Selasa, 25 Maret 2008

Rumpun Tjoet Njak Dien

RUMPUN Tjoet Njak Dien, bagian dari perkumpulan RUMPUN, didirikan pada tanggal 19 April tahun 1995, sebagai kelanjutan dari Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta yang dibentuk pada tahun 1989.

Berdirinya RUMPUN Tjoet Njak Dien (RTND) berangkat dari solidaritas, keprihatinan dan itikad menangani bersama persoalan yang dialami oleh Pekerja Rumah Tangga. Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang mayoritas perempuan adalah salah satu segmen kaum perempuan miskin yang mengalami kelengkapan manifestasi ketidakadilan gender .

Selama ini PRT tidak diakui keberadaannya sebagai pekerja oleh pemerintah dan begitulah halnya Pemerintah dalam kebijakan tidak menyentuh keberadaan PRT. Meski kehadiran PRT sangat dibutuhkan, namun apresiasi atas kontribusinya sebagai pekerja sangat rendah. Hal ini sangat ironis, mengingat kontribusi ekonomi yang diberikan oleh PRT sangat besar untuk beberapa juta keluarga. Kontribusi ekonomi tersebut nyata mengingat keberadaan jasa PRT sangat berperan bagi kelancaran aktivitas kehidupan keluarga terutama bagi pasangan yang keduanya bekerja di sektor publik. Tugas-tugas domestik digantikan oleh Pekerja Rumah Tangga.

Struktural dan kultural, patriarkhis yang beririsan feodal - kelas menjadi faktor utama lahirnya pelanggengan segala problem multidimensi kekerasan yang dialami PRT. Baik problem dari asal wilayah – keluarga dan lingkungannya, ataupun problem di wilayah kerja dalam hubungan dengan majikan, lingkungan sosial yang terkecil hingga lingkungan sosial terbesar.

Stereotype patriarkhi telah menyebabkan perempuan, dan apa saja yang dilakukan serta perannya, sebagai hal-hal yang negatif dan rendah. Seperti halnya penciptaan label kerja domestik yang dianggap rendah dan yang diarahkan menjadi kewajiban perempuan sebagai ibu, istri dan anak perempuan. Maka pekerjaan domestik tidak perlu dihargai. Dan lebih parah lagi, marginalisasi perempuan telah membatasi wilayah perempuan pada sector domestik, yang sudah sengaja dibuat tidak bernilai tersebut dan dikuatkan dengan pandangan yang menilai kerja domestik tidak menghasilkan produksi, sehingga tidak berupah. Yang kemudian dikuatkan juga oleh struktur dan kultur feudal bahwa pekerja rumah tangga diisi oleh warga lapisan bawah, dengan tingkat social dan ekonomi dan pendidikan rendah yang memang harus menurut aturan kelas diatasnya. Dan ini adalah perempuan miskin.

Oleh karena itu, pekerjaan rumah tangga, dalam pemindahan subyek pelakunya dari perempuan anggota keluarga ke pihak lain yang menjalankan pekerjaan tersebut seperti Pekerja Rumah Tangga, terjadi pemindahan marginalisasi, subordinasi yang lebih parah sebetulnya ke perempuan lain yang lebih miskin.

Kondisi bertambah buruk pula, dialami oleh Pekerja Rumah Tangga yang mayoritas perempuan miskin, adalah kaitannya dengan isolasi yang dialami di wilayah kerjanya yang dianggap sebagai sector privat yang oleh majikan dan masyarakat tidak membolehkan adanya intervensi. Sementara perempuan selalu dilemahkan dan menjadi objek kekerasan, maka Pekerja Rumah Tangga rentan terhadap kekerasan didalam rumah tangga – keluarga dimana PRT bekerja. Dan tidak hanya di wilayah kerja namun juga diwilayah social yang lain masyarakat dilingkungan tempat bekerja dan secara lebih luas hingga negara semua mendiskriminasikannnya termasuk dalam pemenuhan hak-haknya sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia.

Pelanggaran hak-hak Pekerja Rumah sebagai perempuan, pekerja dan warga negara dan manusia dengan peniadaan atau pembatasan haknya atas akses dan kontrol informasi, pendidikan, social, ekonomi, hokum dan politik mengakibatkan:

Posisi PRT sebagai obyek kekerasan, baik sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia. Pekerja Rumah Tangga perempuan tidak memiliki otoritas, kemerdekaan atas dirinya dalam menentukan pilihan atas tubuhnya, social, ekonomi, politik dan sebagainya
Pekerja Rumah Tangga perempuan dan mayoritas perempuan lemah dalam posisi tawar baik dalam hubungan kerjanya ataupun relasi sosialnya
Pekerja Rumah Tangga tidak memiliki akses untuk penguatan dirinya baik ditingkat individual ataupun kolektif secara sistematis, terutama akses pendidikan, akses informasi – komunikasi, akses ekonomi, akses social, akses hokum, akses politik
Persoalan kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga dan mayoritas perempuan akan selalu berkelanjutan dengan kondisi yang demikian, yaitu penindasan yang berkelanjutan

Gambaran Problem PRT

Berdasarkan data yang dihimpun baik melalui temuan lapangan (data pengalaman RTND) dan hasil penelitian serta literature dapat dilihat gambaran kondisi latar belakang dan besaran problem PRT adalah berikut.

Persoalan Keberangkatan
1. Kemiskinan
Kemiskinan menjadi kemiskinan multidimensi dari miskin informasi, miskin, pendidikan, miskin social dan miskin akses lainnya
2. Pendidikan
Khusus akibatnya menjadi miskin pendidikan dan miskin informasi dan selanjutnya menjadikan PRT miskin berkelanjutan


Persoalan Kerja - Umumnya

  1. Upah yang Rendah
  2. Tidak Ada Batasan Beban Kerja Yang Jelas dan Layak
  3. Jam Kerja yang Panjang
  4. Kesehatan
  5. Kedudukan PRT yang Subordinatif dalam Hubungan PRT dengan Majikan
  6. Tidak Ada Pengakuan atas Profesi PRT – Tidak Ada Perlindungan Hukum – PRT Rentan Tindak Kekerasan
  7. Eksploitasi oleh Agen Penyalur PRT
  8. Tidak Ada Kesempatan untuk Pengembangan/Aktualisasi Diri
  9. Tidak ada atau kurangnya Akses Pendidikan – Informasi untuk Pengembangan danMempekruat Diri
  10. Ada permasalahan besar dalam akses pendidikan – informasi untuk PRT:
  11. Ketiadaan kesempatan karena larangan majikan dan jam serta beban kerja yang tidak terbatas;
  12. Kurangnya jenis pendidikan yang merupakan perpaduan antara pendidikan kritis yang berangkat dari persoalan PRT
  13. Keterbatasan PRT dalam menjangkau layanan pendidikan kritis dan skill yang ada
  14. Akses pendidikan – informasi ini adalah “pintu gerbang” atau salah satu “pilar” PRT untuk melakukan perubahan atas kondisinya, membangun posisi tawarnya, mulai melakukan langkah untuk perubahan menuju keadilan – kesetaraan sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia.
  15. Ketiadaaan atau kurangnya akses pendidikan – informasi berakibat multidimensi dan berkelanjutan; ketertindasan, eksploitasi, marginalisasi dan kemiskinan berkelanjutan. Ketiadaan atau kurangnya akses pendidikan – informasi yang telah dialami PRT dari keberangkatannya tidak akan mengalami perubahan signifikan untuk pengembangan dirinya ataupun perubahan social, apabila layanan pendidkan kritis dan skill tidak mulai dibangun dan kemudian dikembangkan.
    Dapat djumpai dalam pendampingan yang dilapangan ataupun survai yang kami lakukan, akibat langsung dari ketiadaan atau kurangnya akses pendidikan tersebut adalah:
    PRT tidak atau kurang mengetahui bagaimana mereka mengatasi pekerjaan mereka yang penuh dengan persoalan, tindakan apa yang harus dilakukan jika terjadi kesewenangan dan kekerasan.
  16. Pilar lain yang mendasar pula diperlukan PRT adalah pengakuan dan perlindungan hukum Pekerja Rumah Tangga baik ditingkat local ataupun nasional. Pengakuan dan perlindungan ini adalah yang substansial membongkar adanya ketidakadilan terhadap perempuan dalam stereotype pekerjaan dan juga memberi jaminan perlindungan kepada perempuan yang bekerja di sector domestik, yang memang mayoritas hingga saat ini perempuan, termasuk hak untuk mengakses hak ekonomi, pendidikan, informasi, social, hukum.

Akibat
Akibat atau dampak tidak langsung dari ketiadaan 2 pilar utama terhadap kawan PRT adalah pelanggaran yang berkelanjutan dan meluas atas hak-hak Pekerja Rumah sebagai perempuan, pekerja dan warga negara dan manusia:

  1. PRT menjadi obyek baik sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia Pekerja Rumah Tangga tidak memiliki otoritas, kemerdekaan atas dirinya dalam menentukan pilihan
    PRT sulit mencapai situasi sejahtera dan yang terjadi kemiskinan keberlanjutan, tidak ada atau minim akses pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan politik
    PRT lemah dalam bargaining baik dalam hubungan kerjanya ataupun relasi sosialnya
    Tidak terbangun kesadaran dan tindakan kritis secara kolektif untuk melakukan perubahan sosial
    PRT tidak mengenal status sesungguhnya sebagai pekerja dalam arti sebagai pekerja rumah tangga dan hak - kewajiban yang melingkupinya
    PRT mejadi korban kekerasan yang berkelanjutan
    Berbagai persoalan yang dialami PRT sulit diungkap karena mereka bekerja di wilayah privat, tinggal dalam lingkungan rumah majikan yang minim kontrol sosial dan akses pertolongan. Hanya beberapa kasus PRT yang terpublikasikan, antara lain beberapa kasus PRT yang sangat menonjol pada tahun 2001- 2004 di beberapa kota besar di Indonesia, di Jogjakarta (Kasus: Semisih – penganiayaan fisik, 2001, Sutini penganiayaan fisik, 2002), Jakarta (Kasus: Ponirah – bunuh diri dengan membakar; Jumiati – rekan Ponirah, karena mereka tidak tahan dianiaya; Utin – yang dianiaya fisik; Haryanti – korban perdagangan dan penganiayaan fisik, 2001-2002, Awari, Zumrotun, Nurhayati – luka parah, 2003, Karsih – luka parah, Maryati - dibunuh, 2004) dan di Surabaya (Kasus: Sunarsih – meninggal dianiaya; Sisamah; Halimah, 2001 dan Ratih, 2002 – masuk rumah sakit karena dianaya fisik juga), di Solo (N - pemerkosaan, 2004) dan juga di kota lain. Bisa diperkirakan kasus tersebut adalah kasus yang baru diketahui publik karena tingkat kekerasannya sudah sangat berbahaya dan sampai menghilangkan nyawa. Diperkirakan bahwa karena wilayah kerja Pekerja Rumah Tangga yang dianggap wilayah privat dan tidak ada intervensi hukum maka bisa jadi banyak tindak kekerasan yang dialami oleh PRT yang tidak diketahui oleh publik. Terlebih pula bagi Pekerja Rumah Tangga yang tinggal dalam lingkungan rumah majikan yang serba dikelilingi bangunan fisik yang tinggi, besar serta lingkungan masyarakat sekitar yang jarang bertemu dan semakin individualis, maka kontrol sosial tidak ada dan akses pertolongannya lebih sulit.
  2. Situasi Sikap Masyarakat dan Negara
    Karena struktur – kultur sosial – negara yang patriarkhis, feodal – seperti dikemukakan diatas, maka pandangan dan sikap masyarakat - negara (eksekutif dan legislatif) terhadap PRT sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia, berbagai ragam, namun sebagian besar: diskriminatif, merendahkan, kurang atau tidak mengetahui persoalan PRT yang sesungguhnya, merasa berat untuk melakukan perubahan meski tahu persoalan PRT. Karena pula di sisi lain, ada perbenturan kepentingan para pengambil kebijakan yang umumnya adalah majikan yang berkepentingan atas PRT.
    Karenanya persoalan dan mengemukanya kasus-kasus kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga, seperti yang dialami beberapa Pekerja Rumah Tangga tidak menggerakkan juga langkah kongkrit dari negara dan juga publik akan perlunya jaminan dan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga.
    Dan ini menjadi tantangan pemberdayaan dan advokasi dengan melihat peta persoalan konstituen, stakeholder bahwa strategi pemberdayaan dan advokasi harus melihat pada karakter dan situasi internal dan eksternal PRT, kekuatan dan peluang yang bisa dihimpun. Misal dengan mengkampanyekan betapa pentingnya PRT dan kontribusi ekonominya, betapa vitalnya PRT pada kehidupan jutaan keluarga majikan untuk bisa mencari pendapatan karena ada tenaga pengganti di sektor domestik, sementara fasilitas pengganti kebutuhan domestik tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah, perusahaan, seperti salah satunya tempat penitipan anak yang murah dan terjangka

Usaha yang Dilakukan untuk Menjawab Persoalan
Sebagai manusia, pekerja, apapun latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, asal, ras, pilihan profesi dan bidangnya, serta apapun jenis kelaminnya, sudah seharusnya mendapat penghormatan, perlindungan akan hak-hak asasinya sebagaimana prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Namun penghormatan, penegakan - perlindungan yang demikian, tidak terjadi pada diri Pekerja Rumah Tangga ini. Upaya-upaya serius musti dilakukan oleh berbagai pihak secara simultan dan komprehensif. Upaya yang dilakukan harus mampu menjawab kepelikan permasalahan PRT untuk mendapatkan hak-hak dan aksesnya.

Berangkat dari persoalan PRT dan situasi sikap-pandangan kelompok sosial yang terkecil hingga terbesar diatas, maka RUMPUN Tjoet Njak Dien berusaha bersama PRT dan mengajak segala pihak melakukan advokasi PRT, antara lain:

  1. Kampanye
  2. Legislasi
  3. Pengorganisasian

Hingga kini proses pengorganisasian yang dilakukan RTND di DIY bersama-sama PRT, yang dimulai dari komunitas-komunitas kerja PRT, dari terbangunnya OPERATA (Organisasi Pekerja Rumah Tangga) telah memunculkan berdirinya Serikat PRT TUNAS MULIA pada tahun 2003, dan aktif melakukan advokasi hingga sekarang. Dan kemudian dikembangkan dalam program kegiatan PRT Center yang lebih terpadu sejak Mei 2003 dengan output model pendidikan Alternatif PRT.


Pengorganisasian PRT yang dilakukan adalah proses yang teramat sulit. Kesulitan pengorganisasian adalah juga cermin dari situasi sosial problem PRT dan karakteristik kerja PRT sendiri. Banyak kendala sekaligus juga tantangan yang dihadapi. Disini, terus meneruskan memerlukan eksplorasi akan strategi pengorganisasian PRT.


Dalam pendidikan publik dan legislasi kebijakan publik untuk ketenagakerjaan PRT, RTND bersama-sama dengan PRT dan Jaringan Perlindungan PRT DIY dan Jala PRT (Jaringan Nasional Advokasi PRT) aktif melakukan legislasi kebijakan publik untuk perlindungan PRT.


Begitu pula dalam kampanye, mengingat isu PRT tidak populer, sebaran keberadaan PRT yang luas, RTND berusaha untuk membuat media kampanye yang populer, mobilized dan melibatkan multistakeholder