Kamis, 18 Agustus 2011

PRT Juga Wajib Dapat THR

Kamis, 18 Agustus 2011 10:56 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA-- Pegiat/aktivis LSM "Sapu Lidi" (Persatuan Perempuan Peduli Generasi Indonesia) Surabaya Hari Putri Lestari menilai, pembantu rumah tangga juga berhak menerima tunjangan hari raya. karena PRT itu hakikatnya juga pekerja/buruh.

"Biasanya, THR itu diberikan kepada kaum buruh atau pekerja di pabrik atau perusahaan, sedangkan pembantu rumah tangga (PRT) menjadi urusan majikan, tapi hal itu tidak benar, karena PRT juga berhak atas THR," kata Wakil Ketua Bidang Kesehatan, Tenaga Kerja, Perempuan, dan Anak (KTKPA) DPD PDIP Jatim itu di Surabaya, Kamis.

Menurut dia, PRT hendaknya tidak disingkat pembantu rumah tangga, tapi pekerja rumah tangga. Artinya, PRT juga merupakan pekerja, karena dia mendapatkan kompensasi berupa upah atas konsekuensi dirinya meninggalkan keluarga dan upah itu juga untuk menafkahi keluarganya.

"Lebih dari itu, Badan Perburuhan Dunia atau ILO telah memasukkan PRT sebagai buruh/pekerja juga, sehingga Indonesia sebagai anggota ILO juga terikat dengan konvensi itu," katanya.

Oleh karena itu, dirinya bersama sejumlah aktivis LSM kini memperjuangkan UU PRT di DPR RI yang sudah berlangsung selama tiga tahun. "PRT selama ini sudah menerima upah dan THR dari majikan, tapi besaran upah dan THR itu bervariasi dan mayoritas justru jauh di bawah upah buruh dengan alasan makan dan tidur di rumah majikan," ungkapnya.

Jadi, katanya, PRT sebagai warga negara juga mempunyai hak asasi yang seharusnya dilindungi pemerintah dan masyarakat, namun belum adanya UU PRT membuat belum ada jaminan PRT di Indonesia terbebas dari eksploitasi dan ketidakadilan.

"Jaminan yang diperlukan itu meliputi upah yang layak bagi PRT, jaminan sosial, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, hak akomodasi, waktu istirahat, jam kerja yang jelas, jam makan, cuti haid, cuti tahunan bagi yang bekerja dalam kurun waktu setahun, hak berkomunikasi dan bersosialisasi, dan terhindar dari segala bentuk kekerasan," paparnya.

Redaktur: Stevy Maradona
Sumber: Antara
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/08/18/lq3uyb-prt-juga-wajib-dapat-thr

Selasa, 16 Agustus 2011

Alasan Pemerintah Ditolak, Sidang Pembentukan UU PRT Jalan Terus

Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak alasan pemerintah terkait gugatan warga negara yang memohon pemerintah membuat UU Pekerja Rumah Tangga (PRT). Alhasil, sidang tersebut dilanjutkan 3 minggu lagi untuk memasuki pembuktian.

"Menyatakan PN Jakpus berwenang mengadili perkara ini dan menolak keberatan tergugat," kata Ketua Majelis, Sujiwo Santoso di PN Jakpus, Jalan Gajah Mada, Jakarta, Selasa, (16/8/2011).

Sujiwo menilai dalam praktek pengadilan, hakim wajib menggali nilai- nilai yang ada dalam masyarakat. Selain itu, masyarakat harus mempunyai akses terhadap keadilan denhan mendapatkan ruang yang kompeten yaitu pengadilan.

"Dalil citizen lawsuit tidak dikenal dalam hukum Indonesia tidak beralasan," terang Sujiwo.

Seperti diketahui, presiden beralasan gugatan harus ditolak bentuk gugatan aktivis 162 PRT merupakan gugatan warga negara. Sementara, sistem hukum Indonesia tidak mengenal adanya gugatan warga negara. Kedua, para penggugat dinilai tidak memunyai kedudukan hukum. Namun alasan ini ditolak hakim.

"Karena citizen lawsuit untuk melindungi warga negara dari tindakan pembiaran oleh pemerintah," terang Sujiwo yang didampingi hakim anggota Herdi Agusten dan Nani Indrawati.

Menanggapi putusan sela ini, aktivis PRT pun mengaku senang. Mereka memberikan apresiasi atas alasan majelis hakim tentang pentingnya kontrol warga negara terhadap negara.

"Kami mengapresiasi putusan ini. Majelis hakim telah objektif dalam menelaah perkara ini," ungkap kuasa hukum pemohon, Pratiwi dari LBH Jakarta usai sidang.

Seperti diketahui, 162 PRT dan majikan menggugat pemerintah. Pihak yang digugat adalah Presiden, Wakil Presiden, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Luar Negeri, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, dan DPR RI. Para tergugat dinilai lalai dalam menjalankan tugas dan kewajiban terkait pembantu rumah tangga.

Akibatnya, PRT rentan dengan kekerasan fisik. Karena itu, para penggugat meminta pengadilan mengabulkan gugatannya, yakni meminta agar tergugat membuat UU Perlindungan Pekerja dan menjamin adanya perlindungan PRT yang mengacu pada perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia.

(asp/ndr)

http://www.detiknews.com/read/2011/08/16/144503/1704885/10/alasan-pemerintah-ditolak-sidang-pembentukan-uu-prt-jalan-terus

Gugat Pemerintah, Saksi & Bukti Soal PRT Siap

Selasa, 16 Agustus 2011, 17:36 WIB
Denny Armandhanu


VIVAnews - Organisasi perlindungan bagi pembantu rumah tangga (PRT), Jaringan Nasional Advokasi PRT (Jala PRT), turut serta dalam salah satu organisasi yang mengajukan gugatan kepada pemerintah
terkait perlindungan WNI di luar negeri. Organisasi ini mengatakan sudah menyiapkan saksi-saksi dan bukti untuk dihadirkan ke pengadilan tiga minggu lagi.

Koordinator Jala PRT, Lita Anggraini, saat dihubungi VIVAnews, Selasa, 16 Agustus 2011, mengatakan bahwa tindakan hakim menolak eksepsi pemerintah pada pengadilan pertama Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit/CLS) dinilai sangat tepat. Hakim PN Jakarta Pusat, Sujiwo Santoso, dinilai telah berlaku adil telah menerima gugatan tersebut.

"Hakim telah berlaku adil dengan menerima mekanisme warga negara dalam meminta pertanggungjawaban terhadap pemerintah. Memang mekanisme semacam ini (CLS) belum diatur, namun bisa diterima. Ini
adalah hak warga negara dan telah dipenuhi," kata Lita.

Pengadilan tahap pembuktian akan dilakukan dalam waktu tiga minggu lagi. Lita mengatakan semua saksi-saksi ahli dan bukti-bukti yang terdiri dari bukti-bukti kasus dan kesalahan kebijakan pemerintah dalam bidang ini siap untuk dihadirkan.

"Kita juga akan menghadirkan analisis pelanggaran terhadap PRT, dan hubungannya dengan anggaran negara," kata Lita.

Lita mengatakan gugatan tersebut berangkat dari situasi PRT baik di dalam dan luar negeri. Lita menilai hak-hak para PRT belum terpenuhi secara maksimal. Negara, ujar Lita, telah melakukan pembiaran dan lalai dalam melindungi warga negara.

"PRT migran dianggap hanya sebagai komiditi. Selama ini tidak ada undang-undang PRT, undang-undang nomor 39 tidak memiliki persepsi perlindungan, lebih banyak penempatan," kata Lita merujuk kepada UU no. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.

Dalam gugatan tersebut, Jala PRT bersama organisasi lainnya juga menuntut pemerintah membuat undang-undang mengenai perlindungan pekerja rumah tangga dan meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang telah ditandatangani Indonesia.

Dalam tuntutannya, Jala PRT berharap undang-undang perlindungan PRT nantinya mencakup beberapa hal terkait kesejahteraan PRT. "Di antaranya adalah adanya kepastian upah, libur mingguan, jaminan sosial, hak integritas pribadi, hak berserikat dan bersosialisasi, hak mendapatkan pelatihan, adanya perjanjian kerja dan perjanjian batasan beban kerja," jelas Lita.
• VIVAnews
sumber: http://dunia.vivanews.com/news/read/241187-gugat-pemerintah--saksi-dan-bukti-telah-siap

Rabu, 10 Agustus 2011

Pemerintah Hentikan Penempatan PRT ke Suriah

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia memutuskan menghentikan penempatan Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke Suriah. Kebijakan itu diberlakukan mulai tanggal 9 Agustus 2011.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan keputusan ini dibuat oleh Pemerintah dengan komitmen untuk memberikan pelayanan dan perlindungan terbaik kepada warga negara Indonesia yang bekerja dan hendak bekerja ke luar negeri.

"Setelah melakukan evaluasi mendalam mengenai aspek perlindungan dan kesejahteraan TKI yang bekerja di Syria, maka pemerintah memutuskan untuk melakukan moratorium penempatan TKI (Tenaga Kerja Indonesia sektor PRT ke Suriah," kata Muhaimin dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Rabu (10/8/2011).

Muhaimin Iskandar mengungkapkan sistem penempatan dan perlindungan yang diterapkan bagi TKI di Suriah kurang memadai sehingga tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi PRT yang bekerja di negara tersebut.

“Selama ini kasus-kasus yang menimpa dan sangat merugikan PRT di Suriah cenderung meningkat secara kuantitas maupun kualitas. Apalagi sampai saat ini pemerintah Indonesia dengan pemerintah. Suriah belum menandatangani MoU bidang penempatan dan perlindungan PRT, “kata Muhaimin.

Muhaimin berharap pemberlakukan moratorium ini dapat dimanfaatkan semua pihak untuk bekerja sama membenahi sistem penempatan dan perlindungan TKI dan kejadian-kejadian yang merugikan TKI tidak terulang lagi. Berdasarkan data Kemenakertrans, selama Januari – Juli 2011, terdapat 3.726 orang TKI yang berangkat untuk bekerja di Syria. Jumlah itu terdiri dari 284 TKI formal dan 3.442 orang TKI yang bekerja di sektor non formal.

Penulis: Ferdinand Waskita | Editor: Yudie Thirzano
sumber: http://www.tribunnews.com/2011/08/10/pemerintah-hentikan-penempatan-prt-ke-suriah