Sabtu, 22 Agustus 2009

Workshop Pengorganisasian dan Advokasi



Strategi Lokal Jelang Konvensi ILO tentang PRT 2010

"Pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga adalah termasuk pekerjaan tertua di dunia!" cetus pak Willy mewakili ACILS pada workshop pengorganisasian dan advokasi yang diselenggarakan oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) di Jogja Fish Market, tanggal 21 Agustus 2009 yang dihadiri oleh Kongres OPERATA Yogyakarta (KOY), Serikat PRT Tunas Mulia, Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT), Perhimpunan Solidaritas Buruh (PSB), SBII Bantul, SPN, Perisai, BPMP & KB Kabupaten Gunung Kidul, Forum LSM, Mitra Wacana, IHAP, Yayasan Kembang, Yasanti, Sahabat Perempuan, PSW UGM, LKBH UII, PKBI, SP Kinasih, LOS, LOD dan Dinsosnakertrans. "Ekonomi bisa berjalan sampai sekarang adalah juga karena peran penting PRT, namun ironisnya hingga kini pun belum ada regulasi yang jelas dalam melindungi PRT secara hukum." lanjut pria dari NTT tersebut.

Pernyataan Willy tak dipungkiri benar adanya. Sudah lebih dari 70 tahun ILO memperbincangkan mengenai regulasi bagi pekerja rumah tangga di tingkat internasional, tepatnya dalam ILC (International Labour Conference), namun faktanya hingga detik ini pun nasib pekerja rumah tangga selalu kalah akibat ketiadaan payung hukum yang menaungi mereka dari kerentanan terhadap kekerasan dan permasalahan lainnya. Ini sungguh ironis, mengingat peran penting mereka dalam kerumahtanggaan.

Bulan Juli tahun 2010 mendatang akan diadakan ILC di Jenewa yang kembali mengangkat regulasi bagi pekerja rumah tangga. Indonesia sangat berkepentingan dalam hal ini karena Indonesia memiliki tingkat jumlah pekerja rumah tangga yang sangat tinggi. ILO memperkirakan jutaan orang bekerja sebagai PRT di Indonesia. Himpitan ekonomi dan minimnya pendidikan kian memperkuat jumlah PRT secara signifikan seolah menutup mata soal regulasi yang belum ada.

Yogyakarta mungkin sedikit bisa bernafas lega dan boleh jadi sebagai pelopor serta inspirasi bagi daerah-daerah lain dalam skala nasional dengan diketoknya Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang memuat satu pasal tiga ayat delegatif tentang Pekerja Rumah Tangga. Tentu saja masih jauh dari regulasi yang dicita-citakan demi terwujudnya perlindungan hukum bagi PRT secara nyata. Namun dengan adanya kuesioner Konvensi ILO yang harus dimasukkan paling lambat 25 Agustus ini lah yang nantinya menjadi ujung tombak membangun kembali perjuangan regulasi tentang PRT yang selama ini tertatih. 

Sedikit kilas balik, kuesioner yang dibagikan ILO sejak Maret kemarin telah mendapat respon dari masyarakat sipil terutama LSM yang kemudian bergabung dalam JAKERLA (Jaringan Kerja Layak) PRT yang mengawal Konvensi ILO dengan membuat strategi nasional, namun kekuatan tripartit bisa dikatakan belum kuat, meski harapan terbesar bertumpu pada tripartit itu. Pemerintah lebih setuju pada arah rekomendasi, serikat pekerja menyetujui konvensi maupun rekomendasi, sedang pengusaha belum mengambil sikap. Strategi bukan hanya di tingkat nasional, workshop kali ini sebenarnya sebenarnya ingin membentuk strategi di tingkat lokal untuk mendesakkan konvensi ILO.  


Untuk wilayah lokal Yogyakarta, strategi yang pertama tercetus adalah penguatan serikat pekerja yaitu dengan advokasi. Usulan berikutnya adalah lobi di tingkat pekerja, baik nasional maupun global. Buyung, koordinator Divisi Advokasi RTND, menganggap usulan tsb menarik karena selama ini Jaringan Perlindungan PRT Yogyakarta kurang mengajak teman-teman serikat pekerja untuk bergabung.

Di sisi lain, Putri, dari Lembaga Ombudsman Daerah, menyorot tentang penguatan ke dalam masing-masing PRT itu sendiri karena yang akan berbicara dalam konvensi nanti bukan pihak dari LSM, melainkan mereka sebagai bagian dari tripartit itu sendiri. Putri melihat pada tingkat lokal strategi yang dilakukan adalah refleksi ke dalam untuk menyentuh ruh ke-PRT-annya, selain juga kampanye dengan berbagai media sebagai bagian dari strategi penguatan untuk mengetahui keberpihakan media terhadap isu PRT. 

Ibarat senjata, maka PRT adalah peluru yang dimuntahkan, meski LSM menjadi pelatuknya. Namun di sisi lain ada pendapat bahwa penguatan internal bisa sambil jalan saja, karena isu PRT tergolong baru. Konvensi buruh yang sudah berpuluh tahun sosialisasinya masih sangat sulit, apalagi PRT yang ada di beberapa wilayah juga akan terkendala untuk dikoordinir, sementara konvensi ILO begitu mendesak. Oleh karenanya, waktu yang sedikit ini hendaknya difokuskan pada strategi untuk menggolkan konvensi. Penambahan usulan pada penguatan di pengguna jasa agar terjadi penguatan yang bersifat holistik. Karena selama ini yang dilihat adalah perspektif pekerja, maka dari itu juga diperlukan perspektif pengguna jasa.ri penjabaran diatas ada tiga hal yang bisa dirumuskan, yaitu pertama tentang lobi. Dalam hal ini melobi serikat buruh dan apindo, baik tingkat lokal, nasional bahkan internasional, lalu pihak pemerintah seperti Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kedua adalah kampanye, baik media cetak maupun elektronik serta media internal seperti terbitan yang efektif dan fokus yang akan membuat orang tergugah dan menciptakan opini publik. Ketiga adalah Jejaring, dimana jaringan yang sudah ada, yaitu: JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi PRT) dan JPPRT Yogyakarta. Kekurangan yang selama ini terjadi semisal tingkat kehadiran yang kurang dengan berganti-ganti personel yang menyebabkan tidak tertransformasinya informasi antar perseorangan dan koordinasi yang buruk, perlu dibenahi. Cara kampanye yang masih konvensional juga perlu diganti semisal menggunakan situs jejaring sosial yang sedang tren saat ini. Selain itu, mempertegas paradigma PRT di mata pengguna jasa dalam artian menjadikan PRT sebagai pihak yang pantas dihargai serta pengguna jasa sebagai pihak yang sadar hak dan kewajiban PRT.

Diharapkan dengan beragam usulan diatas dapat menjadikan sebuah visi dan misi bersama untuk regulasi dalam pemenuhan upah dan kerja layak bagi PRT di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar: