Rabu, 29 Agustus 2012

Lebih Baik Menjadi PRT di Negeri Sendiri

KASUS Muji, sarjana asal Solo yang jadi korban perdagangan manusia, sebagai TKI di Malaysia, makin membuka mata betapa kejinya perdagangan manusia. Kalau umumnya berita yang muncul di media massa korban perdagangan manusia (trafficking) adalah orang-orang yang berpendidikan tidak terlalu tinggi, kali ini lain.

Alumnus universitas ternama di Yogyakarta ini harus menjadi pembantu rumah tangga (PRT) setelah dijual oleh ''majikan'' lama ke majikan baru seharga 12.500 ringgit atau seharga Rp 37 juta. Hal itu baru diketahuinya setelah berulangkali majikan mengatakan, ''Aku sudah membeli mahal kamu.'' Muji baru sadar ia jadi korban perdagangan manusia.

Kita bisa membayangkan betapa sedih Muji yang sarjana sampai tertipu begitu. Menurut pengakuannya di TV-0ne (24/8, Kabar Pagi), kejadian yang menimpa dirinya terkuak berkat kebaikan seseorang yang berbelanja di toko tempat ia bekerja.

Kepada orang itu, ia mengeluhkan tidak diizinkan shalat dan berpuasa. Orang itulah yang melaporkan peristiwa yang dialami Muji ke Migran Care Malaysia, yang kemudian membawa kasusnya ke KBRI.

Muji berkisah, ia ingin memperbaiki nasib, mencari biaya sekolah untuk anak-anaknya. Bahkan ia berencana nantinya akan memboyong keluarganya ke Malasyia. Takdir berkata lain. Ia jadi korban penipuan, meskipun untuk keberangkatannya ke Malaysia, PJTKI tempat ia mendaftar adalah resmi.

Sampai di Malaysia, ia dipekerjakan di sebuah kantor asuransi. Lima hari di sana, setiap kali menanyakan job-nya, tidak dijawab. Tiap hari ia diminta memasukkan data ke komputer, sampai kemudian dipindahkan ke ''majikan'' baru. Di tempat baru menjadi pembantu pada keluarga yang membuka toko.

Merasa tidak berdaya (paspor diminta majikan, tak punya duit dan terbatas akses keluar), maka ia menceriterakan nasibnya pada seorang pembeli yang baik hati di tokonya.

Muji mengimbau kepada masyarakat agar tidak pergi keluar negeri untuk bekerja jika tidak mempunyai keahlian khusus.

Ceritera Muji yang belum selesai itu membuka kisah tentang kemiskinan, semangat memperbaiki nasib, dan takdir Tuhan.

Kenekatan berangkat keluar negeri merupakan iktikad seseorang yang ingin memperbaiki nasib. Untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang, ribuan orang mendaftar, bahkan ke pengerahan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) ilegal.

Berpikir Ulang

Dalam persoalan plus minus menjadi PRT di luar negeri, rasanya sosialisasi agar masyarakat (khususnya perempuan) menahan diri atau berpikir ulang, perlu selalu dilakukan. Bahwa menjadi PRT di dalam negeri jauh lebih baik dan aman.

Data yang ada di KBRI Malaysia , dalam bulan Mei 2012, 52 TKW ada di selter KBRI dengan masalah antara lain gaji yang tidak dibayar, pelecehan seks dan kekerasan (Pelita on line, 24 Agustus 2012) .

Di negeri yang bahasanya umumnya masih dimengerti oleh TKI saja permasalahan sebanyak itu, apalagi di negeri yang bahasa dan budaya sangat berbeda. Untuk kasus PRT, rasanya pantas kita menerapkan peribahasa ''lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang''.

Menjadi PRT di luar negeri bukan saja mengabaikan pendidikan anak (bagi PRT yang seorang ibu, yang setahun sekali belum tentu bisa berkumpul dengan keluarga) tetapi juga keselamatan diri.

Gaji antara Rp 500.000 - Rp 1.000.000 /bulan (dalam negeri) sangat lebih baik daripada Rp 2 juta yang untuk memperolehnya harus meninggalkan keluarga dan beberapa risiko.

Beberapa langkah, menurut penulis, yang perlu dilakukan antara lain (pertama) kampanye atau sosialisasi terus menerus yang dilakukan oleh aktivis agar masyarakat tidak cepat tergiur dengan jumlah rial, ringgit atau dolar yang besar ketimbang pada rupiah yang nilainya mungkin lebih kecil, namun lebih aman dan berkah.

Bahwa ringgit atau rial memang pantas diterimakan untuk yang berhak yaitu mereka yang memang betul-betul memiliki keterampilan selain PRT .

Masyarakat perlu mewaspadai adanya jaringan gelap perekutan TKI di desa ataupun di kota. Di sini peran aktivis pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sangat diperlukan.

Kedua, masyarakat lebih memanusiakan PRT di dalam negeri dengan memberi gaji yang lebih pantas dan hak sebagai pekerja seperti hari libur dan tunjangan /bantuan kesehatan.

Ketiga, ramai-ramai mewujudkan pekerja paruh waktu. Menjadi asisten (pembantu) keluarga tidak harus bermalam. Datang pagi (sesuai kesepakatan ), akan sama-sama menguntungkan, khususnya di keluarga yang tidak ada anak kecil yang harus dimomong (diasuh).

Keempat, pemerintah segera menyelesaikan UU tentang PRT yang menguntungkan dua pihak, yaitu majikan dan PRT/asisten.

Kelima, memperbanyak program pemberian keterampilan yang mendorong kemandirian perempuan baik oleh pemerintah maupun swadaya masyarakat. (24)


– Humaini As, Ketua Yayasan Kepodang /Koalisi Komunikasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KKP3A)

sumber:
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/08/29/196883/10/Lebih-Baik-Menjadi-PRT-di-Negeri-Sendiri

Tidak ada komentar: