Jumat, 28 Agustus 2009

SURAT TERBUKA RTND KEPADA PRESIDEN RI

No : 16/RTND/VIII/2009
Hal : Pernyataan Sikap Rumpun Tjoet Njak Dien
Lampiran : -

Yogyakarta, 28 Agustus 2009

Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta

Dengan hormat,
Perkenankanlah kami Rumpun Tjoet Njak Dien, sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan sejak tahun 1995 yang bekerja dalam isu-isu Penguatan, Pendampingan dan Advokasi terhadap hak-hak Pekerja Rumah Tangga, menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pada Juni 2010 mendatang akan diadakan International Labour Conference (ILC) yang mengangkat kembali mengenai regulasi untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT). Untuk itulah sejak bulan Maret lalu, ILO telah membagikan kuesioner kepada negara anggota, termasuk Indonesia, yang harus dimasukkan selambat-lambatnya 25 Agustus 2009. Hasil pembahasan pada ILC 2010 akan kembali disampaikan kepada negara anggota untuk dimintakan tanggapan yang nantinya akan menjadi bahan sidang ILC tahun 2011 yang kemudian mengadopsi suatu standar internasional yang harus disepakati oleh semua negara anggota dengan kemungkinan kesepakatan dalam bentuk konvensi, rekomendasi atau konvensi dilengkapi dengan rekomendasi, dan/atau bahkan tidak terjadi kesepakatan untuk mengadopsi suatu standar internasional.

Merespon kuesioner tersebut, RTND melakukan upaya-upaya guna mendukung diaturnya standar ILO tentang pekerja rumah tangga yang memuat upah dan kelayakan kerja dalam bentuk KONVENSI dan REKOMENDASI. Dengan demikian Konvensi dan rekomendasi ini nantinya akan menjadi rujukan bersama dunia internasional untuk mengaplikasikan dalam regulasi di negaranya masing-masing.

Akan tetapi RTND sangat menyesalkan keputusan pemerintah RI, dalam hal ini hasil sidang Depnakertrans bersama Depkes, BAPPENAS, Menko Kesra dan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan yang sepakat mengusulkan dukungan terhadap standar internasional di bidang Pekerja Rumah Tangga hanya dalam bentuk REKOMENDASI, bukan Konvensi. Dimana hal ini dapat di temui dalam advertorial di berbagai media massa yang dibuat oleh Pusat Humas Depnakertrans.

Perlu diketahui bahwa bentuk Rekomendasi tersebut tidak mengikat, lain halnya dengan Konvensi yang mempunyai tujuan agar negara anggota dapat meratifikasi sebagai hukum positif di suatu negara.

Keputusan pemerintah RI tersebut tentu saja sangat mengecewakan para Pekerja Rumah Tangga dan seolah pemerintah makin menutup mata terhadap upaya mensejahterahkan rakyat, PRT khususnya, mengingat jutaan penduduk Indonesia berprofesi sebagai pekerja rumah tangga dan mempunyai tingkat kenaikan cukup signifikan pertahunnya namun ironisnya hingga detik ini tidak ada regulasi atau payung hukum yang lebih spesifik untuk menaungi mereka. Perlu diketahui, Berdasarkan Sakernas BPS 2008, estimasi ILO Tahun 2009 dari berbagai sumber data, PRT merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar secara global: lebih dari 100 juta PRT di dunia, lebih dari 3 juta PRT domestik di Indonesia dan ada sekitar 36.961 Pekerja Rumah tangga di Yogyakarta (Susenas 2002).

Keputusan pemerintah RI tersebut, dengan pertimbangan dan dalih apapun, juga mengesankan bahwa political will pemerintah jelas-jelas tidak ingin memberikan regulasi yang jelas terhadap pekerja rumah tangga.

Oleh karena itu, RTND menyerukan untuk terus mengupayakan disusunnya Konvensi ILO demi upah dan kerja layak pekerja rumah tangga dengan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak khususnya kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono untuk lebih memperhatikan nasib PRT baik yang tinggal di dalam negeri maupun PRT migran. Karena bagaimanapun bentuk perlindungan negara terhadap warganegaranya adalah melalui konvensi dan rekomendasi tidak sekedar menyusun rekomendasi.
2. Menyerukan kepada segenap anggota tripartit pengambil keputusan di International Labour Conference (ILC) dalam hal ini serikat-serikat Pekerja, Asosiasi Pengusaha dan Pemerintah untuk tetap mengusulkan dan mendukung perlindungan Pekerja Rumah Tangga melalui KONVENSI dan REKOMENDASI nya.


Hormat kami,






Yuni Satya Rahayu, S.Sos, M.Hum
Ketua Badan Pelaksana RTND






Buyung Ridwan Tanjung, SH, LL.M
Koordinator Divisi Advokasi RTND


Tembusan:
1. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
2. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
3. Menteri Kesehatan
4. Menteri Pemberdayaan Perempuan

Sabtu, 22 Agustus 2009

Workshop Pengorganisasian dan Advokasi



Strategi Lokal Jelang Konvensi ILO tentang PRT 2010

"Pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga adalah termasuk pekerjaan tertua di dunia!" cetus pak Willy mewakili ACILS pada workshop pengorganisasian dan advokasi yang diselenggarakan oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) di Jogja Fish Market, tanggal 21 Agustus 2009 yang dihadiri oleh Kongres OPERATA Yogyakarta (KOY), Serikat PRT Tunas Mulia, Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT), Perhimpunan Solidaritas Buruh (PSB), SBII Bantul, SPN, Perisai, BPMP & KB Kabupaten Gunung Kidul, Forum LSM, Mitra Wacana, IHAP, Yayasan Kembang, Yasanti, Sahabat Perempuan, PSW UGM, LKBH UII, PKBI, SP Kinasih, LOS, LOD dan Dinsosnakertrans. "Ekonomi bisa berjalan sampai sekarang adalah juga karena peran penting PRT, namun ironisnya hingga kini pun belum ada regulasi yang jelas dalam melindungi PRT secara hukum." lanjut pria dari NTT tersebut.

Pernyataan Willy tak dipungkiri benar adanya. Sudah lebih dari 70 tahun ILO memperbincangkan mengenai regulasi bagi pekerja rumah tangga di tingkat internasional, tepatnya dalam ILC (International Labour Conference), namun faktanya hingga detik ini pun nasib pekerja rumah tangga selalu kalah akibat ketiadaan payung hukum yang menaungi mereka dari kerentanan terhadap kekerasan dan permasalahan lainnya. Ini sungguh ironis, mengingat peran penting mereka dalam kerumahtanggaan.

Bulan Juli tahun 2010 mendatang akan diadakan ILC di Jenewa yang kembali mengangkat regulasi bagi pekerja rumah tangga. Indonesia sangat berkepentingan dalam hal ini karena Indonesia memiliki tingkat jumlah pekerja rumah tangga yang sangat tinggi. ILO memperkirakan jutaan orang bekerja sebagai PRT di Indonesia. Himpitan ekonomi dan minimnya pendidikan kian memperkuat jumlah PRT secara signifikan seolah menutup mata soal regulasi yang belum ada.

Yogyakarta mungkin sedikit bisa bernafas lega dan boleh jadi sebagai pelopor serta inspirasi bagi daerah-daerah lain dalam skala nasional dengan diketoknya Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang memuat satu pasal tiga ayat delegatif tentang Pekerja Rumah Tangga. Tentu saja masih jauh dari regulasi yang dicita-citakan demi terwujudnya perlindungan hukum bagi PRT secara nyata. Namun dengan adanya kuesioner Konvensi ILO yang harus dimasukkan paling lambat 25 Agustus ini lah yang nantinya menjadi ujung tombak membangun kembali perjuangan regulasi tentang PRT yang selama ini tertatih. 

Sedikit kilas balik, kuesioner yang dibagikan ILO sejak Maret kemarin telah mendapat respon dari masyarakat sipil terutama LSM yang kemudian bergabung dalam JAKERLA (Jaringan Kerja Layak) PRT yang mengawal Konvensi ILO dengan membuat strategi nasional, namun kekuatan tripartit bisa dikatakan belum kuat, meski harapan terbesar bertumpu pada tripartit itu. Pemerintah lebih setuju pada arah rekomendasi, serikat pekerja menyetujui konvensi maupun rekomendasi, sedang pengusaha belum mengambil sikap. Strategi bukan hanya di tingkat nasional, workshop kali ini sebenarnya sebenarnya ingin membentuk strategi di tingkat lokal untuk mendesakkan konvensi ILO.  


Untuk wilayah lokal Yogyakarta, strategi yang pertama tercetus adalah penguatan serikat pekerja yaitu dengan advokasi. Usulan berikutnya adalah lobi di tingkat pekerja, baik nasional maupun global. Buyung, koordinator Divisi Advokasi RTND, menganggap usulan tsb menarik karena selama ini Jaringan Perlindungan PRT Yogyakarta kurang mengajak teman-teman serikat pekerja untuk bergabung.

Di sisi lain, Putri, dari Lembaga Ombudsman Daerah, menyorot tentang penguatan ke dalam masing-masing PRT itu sendiri karena yang akan berbicara dalam konvensi nanti bukan pihak dari LSM, melainkan mereka sebagai bagian dari tripartit itu sendiri. Putri melihat pada tingkat lokal strategi yang dilakukan adalah refleksi ke dalam untuk menyentuh ruh ke-PRT-annya, selain juga kampanye dengan berbagai media sebagai bagian dari strategi penguatan untuk mengetahui keberpihakan media terhadap isu PRT. 

Ibarat senjata, maka PRT adalah peluru yang dimuntahkan, meski LSM menjadi pelatuknya. Namun di sisi lain ada pendapat bahwa penguatan internal bisa sambil jalan saja, karena isu PRT tergolong baru. Konvensi buruh yang sudah berpuluh tahun sosialisasinya masih sangat sulit, apalagi PRT yang ada di beberapa wilayah juga akan terkendala untuk dikoordinir, sementara konvensi ILO begitu mendesak. Oleh karenanya, waktu yang sedikit ini hendaknya difokuskan pada strategi untuk menggolkan konvensi. Penambahan usulan pada penguatan di pengguna jasa agar terjadi penguatan yang bersifat holistik. Karena selama ini yang dilihat adalah perspektif pekerja, maka dari itu juga diperlukan perspektif pengguna jasa.ri penjabaran diatas ada tiga hal yang bisa dirumuskan, yaitu pertama tentang lobi. Dalam hal ini melobi serikat buruh dan apindo, baik tingkat lokal, nasional bahkan internasional, lalu pihak pemerintah seperti Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kedua adalah kampanye, baik media cetak maupun elektronik serta media internal seperti terbitan yang efektif dan fokus yang akan membuat orang tergugah dan menciptakan opini publik. Ketiga adalah Jejaring, dimana jaringan yang sudah ada, yaitu: JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi PRT) dan JPPRT Yogyakarta. Kekurangan yang selama ini terjadi semisal tingkat kehadiran yang kurang dengan berganti-ganti personel yang menyebabkan tidak tertransformasinya informasi antar perseorangan dan koordinasi yang buruk, perlu dibenahi. Cara kampanye yang masih konvensional juga perlu diganti semisal menggunakan situs jejaring sosial yang sedang tren saat ini. Selain itu, mempertegas paradigma PRT di mata pengguna jasa dalam artian menjadikan PRT sebagai pihak yang pantas dihargai serta pengguna jasa sebagai pihak yang sadar hak dan kewajiban PRT.

Diharapkan dengan beragam usulan diatas dapat menjadikan sebuah visi dan misi bersama untuk regulasi dalam pemenuhan upah dan kerja layak bagi PRT di masa yang akan datang.

Rabu, 19 Agustus 2009

PRT, merdeka atau mimpi?

Siaran Radio bekerjasama dengan Global FM
Rabu, 19 Agustus 2009, pukul 17.00 WIB.
Tema: Mimpi Kemerdekaan PRT
Narasumber: Nana dan Alvi


Tanggal 17 Agustus kemarin bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-64. Bulan Agustus identik dengan momen kemerdekaan, jika dihubungkan dengan kemerdekaan bagi pekerja rumah tangga (PRT), nampak jelas realita yang terjadi di masyarakat makna kemerdekaan dalam arti sebenarnya tentu saja belumlah dikecap oleh PRT. Padahal secara nyata pula mereka telah banyak berjasa dalam menangani pekerjaan di lingkup domestik. 
Belum lagi hak-haknya sepenuhnya terpenuhi, malahan terlanggar. Sebagai contoh tidak adanya kesempatan untuk berkumpul, berorganisasi sebagaimana realisasi pasal 28 UUD 45. Juga keterbatasan mengakses informasi, menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya. Pada intinya, kondisi PRT kita adalah PRT hanya sebagai batur, ngemban tutur. Apa yang dikatakan majikan maka itulah yang harus dilakukan.

Padahal kemerdekaan yang diimpikan para pekerja rumah tangga itu sendiri tak muluk-muluk. PRT hanya ingin setelah kewajiban-kewajiban mereka tunaikan, maka hak-hak mereka pun otomatis diterima. Tapi kenyataan adalah kebalikannya. Hak-hak PRT yang kerap menjadi permasalahan adalah soal upah layak ataupun upah yang tak dibayarkan oleh majikan. Namun sebenarnya masih banyak lagi hak-hak PRT yang kadang disepelekan oleh majikan, semisal: masa istirahat selama bekerja, libur/cuti satu hari dalam seminggu termasuk cuti saat haid, disamping juga tempat tinggal dan makanan yang layak, seringkali terlalaikan. Hak-hak tersebut adalah komponen dalam perjanjian kerja yang selama ini ditekankan dan disosialisasikan oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) Yogyakarta. 

Perjanjian kerja memang hanya salah satu jalan saja untuk meminimalisir pelanggaran hak-hak PRT, mengingat Undang-Undang yang mengatur PRT secara spesifik belum ada, meski untuk wilayah Yogya telah ada Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang memuat satu pasal dengan tiga ayat delegatif tentang pekerja rumah tangga, yaitu pasal 37. Karenanya, pemerintah juga diharapkan memberi perhatian terhadap permasalahan PRT ini. Hal itu dipicu oleh lingkup kerja PRT dalam ranah domestik yang dianggap wilayah privat dan sulit sekali tersentuh hukum yang menyebabkan PRT rentan terhadap kekerasan, sehingga PRT baru dianggap benar-benar merdeka ketika pekerjaan PRT tidak disepelekan lagi dan mereka yang ingin bekerja sebagai PRT tak lagi menganggap PRT adalah pekerjaan akibat keterpaksaan kondisi ekonomi maupun pendidikan yang minim, melainkan sebuah pilihan kerja atas kemampuan dan keterampilan mereka menjadi PRT. 

Paradigma pemikiran seperti itulah yang seharusnya dirubah. PRT adalah pekerjaan layak, bukan keterpaksaan. Jika tak mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan tinggi yang menimbulkan keterbatasan lapangan kerja, PRT harus menonjolkan kelebihan dari segi lain, semisal keterampilan. Untuk itu, harus ada pembekalan keterampilan sebelum terjun langsung ke dunia kerja. Seperti yang dilakukan RTND melalui sekolah PRTnya. RTND memang satu-satunya LSM yang berkecimpung dalam pemberdayaan PRT yang juga menyelenggarakan sekolah pekerja rumah tangga secara gratis, namun harapan ke depan, bukan hanya RTND saja yang menjadikan sekolah PRT sebagai sekolah alternatif pembekalan bagi PRT, melainkan juga agen-agen penyalur yang selama ini berkompeten terhadap meningkatnya kerentanan kekerasan pekerja rumah tangga.

Pembekalan keterampilan yang tak hanya di bidang kerumahtanggaan, babysitter dan pramurukti sebagai pokok materi, tetapi juga komputer, bahasa Inggris, pendidikan kritis tentang HAM, Gender, Kesehatan Reproduksi, etika dll menjadikan alumni sekolah PRT RTND sebagai pekerja profesional yang menghargai profesinya serta memerdekakan dirinya sebagai pekerja dalam artian selain melakukan kewajibannya secara penuh, PRT juga mendapatkan haknya seimbang pula.

Terkait dengan kemerdekaan dalam sebuah bangsa yang beraneka ragam, baik suku, agama, ras maupun profesi, diharapkan nantinya kemerdekaan bukan saja berarti lepas dari penjajahan, tetapi lebih pada pemerdekaan semua elemen bangsa, yang salah satunya adalah kemerdekaan bagi PRT dalam mendapatkan haknya selaku pekerja yang semestinya.

Kamis, 13 Agustus 2009

ILO Convention Draft Socialization

Upah dan Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga
Goeboeg Resto, Yogyakarta. 
Pada Rabu, 12 Agustus 2009 kemarin RTND mengadakan sosialisasi Draft Konvensi ILO kepada rekan-rekan seperjuangan dalam perlindungan terhadap hak-hak Pekerja Rumah Tangga, diantaranya: Kongres Operata Yogyakarta (KOY), Serikat PRT Tunas Mulia, Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT), Perisai, Persatuan Solidaritas Buruh (PSB), Serikat Buruh, Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), Mitra Wacana, SAMIN, PSW UGM, KPI DIY, dan lembaga non-pemerintah lainnya. Turut hadir perwakilan dari pemerintah, yaitu Ibu Niken dari Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi dan perwakilan dari KPP Provinsi.

Lita Anggraini selaku fasilitator workshop merangkap perwakilan dari JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi PRT) mengemukakan bahwa sosialisasi kali ini adalah tindak lanjut sikap JAKERLA (Jaringan Kerja Layak) PRT mewakili masyarakat atas kuesioner yang dibagikan ILO sejak bulan Maret lalu yang harus dikirimkan bulan Januari 2010 mendatang. Tujuan kuesioner ini adalah meminta pandangan negara anggota mengenai ruang lingkup dan kandungan instrumen yang diusulkan tersebut, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja yang paling representatif dan jawaban yang diterima akan membuat ILO bisa menyusun sebuah laporan untuk Konferensi.

Dalam perjalanannya, masih menurut Lita, JAKERLA PRT untuk advokasi perlindungan PRT pada Konvensi ILO adalah hasil Workshop Konsolidasi dan Rencana Strategi akhir Mei lalu yang membahas jawaban atas kuesioner ILO yang merefleksikan kebutuhan dan hak-hak PRT di Indonesia yang kemudian dilanjutkan Workshop Konsolidasi PRT Migran oleh Migrant Care yang pada akhirnya sepakat untuk membentuk aliansi jaringan PRT lokal dan migran. Diharapkan dengan penyusunan usulan bersama respon atas kuesioner untuk Konvensi ILO tentang Hak PRT oleh JAKERLA PRT ini akan benar-benar menjadi bahan pertimbangan anggota tripartit ILO sehingga nantinya JAKERLA PRT dapat mengembangkan dan mengadvokasi proposal ini agar dapat dimasukkan dalam usulan resmi pemerintah Indonesia. JAKERLA PRT kemudian mengadakan pertemuan di Jenewa, Palembang, Pontianak, Mataram,Yogyakarta yang menghasilkan draft kedua untuk dibahas dan dikritisi. 

Meski begitu, tak semuanya lantas berjalan mulus-mulus saja. Peserta sosialisasi menyorot jika memang Konvensi ILO demi melindungi PRT dan buruh ini akhirnya goal, ada ketakutan nantinya akan menjadi bumerang mengingat perdebatan sampai kini masih berlangsung seperti tentang bentuk yang diambil dalam Konferensi ILO mendatang apakah hanya rekomendasi, konvensi, konvensi yang dilampiri rekomendasi dan konvensi yang terdiri dari ketetapan dan tidak mengikat.

Sedang permasalahan mengenai isi kuesioner yang paling banyak diperdebatkan adalah tentang pekerja anak dan hak (upah) serta kerja layak bagi PRT. Untuk pekerja anak, sebagian setuju penghapusan terhadap pekerja anak, tetapi sebagian lain tak setuju karena penghapusan akan mengakibatkan banyak anak-anak kehilangan akses ekonominya. Sehingga dirasa tepat jika dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja anak mempunyai perlindungan khusus, semisal pembatasan jam kerja yang tidak mengganggu jam pendidikan yang mereka kenyam. Seperti ILO juga telah memetakan pekerjaan yang layak untuk pekerja anak.
 
Mengenai hak-hak PRT, dalam hal kelayakan upah, kekhawatiran yang muncul adalah bagaimana standar upah minimal per negara, mengingat kondisi di tiap negara beragam. Untuk hal tersebut, JAKERLA PRT akan mengadakan penelitian selama 3 bulan tentang beban kerja dan upah yang layak di masyarakat, bagaimana kesanggupan buruh dan majikan membayar upah pekerja rumah tangga. Yang terpenting, menurut Lita, bagaimana mengkampanyekan kepada masyarakat tentang keadilan, hak yang menjadi standar untuk menjadikan hidup PRT lebih baik.

Disamping itu, perdebatan yang belum rampung adalah perbedaan upah PRT dengan upah buruh, meski sudah dikategorikan sama-sama pekerja. Terlebih jika yang mempekerjakan PRT adalah buruh atau majikan kelas bawah, tentu upah yang mereka terima berbeda dengan PRT yang dipekerjakan oleh majikan kelas atas. Terbersit usulan dalam sosialisasi ini tentang adanya penetapan komponen kelayakan dalam pengupahan untuk PRT dan buruh di sektor industri. Karena kalau menetapkan secara nominal akan berubah dan berbeda-beda, sedangkan penetapan komponen bersifat fleksibel sehingga dapat menghindari pembedaan upah majikan kelas atas dan bawah. Ketika mempekerjakan PRT, maka majikan dengan tanpa melihat dari kalangan atas atau bawah tetap harus membayar pemenuhan hak sesuai standar kelayakan.

Lita sependapat bahwa penggolongan upah tidak didasarkan stratifikasi kelas atas, menengah dan bawah, tetapi berdasarkan volume kerja, jenis kerja dan beban kerja. Oleh karenanya, yang menjadi PR besar adalah komponen apa saja yang termasuk dalam komponen kerja layak.

Hal lain yang juga masih mengganjal sebagai PR bersama adalah mekanisme penyelesaian sengketa jika terjadi pelanggaran hak-hak PRT. Pertimbangannya UU PRT yang belum ada. Selain itu juga diperlukan mekanisme pengawasan di tiap pengguna jasa di tiap pekerja rumah tangga. Lita menyatakan advokasi yang diperlukan untuk melakukan hal tersebut adalah advokasi yang massive, seperti pembentukan JAKERLA ini kemudian bagaimana cara mendorong pemerintah menjalankan kewajibannya sehingga ketika Konvensi diratifikasi negara akan serta merta membuat UU. Konvensi memang akan memuat tentang aturan umum, namun tentunya hal tersebut akan diharmonisasikan dengan draft UU nasional yang masih akan terus diperjuangkan. Ibaratnya, Konvensi ILO adalah pintu gerbang perlindungan PRT tingkat nasional yang tentunya akan benar-benar melindungi hak-hak pekerja rumah tangga secara nyata dan realita.






Minggu, 02 Agustus 2009

Press Release Aksi Solidaridas PRT Mendukung Konvensi ILO tentang Kerja Layak PRT


Aksi Nasional Mendukung Dilahirkannya Konvensi ILO

Tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT)

Indonesia hingga saat ini tidak mempunyai undang-undang khusus tentang pekerja rumah tangga. Meskipun beberapa undang-undang lainnya telah menyinggung tentang PRT (seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Anti Trafficking) hanya dalam ruang lingkup yang terbatas pada perlindungan PRT dari berbagai bentuk kekerasan, bukan dalam lingkup PRT sebagai pekerja. Sikap budaya masyarakat Indonesia yang enggan untuk membuat peraturan formal tentang PRT, dan apabila ada, mereka enggan untuk menggunakan peraturan tersebut sebagai dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang melibatkan para PRT.

Praktek yang menyebut para PRT sebagai “pembantu” memperkuat keengganan budaya untuk memformalkan hubungan antara para pekerja rumah tangga dengan majikannya. Sebagai gantinya, para majikan memandang peran PRT sebagai bagian peran paternalistik, dimana mereka melindungi, memberi makan, tempat tinggal, pendidikan dan memberi uang saku kepada PRT sebagai imbalan atas tenaga yang diberikan. Aspek lainnya adalah bahwa pekerjaan rumah tangga dianggap tidak produktif secara ekonomi yang artinya masyarakat memandang bahwa hubungan yang terjadi antara PRT dan majikan adalah hubungan yang bersifat pribadi.

Sifat hubungan yang informal, kekeluargaan dan paternalistik antrara PRT dan majikan ini yang kemudian mendorong Negara untuk tidak melakukan intervensi karena alasan-alasan tersebut. Akibatnya, penyelesaian perselisihan yang menyangkut hak dan kewajiban PRT dilakukan secara informal. Artinya bahwa akses-akses keadilan menjadi tertutup karena tidak adanya mekanisme penyelesaian perselisihan layaknya pekerja formal lainnya.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi di banyak Negara. Dalam sebuah survey tahun 2003 terhadap sekitar 60 negara ditemukan 19 negara yang memiliki undang-undang atau peraturan khusus tentang PRT sedangkan 19 negara lainnya memiliki ketentuan-ketentuan khusus tentang pekerjaan rumah tangga didalam UU Ketenagakerjaan. Sisanya, ada sekitar 22 negara yang tidak mengakui PRT sebagai pekerja (Ramirez-Machado, 2003).

Padahal patut dicatat di berbagai belahan bumi ini ada lebih dari 100 juta PRT. Di Indonesia sendiri ada lebih dari 2,6 juta PRT (Survey ILO 2003). Sedangkan di tingkat lokal, DIY, ada 36.961 PRT dengan sebaran 17.713 PRT di Sleman, 7.858 PRT di Bantul, 7.441 PRT ada di kota, 2.362 PRT ada di Kulon Progo dan sisanya 1.587 PRT ada di Gunung Kidul (Susenas 2002)

Keprihatinan yang mendasar atas tiada perlindungan bagi profesi ini yang kemudian digagas oleh International Labour Organization (ILO) untuk melahirkan sebuah instrument perlindungan bagi pekerja rumah tangga. Lahirnya Konvensi ILO tentang pekerjaan yang layak bagi PRT sebenarnya telah digagas pada konferensi buruh internsional di tahun 1936 atau lebih dari 70 tahun yang lalu. Dalam menggulirkan isu ini banyak sekali tantangan yang dihadapi oleh ILO. Hingga kemudian pada bulan Maret 2008, ILO kemudian memutuskan untuk membawa isu ini ke International Labour Conference (ILC) lagi pada bulan Juni di tahun 2010 mendatang. Dan pada bulan Juni 2011 adalah saat yang menentukan karena ILC akan mendiskusikan apakah konvensi ILO tentang pekrjaan yang layak bagi PRT maupun instrument pendukung lainnya akan diadopsi atau ditolak. Oleh karena itu dirasa tepat dimulai saat ini hingga tahun 2011, untuk memulai menggalang kekuatan yang mendukung dilahirkannya konvensi ILO tentang pekerjaan yang layak bagi PRT.

Alasan-alasan diatas itulah yang kemudian oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) bersama-sama dengan Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) serta mengajak segenap komponen tripartite antara organisasi serikat pekerja, asosiasi pengusaha, pemerintah dan komponen stakeholder lainnya seperti organisasi non-pemerintah dan masyarakat sipil lainnya lebih khusus lagi Pekerja Rumah Tangga untuk bersama-sama:


1. Mendukung sepenuhnya dilahirkannya Konvensi ILO dan rekomendasinya tentang pekerjaan yang layak bagi PRT.

2. Mendorong segenap komponen tripartite (serikat pekerja, asosiasi pengusaha, dan pemerintah) untuk memberikan persetujuan dilahirkannya konvensi ILO tersebut dalam Konferensi Buruh Internasional (ILC) mendatang.

3. Mendorong sepenuhnya peraturan-peraturan yang melindungi PRT baik di tingkat nasional maupun hingga tingkat lokal dalam rangka memajukan, memenuhi dan melindungi hak-hak PRT selaku manusia dan pekerja.

YOGYAKARTA, MINGGU 2 AGUSTUS 2009

Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND)

Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY)

Posted by Naila