah ketahuan asal mula bagaimana mereka bisa bekerja di luar negeri,” ungkapnya kepada Harian Jogja, Jumat (3/8).

Ia menjelaskan, pertimbangan kekerasan terhadap TKI informal, seperti, pekerja rumah tangga, menjadi salah satu penyebab penghapusan rekomendasi oleh pemkab untuk bidang tersebut.

“Selain itu, kami juga tidak ingin harga diri bangsa diinjak-injak dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang,” ujarnya. (ali)

sumber: http://www.solopos.com/2012/channel/jateng/pengiriman-tki-prt-asal-sleman-dipastikan-ilegal-315750

Kamis, 02 Agustus 2012

Malaysia Minta Puluhan Ribu PRT dari Indonesia

TEMPO.CO, Kuala Lumpur - Setelah dicabutnya pembekuan pengiriman pembantu rumah tangga (PRT) ke Malaysia, ratusan agensi dan pengerah tenaga kerja di Negeri Jiran tersebut mulai mengajukan permohonan (demand letter) melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. Dari sekian banyak permohonan, KBRI telah menyetujui 22.250 surat.

Hal tersebut dijelaskan Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur Agus Triyanto saat ditemui Tempo di ruang kerjanya, Kamis, 2 Agustus 2012. “Ada 108 agensi dan pengerah tenaga kerja yang mengajukan permohonan ini. Namun, kami baru menyetujui 22.250 surat,” kata Agus.

Beberapa persyaratan diminta KBRI dari agensi sebelum meluluskan permohonan tersebut, di antaranya profil calon majikan serta gaji minimal 700 ringgit (sekitar Rp 2 juta) per bulan untuk penempatan baru.

Selain itu, menurut Agus, pihaknya juga giat memberi penjelasan kepada majikan dan pihak-pihak terkait di Malaysia bahwa pembantu rumah tangga harus mendapatkan perlakuan yang baik. “Kami jelaskan bahwa pekerja domestik kita itu bukan robot yang bisa bekerja apa saja dan kapan saja. Mereka itu manusia yang punya sisi kemanusiaan, hak asasi, dan harga diri," katanya.

Hal ini dilakukan untuk mendukung rencana penghapusan pembantu rumah tangga yang tinggal bersama majikan selama 24 jam. “Road map (ketentuan kerja) yang dibuat Puslitbang Kementerian Tenaga Kerja tahun 2017 nanti, pembantu rumah tangga bekerja sesuai kompetensi dan waktu kerjanya, serta tidak tinggal 24 jam bersama majikan,” kata Agus.

Pernyataan ini sekaligus mengoreksi keterangan Ketua BNP2TKI Jumhur Hidayat bahwa pengiriman pembantu rumah tangga akan dihentikan pada 2017. Karena itu, Atase Ketenagakerjaan KBRI giat melakukan pendekatan kepada pihak otoritas Malaysia agar ketentuan tenaga kerja 2017 tersebut bisa terlaksana.

MASRUR

sumber: http://www.tempo.co/read/news/2012/08/02/118420865/Malaysia-Minta-Puluhan-Ribu-PRT-dari-Indonesia

UU Perlindungan PRT: Kebutuhan Penting dan Mendesak bagi Pekerja Rumah Tangga!

Profesi Pekerja Rumah Tangga (PRT), masih dipandang “sebelah mata” oleh semua lapisan masyarakat, bahkan lapisan masyarakat tertinggi, dalam hal ini Negara. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan perundangan yang memberikan jaminan terhadap PRT yang mengatur secara jelas hak-hak PRT. Komitmen Presiden SBY untuk memberikan perlindungan terhadap PRT masih sebatas janji saja.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mencakup peraturan perlindungan bagi PRT. Satu-satunya peraturan yang bisa mengakomodir yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Namun UU tersebut hanya dapat diterapkan sebatas pada kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh PRT saja, tidak mencakup aspek-aspek ketenagakerjaan PRT, yang sangat sering dialami oleh PRT dan dalam beberapa kasus merupakan cikal bakal terjadinya kekerasan terhadap PRT.

Menurut Dinda Nuurannisaa Yura, aktivis dari Solidaritas Perempuan, yang telah sekian tahun bergelut dengan masalah PRT di Indonesia, kata ”Pembantu” dan ”Pekerja” bukan sekadar perbedaan istilah. Penggunaan terminologi Pekerja juga mengandung makna bahwa PRT juga memiliki hak sebagaimana pekerja lainnya.

Dinda, dalam diskusi online bulanan atau #diktum yang dilaksanakan oleh ICJR pada Kamis, 2 Agustus 2012 di Sekretariat ICJR, yang dimoderatori oleh Anggara, mengatakan bahwa apa yang dialami oleh para buruh migran yang bekerja sebagai PRT sebenarnya tidak jauh beda dialami juga oleh para PRT di Indonesia. Hanya saja tidak mencuat ke permukaan karena korban kerap kali hanya diam jika muncul masalah. Begitupun masyarakat yang mengetahui tentang masalah tersebut. Ditambah media kita juga sangat jarang mengangkat masalah-masalah PRT domestik, lebih sering mengangkat berita PRT di luar negeri.

Tentang jam kerja PRT, gaji yang rendah atau tidak dibayarkan, hak komunikasi, kekerasan fisik, merupakan permasalahan-permasalahan umum yang dialami oleh PRT domestik. Hampir semua PRT domestik (termasuk di Jakarta) bekerja tanpa perjanjian kerja, kecuali di Jogja karena. Sebagian PRT di Jogja telah bekerja dengan perjanjian kerja antara PRT dengan majikan. Hal itu dapat terjadi karena Jogja telah memiliki Perda PRT, disamping juga komunitas/ jaringan PRT di Jogja sangat solid dalam menyuarakan dan melakukan gerakan untuk perlindungan terhadap PRT.

Masalah-masalah yang dialami PRT domestik memang akan terminimalisir, jika Indonesia telah memiliki peraturan perundangan yang mengatur tentang PRT. Desakan masyarakat sipil akhirnya berhasil memasukkan RUU PRT kedalam prolegnas 2004 – 2009. Namun, sampai akhir masa jabatan DPR 2004 – 2009, RUU ini tidak dibahas sama sekali. RUU ini kembali masuk ke Prolegnas periode sekarang, dan masuk ke dalam prioritas tahun 2010 dan 2011. Berkat desakkan masyarakat melalui aksi di depan gedung DPR, RUU ini masuk prioritas 2012.

Berdasarkan Rapid Assesment JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga), 2009, jumlah PRT di Indonesia mencapai lebih dari 10 juta orang. UU PRT menjadi kebutuhan yang sangat pokok dan mendesak. Para PRT yang akan membawa kasus-kasus yang dialaminya ke jalur hukum banyak yang mengalami hambatan atau mandeg begitu saja karena para penegak hukum berdalih tidak terdapat dasar hukum yang menjadi dasar penyelesai kasus.

Masyarakat dapat turut mendorong perbaikan/perubahan terhadap kondisi atau keberadaan PRT, dengan merubah paradigma keberadaan PRT, cara pandang terhadap PRT. Masyarakat yang selama ini berperan sebagai majikan juga merupakan tonggak penting dalam perjuangan ini. (AV/ICJR)


sumber: http://icjr.or.id/uu-perlindungan-prt-kebutuhan-penting-dan-mendesak-bagi-pekerja-rumah-tangga/

Rabu, 01 Agustus 2012

Pemerintah Akan Hentikan Penempatan TKI PRT

[JAKARTA] Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat menyatakan pemerintah akan menghentikan penempatan TKI sektor informal atau penata laksana rumah tangga (PLRT).

"Bukan merendahkan TKI PLRT tetapi ada saatnya tidak ada lagi TKI PLRT," katanya di Pekanbaru, Selasa (31/7), dalam rangkaian Safari Ramadhan BNP2TKI V 24 Juli - 3 Agustus 2012 ke Sumut, NAD, Riau, dan Kepri.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi merencanakan penghentian penempatan TKI PLRT pada 2017. Sejauh ini pemerintah telah menghentikan penempatan sementara (moratorium) TKI PLRT ke Arab Saudi, Jordania, Kuwait, Suriah, dan Malaysia.

"Penempatan TKI PLRT tak akan dilakukan ke negara-negara yang tidak mampu menjamin perlindungannya," katanya.

Jumhur mengakui permasalahan TKI di luar negeri umumnya dialami mereka yang bekerja pada sektor informal atau penata laksana rumah tangga (PLRT) karena memang perlindungannya sangat rentan.

"TKI PLRT cenderung terisolasi karena bekerja dan tinggal di dalam rumah pengguna, hubungan kerjanya subyektif, emosional, dan tidak terjangkau oleh ketentuan perundang-undangan di negara penempatan," katanya.

Sedangkan bagi TKI formal atau mereka yang bekerja pada perusahaan berbadan hukum terjamin perlindungannya. Saat ini terdapat sekitar enam juta TKI di 116 negara dengan porsi 55 persen TKI informal atau PLRT dan 45 persen TKI formal.

"Jumlah TKI PLRT akan terus dikurangi hingga dihentikan pada suatu saat," katanya. Ia menegaskan, pemerintah mulai fokus pada penempatan TKI formal terampil, semiterampil, hingga tenaga-tenaga profesional.

Beragam persoalan TKI di luar negeri membuat pemerintah tertantang menggencarkan program prorakyat yang banyak menyerap tenaga kerja di dalam negeri. "Pemerintah perlu menggencarkan program prorakyat, jangan menyelesaikan masalah dengan menjadi TKI," kata Jumhur.

Ia menegaskan, doktrin BNP2TKI adalah mendahulukan masyarakat untuk mengabdi atau bekerja di dalam negeri dan tidak serta merta hanya menginginkan bekerja di luar negeri. "Sepanjang lapangan kerja di dalam negeri masih amat terbatas dan persoalan pengangguran dan kemiskinan maka siapapun termasuk pemerintah tak bisa menahan warganya untuk bekerja ke luar negeri karena itu merupakan HAM . Tugas pemerintah memfasilitasi," katanya.

Ia sangat mendukung bila kepala daerah selaku pemimpin pemerintah di daerah hingga pemimpin di pemerintahan pusat menyediakan lapangan kerja yang seluas-luasnya.

Sementara itu ketika menyampaikan kuliah umum di Universitas Riau,
Kepala BNP2TKI, Moh Jumhur Hidayat mengatakan globalisasi dunia yang ditandai dengan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan telah melahirkan ketidakadilan dalam liberalisasi migrasi.

"Ketidakadilan ini disebabkan para pemimpin negara maju mempersulit datangnya tenaga kerja asing (TKA)," ujar Kepala BNP2TKI ketika menyampaikan Kuliah Umum di Universitas Riau (UNRI) di Pekanbaru, Selasa (31/7).

Menurut Jumhur, bentuk ketidakadilan itu dicontohkan dengan meski para pemimpin negara-negara maju seolah membutuhkan adanya TKA untuk mengisi di banyak sektor namun dari sisi persyaratan yang diminta seperti soal bahasa sangat tidak masuk akal. "Untuk Australia, syarat skore IELTS yang diminta 7.0. Syarat tinggi itu untuk orang Australia sendiri sulit diraih," paparnya.

Ia menyayangkan, sifat hipokrit para pemimpin di negara maju. Padahal di level masyarakatnya, kebutuhan itu sangat dirasakan. Politik migrasi negara maju yang tertutup ini merugikan bangsa Indonesia. Yang butuh kerja, kata Jumhur bukan para pemimpinnya tapi masyarakatnya. Dan yang ingin kerja bukan Jumhur, tapi para TKI.

Dicontohkannya, di Jerman, ada permintaan 7.000 orang perawat Indonesia. Sayangnya, ketika BNP2TKI menyanggupi kebutuhan itu ada regulasi para pemimpin Uni Eropa yang membatasi datangnya pekerja dari luar Uni Eropa.

Kepada para mahasiswa UNRI, Jumhur mengatakan, kalau republik ini menyediakan tempat anda untuk mengabdi silahkan mengabdi kepada tanah air. Namun, bila pekerjaan tidak ada di dalam negeri silahkan bekerja di luar negeri. [E-8]


sumber: http://www.suarapembaruan.com/home/pemerintah-akan-hentikan-penempatan-tki-prt/22944