Kamis, 28 Juni 2012

Delapan Tahun Disiksa, PRT Depresi

PURWOREJO - Malang nasib yang dialami Apriyanti (26) warga RT 03 RW I Desa Jogoresan, Kecamatan Purwodadi, Purworejo. Kepergiannya dari rumah pada 2004 yang semula ingin menjadi TKI, gagal. Dia justru dipekerjakan sebagai PRT di rumah seorang pengusaha restauran di Medan.

Nahas, majikannya tergolong orang temperamental. Dia mengalami penyiksaan dan selama delapan tahun dan tidak diizinkan pulang ke kampung halamannya. Baru beberapa hari lalu dia bisa pulang ke rumah dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Badannya kurus, rambutnya rontok, dan banyak sekali bekas luka di beberapa bagian tubuhnya. Apriyanti diduga mengalami depresi.

"Kejiwaannya terganggu. Setelah pulang ke rumah dan kami dapat laporan, bersama Disnakertransos langsung kami bawa ke rumah sakit. Dia mengalami trauma atas perlakukan majikannya selama delapan tahun," ujar Camat Purwodadi, Drs H MGS Sukusyanto MM, di sela-sela menjenguk korban ke rumahnya, kemarin.

Mustofah (44), ibu korban menjelaskan, awalnya setelah lulus MTs tahun 2004, anaknya memutuskan mengikuti jejak tetangga untuk bekerja di Malaysia. "Keinginannya jadi TKI di Malaysia, kebetulan ada tetangga yang jadi sponsor, dia ikut orang itu," katanya.

Selanjutnya, Apriyanti melamar lewat cabang perusahaan pemberangkat TKI di Cilacap. Tidak sampai sebulan proses administrasi, gadis itu diterbangkan ke Medan dan menghuni penampungan calon TKI milik perusahaan yang sudah tidak lagi diingatnya.

Sampai di Medan, korban mendapat kabar dirinya gagal dalam proses seleksi untuk bisa bekerja di Malaysia. Namun, ketika ingin pulang perusahaan menghalangi dengan dalih korban masih mempunyai utang, hingga muncul niatannya untuk kabur. "Saya kabur, namun tertangkap dan dikembalikan ke mess," katanya.

Bosnya berinisial Sim (40) marah dan menendang dada dan menamparnya sampai pingsan. Tidak berhenti sampai di situ, penderitaanya justru baru dimulai setelah perusahaan menyalurkan korban untuk bekerja di rumah makan masakan laut milik Der (65) dan istrinya Ho (55) di Kota Medan.
Disepakati korban mendapat upah Rp 200.000 per bulan, kenyataannya uang tidak seberapa itu tak pernah dibayarkan majikan.

Memasuki tahun 2008, derita yang harus ditanggung korban bertambah dengan aksi kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan majikannya. Menurut pengakuan korban, pelaku memukul dengan tangan kosong pada bagian hidung hingga berdarah, atau menggunakan kayu menyasar kakinya.

Diperkosa

Berdasarkan pengakuan, korban mengaku beberapa kali diperkosa oleh Der. Pelaku mengancam akan membunuh korban jika membocorkan aksi bejatnya kepada Ho istrinya. "Der memberi sesuatu katanya obat, setelah diminum jadi pusing. Setelah sadar, sudah ada di tempat tidur majikan," ujarnya.

Menantu majikannya yang kasihan melihat dia akhirnya memulangkannya menggunakan pesawat rute Medan - Yogyakarta akhir Maret 2012. Sampai bandara, korban dipesankan taksi menuju Purworejo juga diberi pesangon Rp 10 juta. "Namun kerabat majikan tidak ikut mengantar sampai rumah, saya juga sudah hampir lupa daerah sendiri," tuturnya.

Kepulangan korban disambut tangis Mustofah yang sama sekali tidak menyangka niatan baik anak sulungnya itu harus berakhir tragis. "Saya bawa ke rumah sakit dan dirawat inap, hampir tiga bulan pulang dari Medan, kondisinya sudah membaik," kata Mustofah.

Kendati bahagia, namun Mustofah masih geram dengan kejadian yang menimpa anaknya. Seharusnya, lanjutnya, pelaku dihukum karena melakukan kekerasan, bahkan minimal 12 tahun untuk Der yang diduga memperkosa korban. Namun Mustofah bingung, sepengetahuannya, perlu biaya yang besar jika ingin melanjutkan peristiwa yang menimpa anaknya pada proses hukum.
Mustofa mengungkapkan, selama kepergian anaknya dia kehilangan kontak.

Berbagai upaya pencarian telah dilakukan tapi tak juga membuahkan hasil hingga akhirnya korban pulang sendiri. Dia berharap Pemkab Purworejo memberikan bantuan hukum kepada anaknya sehingga kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan mantan majikan anaknya itu bisa dituntut secara hukum.(H43-78)

sumber: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/06/28/190820/Delapan-Tahun-Disiksa-PRT-Depresi

Minggu, 24 Juni 2012

Waduh, 30 PRT di Semarang Menjadi Korban Kekerasan

SEMARANG--Sedikitnya 30 orang pembantu rumah tangga (PRT) di Semarang menjadi korban tindak kekarasan dari majikan. Aktivis Perhimpunan Studi dan Advokasi Anak Indonesia (Perisai) Semarang, Nyutiani, mengatakan kasus kekerasan terhadap PRT ini berupa fisik dan psikologis.

“Kekerasan fisik misalnya ditampar sampai dipukul oleh majikan,” katanya di Semarang, Minggu (24/6/2012).

Sedang bentuk kekerasan psikologis yang dialami PRT, lanjut ia, dibentak, dihina, sampai pelecehan seksual dan tindak perkosaan. Menurut dia, berdasarkan data Perisai, dari Januari-Mei 2012, tercatat telah terjadi 30 kasus tindak kekerasan yang menimpa PRT.

“Kasus yang terungkap ini hanya di permukaan saja, tapi ibarat gunung es yang tak tampak jumlahnya bisa lebih banyak,” ujarnya.

Sebab, ujar Nyutiani, PRT yang berasal dari desa lebih banyak memilih diam, takut melaporkan tindak kekerasan yang menimpanya. “Mereka takut dipecat oleh majikannya bila melaporkan kepada pihak luar atau polisi,” tandasnya.

Selain mengalami tindak kekerasan, sambung ia, tingkat kesejahteraan PRT juga masih belum memadai karena gajinya minim. Gaji PRT di Semarang rata-rata antara Rp400.000-Rp500.000 per bulan. Padahal beban pekerjannya cukup berat, dari menyapu, mencuci an menyetrika pakaian, sampai mengasuh anak majikan.
”Jam kerja PRT juga lebih dari delapan jam sehari. Di atas ketentuan yang berlaku,” ujarnya.

Untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan terhadap PRT di Semarang, ujar Nyutiani, Perisai telah membentuk serikat pekerja PRT Mandiri Semarang.
Serikat pekerja ini, memberikan advokasi dan pendampingan terhadap PRT yang mengalami tindak kekerasan. ”Serikat pekerja PRT Mandiri Semarang juga memberikan pendidikan dan organisasi,” katanya.

Sementara Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang, Ikhwan Pariyanto menyatakan belum ada payung hukum terhadap para PRT.

”PRT bukan sektor pekerja nonformal, sehingga kalau terjadi kasus yang menimpanya, kami tak bisa ikut melakukan mediasi,” ujar dia. Menurut Ikhwan, pemerintah pusat sedang menyusun rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Terhadap PRT.

”Kami pernah dimintai pendapat pemerintah pusat masalah PRT di Semarang. Tapi kapan rampungnya RUU itu belum tahu,” kata dia.

sumber: http://www.solopos.com/2012/channel/jateng/waduh-30-prt-di-semarang-menjadi-korban-kekerasan-196335

Jumat, 22 Juni 2012

PRT Adukan Majikan, Rumape Bawa Pulang Rp 4 Juta

Laporan Wartawan Tribun Manado Robertus Rimawan

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Seorang pembantu rumah tangga (PRT), Edis Rumape (48) nekat adukan majikannya ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulut karena majikan tersebut mengusir dan memecatnya, padahal ia telah puluhan tahun mengabdi. Kasus ini telah bergulir sejak Rumape laporkan hal ini ke Disnakertrans Sulut pada Januari 2012 dan setelah Disnakertrans Sulut memberikan rekomendasi akhirnya kasus ini dibawa ke hearing Komisi IV DPRD Sulut. Rumape akhirnya hanya membawa pulang uang sebesar Rp 4 juta hasil dari pembicaraan damai meski atas mediasi Disnakertrans sang majikan seharusnya membayar Rp 14.910.000, Kamis (21/6), pukul 10.30 Wita.

Melalui kuasa hukumnya Semuel Bentian SH MH Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Porodisa, Rumape terpaksa menerima uang tersebut mengingat lemahnya posisi tawar PRT tanpa kontrak kerja seperti karyawan perusahaan pada umumnya meski pekerjaan yang dilakukan lebih dari karyawan perusahaan. "Kerja saya ini bukan hanya sebagai PRT, saya sering menjaga toko, apalagi saat majikan pergi ke Singapura," ujar Rumape.

Ia mengaku juga ditugaskan untuk setor uang di bank, memasak, menjaga oma yang sedang sakit di rumah hingga menolong membersihkan kamar kecil seusai oma tersebut menggunakan toilet. "Saya kerja 24 jam, tinggal di sana. kerja dari tahun 1981 hingga tahun 1992 saya berhenti karena menikah dan melahirkan, lalu dipanggil lagi pada tahun 2007 hingga 2011 akhir saya diusir," kata Rumape pada Tribun Manado.

Rumape mengaku kecewa dengan perlakuan majikan yang mengusirnya hingga empat kali dan dua kali di antaranya di hadapan orang banyak. "Masalahnya sepele saya hanya tanya ke majikan kenapa gaji saya sama dengan gaji pegawai baru, saya digaji Rp 700 ribu per bulan. Padahal saya sudah puluhan tahun mengabdi. Lagipula ini tak sesuai dengan UMP saat ini yang mencapai Rp 1.250.000," katanya.

Ia mengakui akhir-akhir ini beberapa kali sering lupa dengan tugas yang diberikan majikannya sehingga Rumape sering kena marah. "Saya lupa karena memang banyak tugas yang dibebankan pada saya," imbuhnya. Ia berharap melalui hearing di DPRD ia bisa mendapatkan haknya sehingga bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga terutama sekolah anaknya.

Kuasa Hukum Rumape, Semuel Bentian mengaku kecewa atas hasil tersebut, namun ia akhirnya menyarankan pada kliennya agar menerima uang tersebut mengingat lemahnya posisi PRT. "Kasus klien saya ini menjadi pelajaran bagi PRT lain di Sulut, selama ini PRT seolah tak mendapat perlindungan. Biasanya kerja sebagai PRT hanya didasarkan pada perjanjian lisan bukan kontrak kerja sehingga posisinya lemah," kata Semuel.

Ia mendesak DPRD Sulut agar membuat peraturan daerah yang secara khusus melindungi PRT sehingga antara hak dan kewajiban bisa seimbang. Dalam kasus ini ia menilai kinerja dan hasil yang didapatkan kliennya tak seimbang, sehingga LBH yang ia pimpin serius mengawal kasus ini.

Dalam hearing tersebut Helena Prabowo majikan Rumape membantah pernyataan Semuel Bentian. Menurutnya Rumape hanya bekerja antara 3 hingga 4 tahun dan hanya sebagai PRT bukan karyawan toko. "Tugas lain-lain di toko hanya sifatnya membantu saja, dia (Rumape) datang saat membawakan makan dan tugas di luar kewajiban sebagai pembantu merupakan inisiatifnya saya tak pernah menyuruh," kata Helena.

Dengan tegas ia menolak rekomendasi dari Disnakertrans Sulut yang mewajibkan ia membayar uang hak-hak Rumape sebesar Rp 14.910.000. "Saya bersedia membayar tapi Rp 1 juta itu saja," jelasnya di ruang sidang Komisi IV DPRD Sulut. Akhirnya Komisi IV memberikan waktu untuk dilakukan pembicaraan damai antara majikan dan PRT selama 15 menit yang akhirnya disepakati pembayaran Rp 4 juta.

Sebelumnya Disnakertrans Sulut telah melakukan proses mediasi antara Rumape dan Helena Prabowo pengusaha Toko Kembang Indah yang beralamat di Jalan Panjaitan. Disnakertrans merekomendasikan agar Helena membayar Rumape total sebesar Rp 14.910.000. Uang tersebut merupakan uang hak Rumape berdasarkan perhitungan mediator Disnakertrans Sulut dihitung dengan patokan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2011 sebesar Rp 1.050.000.

"Perhitungan tersebut berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat dua, tiga dan empat Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003. Bila ada satu pihak yang menolak rekomendasi ini dalam jangka waktu 10 hari sejak surat diterbitkan bisa membawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)," ujar Chris Sondakh Sekretaris Disnakertrans Sulut saat hearing berlangsung.

Perda PRT Dikaji

Anggota Komisi IV DPRD Sulut Benny Rhamdani saat hearing menyatakan agar Rumape seharusnya diberikan kesempatan untuk bicara mengingat yang bersangkutan adalah korban karena ia menegaskan DPRD Sulut merupakan rumah rakyat. Wakil rakyat ada karena rakyat dan sosok Rumape merupakan satu bagian dari masyarakat yang harus dilindungi.

Ia berharap ada titik temu pada kasus ini dan jangan sampai ke PHI karena akan menyita waktu, tenaga maupun biaya. Rhamdani menambahkan seusai hearing, PRT mendapatkan perlindungan semacam peraturan atau perda yang mengatur agar tak mendapat perlakuan sewenang-wenang maupun hak-haknya dipangkas majikan. "Saat ini undang-undang yang mengatur PRT sedang digodok di pusat, masih RUU, nah kami sedang kaji apakah Sulut akan membuat perda terkait PRT setelah RUU disahkan dan menjadi UU atau mengawali dulu dengan membuat perda sambil menunggu pengesahan," jelasnya.

Hearing dihadiri oleh empat anggota Komisi IV. Dokter Ivonne Bentelu selaku sekretaris Komisi IV DPRD Sulut memimpin hearing tersebut. Hadir pula Paul Tirayoh dan Ayub Ali. Empat legislator ini mengimbau agar kasus jangan sampai ke PHI, dan akhirnya terjadi pembicaraan damai dan Rumape menerima Rp 4 juta.

sumber:
http://manado.tribunnews.com/2012/06/22/prt-adukan-majikan-rumape-bawa-pulang-rp-4-juta

Selasa, 19 Juni 2012

3,56 Juta PRT Tak Dapat Hak Sebagai Pekerja



INILAH.COM, Jakarta - Jaringan Nasional Advokasi Pembantu Rumah Tangga (JALA PRT) menilai Pemprov DKI Jakarta bulan memberikan perhatian khusus terhadap nasib PRT yang bekerja di Jakarta.

Padahal di DKI Jakarta diprediksikan ada sekitar 3,56 juta PRT atau sepertiga dari total jumlah PRT di Indonesia yang diperkirakan sebesar 10,7 juta PRT.

"Dalam realitas kehidupan sehari-hari, pekerja rumah tangga cenderung beresiko terhadap berbagai kekerasan. Baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan sosial," kata Koordinator Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT Lita Anggraeni, Senin (18/6/2012).

Bila diteliti lagi, lanjutnya, banyak kasus pelanggaran terhadap hak-hak PRT di Jakarta, seperti upah yang sangat rendah, hingga ada yang tidak dibayar sama sekali dengan alasan berbagai macam gaji ditahan majikannya.
Juga terjadi pemotongan pembayaran gaji semena-mena dikarenakan berbagai hal. Jam kerja PRT pun rata-rata diatas 12-16 jam, kondisi ini membuat kesehatan PRT sangat rentan.

“Selain itu, PRT juga tidak mendapatkan hari libur mingguan atau cuti, mereka juga tidak memiliki akses untuk bersosialisasi, tidak ada jaminan sosial dan tidak ada perlindungan ketenagakerjaan yang diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sudah jelas PRT dianaktirikan,” ujarnya.

Padahal, PRT sangat menunjang kesejahteraan dan peningkatan perekonomian keluarga di Jakarta, yang juga berdampak pada pergerakan roda perekonomian di ibu kota. “Coba bayangkan saja, tidak ada PRT yang membantu keluarga di Jakarta, pasti mereka akan mengalami kesulitan dan mengatur kehidupannya,” tutur Lita.

Menurutnya, Pemprov DKI belum memperikan perlindungan tenaga kerja bagi PRT yang bekerja di Jakarta. Baik dari segi kesehatan, hak sosial dan juga perlindungan terhadap kekerasan yang mungkin saja terjadi pada saat bekerja.

“Kami mendesak Pemprov DKI, melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI untuk memberikan perlindungan khusus terhadap PRT. Karena mereka juga seorang pekerja profesi dengan keterampilan khusus,” tegasnya.

Paling tidak, harapnya, selama Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan PRT belum dibahas dan disahkan DPR RI, Pemprov DKI sudah memiliki gebrakan tersendiri dengan membuat aturan sesuai dengan aturan otonomi daerah untuk memberikan perlindungan kepada PRT.[jat]

sumber: http://metropolitan.inilah.com/read/detail/1873509/356-juta-prt-tak-dapat-hak-sebagai-pekerja#.T_URc-Hw_bE.twitter

Pemprov DKI Tidak Perhatikan Nasib PRT

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemprov DKI dituding belum memberikan perlindungan tenaga kerja bagi pembantu rumah tangga (PRT) yang bekerja di Jakarta, baik dari segi kesehatan, hak sosial, maupun perlindungan terhadap kekerasan yang bisa terjadi pada saat bekerja.

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT, Lita Anggraeni, pihaknya mendesak Pemprov DKI melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI untuk memberikan perlindungan khusus kepada PRT. Dikatakan Lita, PRT juga seorang pekerja profesi dengan keterampilan khusus.

"Masih banyak kasus pelanggaran terhadap hak-hak PRT di Jakarta. Misalnya upah yang sangat rendah, sampai ada yang tidak dibayar sama sekali oleh majikan. Ada juga PRT yang dipotong gajinya secara semena-mena dikarenakan berbagai hal. Jam kerja PRT pun rata-rata di atas 12-16 jam, kondisi ini membuat kesehatan PRT sangat rentan," kata Lita, Selasa (19/6/2012).

Lita menuturkan PRT juga tidak mendapatkan hari libur mingguan atau cuti, serta tidak memiliki akses untuk bersosialisasi, tidak ada jaminan sosial dan tidak ada perlindungan ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Ini sudah jelas PRT dianaktirikan. Padahal di Jakarta ada sekitar 3,56 juta PRT atau sepertiga dari total jumlah PRT di Indonesia yang diperkirakan sebesar 10,7 juta PRT," katanya.

Senin, 18 Juni 2012

Lindungi Hak-hak PRT!

“Kami ingin hidup layak dengan mendapat upah dan kerja yang layak,”

Hal itu diungkapkan oleh Ririn, salah seorang pembantu rumah tangga dari Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia saat diskusi publik Hari PRT Internasional di Pendopo Kartapustaka Yogyakarta, Sabtu (16/6).

Pembantu Rumah Tangga (PRT) sudah selayaknya mendapat jaminan perlindungan melalui Undang-Undang. Agar terbentuk UU PRT, maka kita semua perlu mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 mengenai kerja layak PRT.

Hal itu menjadi pembahasan dalam diskusi yang diadakan oleh Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT). Mereka menuntut agar pemerintah juga ikut serta dalam perlindungan ketenagakerjaan yang nantinya juga akan memberikan perlindungan kepada PRT.

Dr. Sari Murti., SH.M.Hum, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY) mengatakan, untuk membentuk UU Perlindungan PRT, maka kita harus mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi tersebut. Ratifikasi Konvensi ini nantinya yang akan mendorong lahirnya RUU PRT sehingga akan melindungi PRT. “Kita perlu mendorong ratifikasi konvensi tersebut, agar PRT hak-haknya terlindungi,” ujar Sari.

Sementara itu, Drs. Nuryanto, perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY mengatakan, pemerintah DIY telah membuat Pergub yang mengatur mengenai hubungan kerja antara PRT dengan pengguna jasa. “Setidaknya kita sudah mengawali dan berkomitmen kepada PRT dengan membuat Pergub mengenai upah dan kerja layak bagi PRT di Yogyakarta,” kata Nuryanto.

Namun, Sri Murtini salah seorang pekerja rumah tangga mengungkapkan, meskipun telah lahir Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan Walikota (Perwal), ia merasa belum puas karena pihaknya tidak pernah diajak melakukan pembahasan mengenai hal tersebut. “Jangan lupakan kami PRT yang turut berjuang bagi bangsa ini dengan segenap kemampuan kami,” ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, Sari Murti menambahkan, dengan adanya Undang-undang tentang pekerja rumah tangga, bukan berarti semua permasalahan dianggap sudah selesai. Namun, ia berharap agar semua pihak juga ikut mengawali jalannya UU yang nantinya bisa diimplementasikan di lapangan.

Sebenarnya, lanjut Sari, alasan PRT sering tidak mendapat upah layak, karena budaya jawa yang masih menganggap PRT sebagai pembantu semata. “Selama ini, yang terjadi adalah, PRT hanya sekedar dimintain tolong oleh majikan tanpa diberi upah, atau tidak dihitung sebagai uang lemburan. Budaya seperti ini yang harus kita hilangkan, karena hal ini tidak akan mengubah nasib PRT menjadi lebih baik,” imbuhnya.

Dalam diskusi tersebut tercapai beberapa kesimpulan yang diantaranya adalah, mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi ILO no.189 dan selanjutnya membentuk RUU PRT. Sementara itu, di tingkat lokal, perlu diadakan sosialisasi Pergub no.31 tahun 2010 sehingga praktek implementasinya bisa sampai ke tataran grass root. Selain itu, jangan sampai terjebak hanya pada persoalan hukum semata, namun harus kita kawal juga praktek implementasinya di lapangan. [Anik Susiyani]

sumber: http://lpmarena.com/?p=659

Minggu, 17 Juni 2012

JPPRT tuntut Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 189 dan segera Mengesahkan UU Perlindungan PRT

“Lahirnya Konvensi ILO 189 mengenai kerja Layak bagi PRT pada tanggal 16 Juni 2011 di Jenewa, Sitzerland menjadi sejarah baru untuk dunia yang lebih beradab dan berkeadilan bagi 100 juta PRT di dunia yang mayoritas Perempuan, termasuk lebih dari 10 juta PRT yang bekerja di Indonesia dan lebih dari 6 juta PRT migran Indonesia,” demikian dinyatakan Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) DIY dalam siaran pers-nya memperingati diadopsinya Konvensi tersebut sebagai Hari PRT Internasional.

Konvensi ILO 189 memberikan pengakuan terhadap PRT sebagai pekerja, penghormatan dan perlindungan atas hak PRT sebagaimana pekerja lainnya. Konvensi ini disertai rekomendasi yang memuat standar setting: prinsip-prinsip fundamental perlindungan hak-hak dan situasi kerja serta keadilan sosial bagi Pekerja Rumah Tangga, penghapusan bentuk diskriminasi, perlindungan dari pelanggaran hak-hak, kesewenang-wenangan, kekerasan terhadap PRT, penghapusan kerja paksa dan sebagainya.

Pada konferensi ke 100 Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO di Palais des Nations, Jenewa, Swiss, pada 14 Juni 2011, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya telah menyatakan komitmen mengenai dukungan dan adopsi terhadap Konvensi ILO tentang Kerja Layak bagi PRT. Bahkan akan menjadikan acuan dalam melakukan perlindungan bagi PRT migrant maupun PRT dalam negeri melalui penyusunan peraturan-perundangan yang efektif.

“Apa yang disampaikan presiden RI dengan berkali-kali mengucapkan keadilan social, haruslah segera diwujudkan dalam tindakan politik yang konkrit, komprehensif atas kebijakan di tingkat nasional untuk perlindungan PRT migrant maupun PRT di negeri sendiri, bukan sekedar janji manis dan politik pencitraan belaka,” demikian dinyatakan oleh JPPRT.

JPPRT yang merupakan jaringan dari puluhan organisasi masyarakat sipil dan individu, yakni Aliansi Buruh Yogyakarta, Forum LSM DIY, IHAP, ICM, KPI DIY, Kongres Operata Yogyakarta (KOY), LKBH UII, LOD, LOS, LSPPA, LBH Yogyakarta, LSKP, Mitra Wacana, PKBH UMY, PKBI DIY, PSB, Rifka Annisa, RTND, SAMIN, Sahabat Perempuan, Serikat PRT Tunas Mulia, SP Kinasih, YASANTI, Yayasan Kembang dan para individu, pada peringatan Hari PRT Internasional ini menyampaikan tuntutannya, sebagai berikut:

Segera ratifikasi Konvensi ILO 189 mengenai Kerja Layak bagi PRT
DPR dan pemerintah harus mengintegrasikan Konvensi Kerja Layak PRT dalam peraturan perundangan lokal dan nasional
Segera bahas dan sahkan Perlindungan PRT menjadi UU Perlindungan PRT
Hentikan segala bentuk diskriminasi terhadap PRT
Wujudkan sistem perlindungan hukum bagi PRT di Yogyakarta

Yogyakarta, 17 Juni 2012

sumber: http://odishalahuddin.wordpress.com/2012/06/17/jpprt-tuntut-indonesia-meratifikasi-konvensi-ilo-189-dan-segera-mengesahkan-uu-perlindungan-prt/

Sabtu, 16 Juni 2012

Pemerintah dan DPR Didesak Ratifikasi Konvensi PRT

Pemerintah dan DPR didesak untuk segera meratifikasi Konvensi ILO tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga. Hal itu disampaikan Jaringan Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menyambut hari PRT internasional yang jatuh tiap 16 Juni.

Menurut Koordinator Jala PRT, Lita Anggraeni, Konvensi tersebut memberi pengakuan bahwa PRT sama seperti pekerja lainnya yang memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi. Dalam konvensi itu memuat rekomendasi yang menjelaskan prinsip-prinsip fundamental perlindungan atas hak-hak dan situasi kerja serta keadilan sosial bagi PRT.

Konvensi tersebut, menurut Lita, memberi kepastian tentang hak upah, hari libur dan jam kerja PRT. Dengan ratifikasi tersebut, semua peraturan perundang-undangan tentang PRT yang ada di Indonesia harus mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut. Ini penting karena jumlah PRT domestik di Indonesia dan PRT migran asal Indonesia jumlahnya cukup besar.

Saat ini Lita melihat pemerintah dan DPR sedang membahas dua regulasi terkait PRT. Yakni RUU PRT dan revisi UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKLN). Lita berharap kedua ketentuan itu memuat nilai-nilai yang ada dalam Konvensi PRT.

"Presiden SBY berjanji untuk meratifikasi," kata Lita kepada wartawan dalam jumpa pers di gedung Komnas HAM Jakarta, Jumat (15/6).

Senada, dalam kesempatan yang sama Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) cabang Sukabumi, Jejen Nurjanah, mengatakan ratifikasi penting segera dilakukan mengingat banyak TKI yang bekerja sebagai PRT di luar negeri.

Jejen mencontohkan dari 1100 pekerja migran yang berasal dari Sukabumi, yang bekerja di sektor formal hanya 15 orang. Sisanya bekerja di sektor informal, termasuk PRT. Sayangnya UU PPTKLN, tidak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja migran.

“Kita ingin UU PPTKLN yang memuat Konvensi ILO itu segera disahkan,” kata Jejen.

Dari pengalamannya bekerja sebagai TKI, Jejen menyebut PRT rentan terkena masalah karena kurangnya perbekalan keahlian sebelum diberangkatkan. Misalnya pemahaman akan bahasa, budaya dan hukum di negara tempat si TKI bekerja. Hal ini diperburuk dengan lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap pelatihan yang diselenggarakan oleh Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).

Dengan meratifikasi konvensi tersebut Jejen berharap PRT migran mendapat perlindungan yang menyeluruh. Mulai dari pra penempatan, penempatan dan pasca bekerja. Termasuk pelatihan dan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan TKI sebagai persiapan sebelum bekerja di negara tujuan kerja.

Sementara Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah, mengatakan peran media untuk menyuarakan pentingnya pemerintah meratifikasi konvensi ini sangat diperlukan sebagai bagian dari membantu perlindungan terhadap PRT. Pasalnya, Masruchah melihat pemerintah kurang mempertimbangkan perlindungan terhadap PRT.

Selain itu, Masruchah mengingatkan bahwa RUU Perlindungan PRT yang saat ini masih dibahas pemerintah harus memuat pemenuhan HAM bagi PRT. Dia berharap RUU tersebut dapat sesegera mungkin disahkan karena posisi dan situasi yang banyak dialami PRT Indonesia di dalam ataupun luar negeri membutuhkan perlindungan atas HAM.

“Lagi-lagi kalau terkait dengan sesegera mungkin disahkannya ini karena terkait dengan tanggung jawab negara soal perlindungan, pemenuhan dan kemajuan HAM PRT,” kata Masruchah.

TKI di Suriah
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) saat ini berupaya memberi perlindungan kepada TKI, terutama di wilayah konflik, seperti yang sedang terjadi di Suriah. Untuk menyelamatkan TKI dari konflik yang melanda Suriah, Menakertrans, Muhaimin Iskandar, mengatakan sedang berusaha untuk mengevakuasi TKI ke lokasi aman, setelah itu memulangkannya ke Indonesia.

Sampai 10 Juni 2012, TKI yang telah dievakuasi mencapai 202 orang, sedangkan pemulangan regular dan bantuan majikan mencapai 70 orang. Muhaimin menyebut pemulangan TKI dari Suriah akan dilaksanakan pada tanggal 17 dan 19 Juni 2012. “Pemulangan TKI dari Suriah akan terus dilakukan secara bertahap baik melalui evakuasi maupun pemulangan reguler,” kata Muhaimin dalam rilis yang diperoleh hukumonline, Sabtu (16/6).

Sementara Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta), Reyna Usman, mengatakan telah meminta kepada para majikan di Suriah untuk melakukan pemulangan setelah TKI habis kontrak. Bahkan kalau majikan merasa tidak dapat menjamin keamanan TKI, Reyna meminta para majikan untuk menyerahkan TKI yang dipekerjakan ke KBRI Damaskus. Seluruh perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan perusahaan asuransi juga diminta untuk membantu proses evakuasi dan pemulangan TKI di Suriah.

Sampai saat ini Kemenakertrans masih menerapkan moratorium penempatan TKI ke Suriah. Begitu pula dengan perpanjangan kontrak bagi TKI yang sebelumnya sudah bekerja disana. Dari data KBRI Damaskus, sejak Januari 2012, terdapat 457 paspor yang diperpanjang untuk keperluan pemulangan TKI.

“Semua pihak harus bekerja lebih keras dalam upaya proses pemulangkan TKI dari Suriah serta memenuhi kewajibannya dalam memberikan hak-hak TKI yang tidak bisa bekerja secara penuh akibat perang saudara,” kata Reyna dalam rilis.

Untuk memaksimalkan langkah yang sedang ditempuh, pemerintah membuka pusat informasi kepada seluruh pihak terkait evakuasi dan pemulangan terhadap TKI di Suriah. Bagi TKI /WNI yang membutuhkan bantuan informasi dan evakuasi di Suriah bisa menghubungi nomor telepon +963116132578, +963954444810, +963116119630.

sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fdc463c76ecd/pemerintah-dan-dpr-didesak-ratifikasi-konvensi-prt

KA PRT Desak UU Perlindungan PRT Segera Dibahas

Selama ini telah terjadi stigmatisasi terhadap pekerjaan PRT, yaitu pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, tidak bernilai ekonomis dan pekerjaan bawaan, sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap PRT.

Berbagai aliansi yang bergerak memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga (PRT) yang tergabung dalam Komite Aksi PRT menggelar aksi unjuk rasa di Bunderan Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Sabtu (16/6). Aksi yang diikuti 150 orang ini digelar selain memperingati Hari PRT Sedunia yang jatuh pada setiap 16 Juni ini, juga menyampaikan tuntutan kepada DPR RI dan pemerintah.

Tuntutan yang disampaikan yaitu segera menciptakan sistem perlindungan bagi PRT dengan segera membahas dan mengesahkan Undang-Undang (UU) Perlindungan PRT. Mereka juga menuntut pemerintah untuk memenuhi komitmen yang diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Sidang Perburuhan Internasional sesi ke-100 pada 16 Juni 2011, yaitu meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT dengan mengintegrasikannya dalam peraturan perundang-undangan nasional untuk perlindungan PRT domestik dan PRT Migran.

“Tuntutan ketiga adalah menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan stigmatisasi terhadap PRT. Sebab selama ini, kenyataan dilapangan para PRT tidak mempunyai waktu libur, dan tidak bisa keluar rumah hanya untuk melepaskan penat setelah bekerja penuh,” kata Koordinator Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT, Lita Anggraeni, kepada beritasatu.com usai mengadakan aksi unjuk rasa tersebut.

Lita menegaskan selama ini telah terjadi stigmatisasi terhadap pekerjaan PRT, yaitu pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, tidak bernilai ekonomis dan pekerjaan bawaan. Sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap PRT, yang paling utama tidak dianggap sebagai pekerja yang patut dilindungi oleh UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Praktis tidak ada kerangka hukum yang mengakui dan melindungi hak-hak PRT sebagai pekerja. Padahal, selama melakukan pekerjaannya, PRT memenuhi unsur upah, perintah dan pekerjaan. Ini menunjukkan PRT adalah pekerja yang memiliki hak normatif dan perlindungan seperti pekerja umumnya,” jelasnya.

Menurut rapid assessment JALA PRT, ada sebanyak 10,7 juta PRT yang menopang jutaan keluarga Indonesia. PRT memegang peranan penting di dalam peningkatan pendapatan keluarga. Namun demikian, 10,7 juta PRT di Indonesia tidak terlindungi oleh peraturan perundangan yang mengatur kondisi kerja dan standar kerja yang layak.

“Demikian juga dengan 6 juta PRT migran Indonesia. Dampaknya sering terlihat eksploitasi dan kekerasan terhadap PRT kerap kali terjadi,” kata Lita.

Menurutnya RUU PRT merupakan inisiatif dari DPR, sehingga seharusnya DPR lebih serius untuk menggodok RUU PRT agar semakin cepat disahkan. Dalam RUU PRT dijamin pengakuan PRT sebagai pekerja dan hal tersebut diatur dalam formalisasi hubungan kerja. Dampak dari pengesahan RUU PRT tidak hanya menguntungkan PRT saja tapi juga majikan.

Penulis: Lenny Tristia Tambun/ Didit Sidarta

Jumat, 15 Juni 2012

Pemerintah Harus Sahkan RUU PRT

JAKARTA, KOMPAS.com - Berbagai aliansi kelompok peduli pekerja rumah tangga (PRT) mendesak pemerintah dalam hal ini DPR RI untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang pekerja rumah tangga (RUU PRT). Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang belum mempunyai undang-undang yang menjamin perlindungan dan kepastian hukum PRT.

"Kami mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PRT. Pengesahan RUU tersebut tidak hanya akan melindungi hak PRT tapi juga akan melindungi mereka dari pelanggaran HAM yang dilakukan majikan," tegas Yunianti Chuzaifah, ketua Komnas perempuan, dalam pernyataan sikap Komnas Perempuan pada Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional di kantor komnas HAM, Jakarta, Jumat (15/06/2012).

Yunianti juga menyebutkan bahwa dari hasil Badan Pusat Statistik tahun 2008 saja, jumlah PRT hampir mendekati 2 juta orang, 12 persen diantaranya PRT anak-anak dan selebihnya adalah perempuan.

Sementara itu, Lita Anggraeni yang merupakan koordinator Jala PRT mencatat bahwa jumlah PRT diperkirakan mencapai 16 juta orang. Rita juga turut mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU PRT dan meratifikasi Konvensi ILO 189. ILO adalah organisasi Buruh Internsional yang bernaung di bawah PBB.

"RUU PRT yang akan melindungi hak-hak PRT adalah inisiatif dari DPR, seharusnya DPR lebih serius untuk menggodok RUU PRT agar semakin cepat disahkan," ujar Rita.

Dalam RUU PRT dijamin pengakuan PRT sebagai pekerja dan hal tersebut diatur dalam formalisasi hubungan kerja. Dampak dari pengesahan RUU PRT tidak hanya menguntungkan PRT saja tapi juga majikan.

Pasalnya, PRT dituntut untuk lebih profesional dan ada standarisasi serta akreditasi tersendiri untuk menjadi PRT, sehingga majikan dan PRT akan mendapatkan banyak manfaat dari RUU PRT. Sedangkan Konvensi ILO 189 yang harus segera diratifikasi pemerintah memuat prinsip dan standar kerja yang layak bagi PRT.

sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2012/06/15/1802025/Pemerintah.Harus.Sahkan.RUU.PRT

Komnas Perempuan Desak Pemerintah Sahkan RUU PRT

KBR68h, Jakarta - Pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Pekerja Rumah Tangga (PRT). Anggota Komnas Perempuan Sri Nurherawati mengklaim aturan ini adalah bentuk perlindungan terhadap pekerja rumah tangga. Pasalnya, aturan ini melindungi hak PRT dan memberi jaminan serta kepastian hukum kepada pemberi kerja atau majikan.

“Sebenarnya kerangka di hari PRT ini kita ingin menegaskan kembali. Bahwa sebenarnya RUU ini toh sudah diagendakan, beberapa waktu yang lalu, di dalam area UPR, sudah diterima, sebaga salah satu yang akan dijalankan oleh pemerintah dan langsung menujunya bukan membahas lagi, namun mengesahkan. Artinya ini menjadi tantangan untuk kita bersama, untuk mendorong pemerintah segera mengesahkan bersama DPR, RUU PRT ini.”

Sri Nurherawati menambahkan RUU Pekerja Rumah Tangga merupakan satu paket perlindungan untuk buruh migran maupun pekerja lokal. Data dari Badan Pusat Statistik pada 2008 mencatat, jumlah pekerja rumah tangga hampir mencapai dua juta orang. Sekitar 12 persen diantaranya adalah anak-anak.

sumber: http://www.kbr68h.com/berita/nasional/27826

Pemerintah Didesak Lakukan Ratifikasi Konvensi ILO Tentang Kerja Layak Bagi PRT

JAKARTA, (PRLM).-Sejumlah kelompok mendesak pemerintah segera membentuk Undang-undang yang melindungi pekerja rumah tangga (PRT). Selain standar upah dan jam kerja, PRT harus mendapat jaminan sosial seperti jaminan kesehatan dan hak berorganisasi. Untuk itu, mereka juga menagih komitmen pemerintah untuk meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 189 tentang Kerja Layak bagi PRT.

Hal itu terungkap dalam konferensi pers menjelang peringatan Hari PRT Dunia di Gedung Komnas Hak Asasi Manusia, Jln. Latuharhari, Jakarta Pusat, Jumat (15/6).

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraeni mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kerja layak bagi PRT itu meliputi antara lain standar upah minimum, durasi kerja dalam satu hari, hak mendapat libur satu hari dalam satu minggu, perjanjian kerja secara tertulis, jaminan sosial seperti diatur dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), hak berorganisasi, hak berkumpul, usia minimum, dan hak bersosialisasi.

"Dari banyak perdebatan, yang paling banyak dibahas memang standar upah, dan ini masih dibahas rumusannya. Prinsipnya harus ada upah minimum untuk PRT," ujar Lita.

Pada kesempatan itu, turut hadir Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah; Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jejen Nurjanah; Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah; dan Komisioner Komnas HAM, Sri Nurherwati, turut memberikan keterangan pers.

Yuniyanti menambahkan, PRT juga mempunyai hak mendapat kondisi kerja yang layak dan aman. Beberapa indikator kerja layak bagi PRT antara lain durasi kerja yang manusiawi, cukup istirahat, mendapat cuti melahirkan, tempat tinggal layak, diberi kebebasan memilih untuk tinggal dengan majikan atau tidak, mempunyai kamar/ruang pribadi yang mendapat kunci sendiri untuk menjamin privasi dan keamanan, serta mendapat makanan yang layak.

Pada kesempatan itu, mereka juga memperkenalkan Hari PRT Sedunia yang jatuh pada hari ini, 16 Juni. Tanggal tersebut disepakati berdasarkan peristiwa pengadopsian Konvensi ILO 189 dan Rekomendasi 201 tentang Kerja Layak bagi PRT pada sesi ke-100 sidang Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), 16 Juni 2011.

Dengan demikian, Hari PRT mulai diperingati tahun ini. Pada salah astu sesi sidang ILO tersebut, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato yang di antaranya berisi tentang komitmen pemerintah dalam melindungi PRT dan pekerja migran Indonesia yang mayoritas bekerja sebagai PRT.

Berdasarkan data ILO, jumlah PRT di dunia mencapai 52,6 juta orang di 117 negara. Namun, ILO tidak menutup kemungkinan pandangan para ahli bahwa jumlah PRT di seluruh dunia diperkirakan mencapai 100 juta orang.

Sementara, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2008 jumlah PRT hampir mendekati 2 Juta orang,12% diantaranya merupakan PRT anak dan 90% adalah perempuan. Sementara itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh JALA PRT, jumlah PRT diperkirakan mencapai 16.117.331 orang. Data lain menyebutkan, 72-80% pekerja migran Indonesia di luar negeri bekerja sebagai PRT.

Saat ini, sudah ada tiga negara yang meratifikasi Konvensi ILO 189 yaitu Uruguay, Costa Rica, dan Filipina. Pada sidang universal periodic review (UPR) Dewan Hak Asasi Manusia PBB Mei lalu, sejumlah negara memberikan rekomendasi kepada Indonesia untuk mengesahkan RUU Perlindungan PRT.

Pemerintah Indonesia menerima rekomendasi tersebut, namun belum memasukkan ratifikasi konvensi ILO dalam daftar rekomendasi yang diadopsi langsung, tetapi masih dipertimbangkan. "Pengesahan RUU Perlindungan PRT di DPR masih tersendat. Padahal RUU Perlindungan PRT merupakan inisiatif dari DPR RI," ujar Yuniyanti. (A-156/A-89)***


sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com/node/192500

PBB Menunggu Komitmen Pemerintah RI untuk segera Ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT

Pernyataan Sikap Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional 2012

Pengadopsian Konvensi ILO 189 dan Rekomendasi 201 tentang Kerja Layak bagi PRT pada sidang ke 100 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 16 Juni 2011 lalu, merupakan sejarah baru bagi pengakuan, perlindungan dan penciptaan kondisi kerja layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Momentum bersejarah tersebut kemudian disepakati sebagai hari PRT Internasional yang pada 2012 dirayakan pertama kali secara bersamaan di seluruh dunia.

Pada peristiwa bersejarah tersebut, pemerintah RI melalu Presiden SBY mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato yang berjudul “ Forging A New Global Employment Framework for Social Justice and Equality”. Salah satu hal penting disampaikan dalam pidato tersebut adalah komitmen pemerintah RI pada dunia Internasional dalam perlindungan PRT dan Pekerja Migran yang mayoritas bekerja sebagai PRT. Presiden RI juga menyampaikan arti penting Kovensi ILO 189 bagi Pemerintah RI sebagai salah satu Negara dengan warganegara yang banyak bekerja sebagai PRT.

Menurut data ILO jumlah PRT saat ini diperkirakan sebanyak 52,6 Juta, berdasarkan sensus yang dilakukan di 117 negara. Namun, ILO tidak mengabaikan keterangan para ahli yang menyampaikan kemungkinan jumlah PRT di seluruh dunia mencapai 100 Juta orang, mengingat pekerjaan rumah tangga saat ini masih dianggap bukan pekerjaan dan profesi tersendiri. Di Indonesia, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2008 jumlah PRT hampr mendekati 2 Juta orang,12% diantaranya merupakan PRT anak dan 90% adalah perempuan. Sementara itu berdasarkan hasil Rapid Assesment yang dilakukan oleh JALA PRT, jumlah PRT diperkirakan mencapai 16.117.331 orang. Sedangkan data lain menyebutkan, 72-80% pekerja migran Indonesia di luar negeri bekerja sebagai PRT.

Pada perkembangannya, saat ini baru tiga negara yang sudah meratifikasi Konvensi ILO 189, yaitu Uruguay, Costa Rica dan Filipina. Sementara itu, Indonesia belum menunjukan signal untuk meratifikasi Konvensi ILO 189. Bahkan pada forum Internasional yang sangat penting lainnya, yaitu sidang UPR, pemerintah Indonesia bahkan sama sekali tidak menyinggung perihal kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan khususnya PRT. Namun, sejumlah negara dalam sidang tersebut merekomendasikan Indonesia agar meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT.

Pada hari PRT Internasional pertama kali ini, Komnas Perempuan :

Mengapresiasi sejumlah negara yang memberi rekomendasi kepada pemerintah RI untuk memberi perhatian serius untuk perlindungan PRT melalui pengesahan RUU PRT maupun ratifikasi Konvensi ILO 189, dalam sidang UPR (Universal Periodic Review) Dewan HAM PBB di Geneva.
Mengapresiasi pemerintah RI yang telah memasukkan rekomendasi pengesahan RUU Perlindungan PRT dalam 144 rekomendasi dari 74 negara dalam sidang UPR tersebut. Komnas Perempuan mendorong DPR RI agar melanjutkan pembahasan dan pengesahan atas RUU Perlindungan PRT.
Komnas Perempuan menyayangkan rekomendasi UPR untuk meratifikasi Konvensi ILO 189 masih masuk dalam daftar rekomendasi yang berstatus ”dipertimbangkan” oleh pemerintah Indonesia. Komnas Perempuan mendorong rekomendasi ini harus masuk dalam list yang diadopsi pemerintah RI untuk disampaikan didepan dewan HAM PBB September 2012, selain karena urgensi perlindungan untuk PRT juga konsistensi komitmen Presiden SBY sudah didengar dunia.
Meminta agar sosialisasi dan harmonisasi hukum segera dilakukan, terkait perlindungan PRT dan Pekerja Migran dilakukan pasca ratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan semua Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
Presiden harus bersikap tegas terhadap pejabat publik, khususnya menteri maupun pejabat strategis lainnya, yang membuat pernyataan diskriminatif dan merendahkan perempuan, khususnya menyalahkan korban termasuk PRT migran perempuan. Pemerintah harus membuat mekanisme seleksi untuk memastikan pejabat publik memiliki keberpihakan dan pemahaman yang utuh tentang HAM dan gender.

Yuniyanti Chuzaifah (Ketua Komnas Perempuan)

Agustinus Supriyanto (Ketua Gugus Kerja Migran)


sumber: http://www.komnasperempuan.or.id/2012/06/pernyataan-sikap-hari-pekerja-rumah-tangga-prt-internasional-2012-pbb-menunggu-komitmen-pemerintah-ri-untuk-segera-ratifikasi-konvensi-ilo-189-tentang-kerja-layak-bagi-prt/

Rabu, 13 Juni 2012

Tentang C189: Kerja yang Layak Untuk PRT

Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan. Pekerja rumah tangga, seperti pekerja lainnya, berhak atas pekerjaan yang layak.

Pada tanggal 16 Juni 2011, Konferensi Perburuhan Internasional, ILO mengadopsi Konvensi tentang pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga, yang juga disebut sebagai Konvensi Pekerja Rumah Tangga, 2011 (No 189).

Konvensi ILO adalah sebuah perjanjian yang diadopsi oleh Konferensi Perburuhan Internasional, yang dihadiri oleh delegasi pemerintah, pekerja dan pengusaha dari 183 Negara anggota ILO.

Konvensi nomor 189 menawarkan perlindungan tertentu kepada pekerja rumah tangga. Konvensi ini menetapkan prinsip-prinsip dan hak-hak dasar pekerja rumah tangga, dan mendesak negara untuk mengambil serangkaian tindakan dengan maksud untuk mendorong terciptanya pekerjaan yang layak bagi pekerja rumah tangga.

Ketika suatu negara meratifikasi Konvensi, pemerintahnya secara resmi membuat komitmen untuk melaksanakan semua kewajibannya dalam Konvensi, dan melaporkan secara berkala kepada ILO tentang kebijakan yang diambil berkaitan dengan konvensi tersebut.

Rekomendasi Pekerja Rumah Tangga Nomor 201, juga diadopsi oleh Konferensi Perburuhan Internasional tahun 2011, ini melengkapi Konvensi nomor 189. Tidak seperti Konvensi, Rekomendasi nomor 201 tidak terbuka untuk diratifikasi. Rekomendasi tersebut menyediakan bimbingan praktis tentang hukum dan langkah-langkah lainnya untuk melaksanakan prinsip dan hak yang dinyatakan dalam Konvensi.

Konvensi dapat diimplementasikan dengan memperluas atau mengadaptasi hukum yang ada dan peraturan atau tindakan lain, atau dengan membuat peraturan baru dan langkah-langkah spesifik untuk pekerja rumah tangga. Beberapa langkah yang diperlukan berdasarkan Konvensi dapat dilakukan secara progresif.

Konvensi No 189 mendefinisikan pekerjaan rumah tangga sebagai “pekerjaan yang dilakukan dalam atau untuk rumah tangga atau beberapa rumah tangga”. Pekerjaan ini dapat mencakup tugas-tugas seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci dan menyetrika pakaian, mengurus anak-anak, atau anggota keluarga lanjut usia atau sakit, berkebun, menjaga rumah, sopir, bahkan merawat hewan peliharaan rumah tangga.

Di bawah Konvensi ini, pekerja rumah tangga adalah “setiap orang yang terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dalam suatu hubungan pekerjaan”. Seorang pekerja rumah tangga dapat bekerja secara penuh waktu atau paruh waktu; mungkin dipekerjakan oleh satu rumah tangga atau dengan beberapa majikan; mungkin berada di rumah tangga majikan (live-in) atau mungkin tinggal di tempat sendiri tinggal (live-out). Seorang pekerja rumah tangga mungkin bekerja di negara tempat asal bekerja atau di negara lain.

Semua PRT yang dilindungi oleh Konvensi nomor 189, meskipun negara tersebut memutuskan untuk mengecualikan beberapa kategori, dibawah kondisi yang sangat ketat.

Majikan pekerja rumah tangga adalah anggota rumah tangga yang baginya PRT melakukan pekerjaan, atau agen atau perusahaan yang mempekerjakan pekerja rumah tangga untuk urusan rumah tangga.

Konvensi nomor 189 menegaskan hak-hak dasar pekerja rumah tangga. Konvensi ini menerapkan standar kerja minimum untuk pekerja rumah tangga.

Dalam Konvensi ini pekerja rumah tangga dapat:

mengatur & memobilisasi dukungan untuk ratifikasi dan implementasi Konvensi oleh Pemerintah mereka;

menggunakan ketentuan-ketentuan Konvensi dan Rekomendasi untuk mempengaruhi perubahan hukum dan meningkatkan kerja dan kehidupan kondisi pekerja rumah tangga, terlepas dari apakah negara dimana mereka bekerja meratifikasi Konvensi nomor 189 atau tidak.

Hak-hak Dasar PRT

Promosi dan perlindungan hak asasi manusia dari semua pekerja rumah tangga (Mukadimah, Pasal 3).

Penghormatan dan perlindungan atas prinsip-prinsip dan hak-hak dasar di tempat kerja: (a) kebebasan berserikat dan pengakuan hak untuk berunding bersama; (b) penghapusan segala bentuk kerja paksa, (c) penghapusan pekerja anak, dan (d) penghapusan diskriminasi sehubungan dengan pekerjaan dan jabatan (Pasal 3, 4, 11).

Perlindungan efektif terhadap semua bentuk kekerasan, pelecehan dan kekerasan (Pasal 5).

Adil dalam hal pekerjaan dan kondisi hidup layak (Pasal 6).

Informasi mengenai syarat dan ketentuan kerja

Pekerja rumah tangga harus diberi informasi tentang syarat dan kondisi kerja dengan cara yang mudah dimengerti, sebaiknya dibuat dalam kontrak tertulis (Pasal 7).

Jam kerja

Ketentuan jam kerja bertujuan untuk memastikan perlakuan yang sama antara pekerja rumah tangga dan pekerja pada umumnya dengan menghormati jam kerja normal, kompensasi lembur, istirahat harian dan mingguan, dan cuti tahunan (Pasal 10).

Waktu istirahat mingguan minimal 24 jam berturut-turut (Pasal 10).

Peraturan jam siaga (Periode dimana pekerja rumah tangga tidak bebas untuk menggunakan waktu sesuka mereka dan diperlukan untuk tetap berada di rumah tangga untuk siap sedia atas keperluan mendadak). (Pasal 10).

Remunerasi/Pengupahan

Upah minimum jika upah minimum ada untuk pekerja lain (Pasal 11).

Pembayaran upah harus dibayar secara tunai, langsung ke pekerja, dan pada interval yang tetap, tidak lebih dari satu bulan. Pembayaran dengan cek atau transfer bank - kalau diizinkan oleh hukum atau kesepakatan bersama, atau dengan persetujuan pekerja (Pasal 12)

Biaya yang dikenakan oleh lembaga tenaga kerja swasta (agen) harus tidak dipotong dari remunerasi (Pasal 15).

Kesehatan dan keselamatan kerja

Hak keamanan dan lingkungan pekerjaan yang sehat (Pasal 13).

Aturan diletakkan di tempat kerja untuk memastikan keselamatan dan kesehatan pekerja (Pasal 13).

Jaminan sosial

Perlindungan jaminan sosial, termasuk manfaat bersalin (Pasal 14).

Kondisi yang tak kalah menguntungkan dari yang berlaku untuk pekerja umumnya (Pasal 14).


sumber: http://hukum.kompasiana.com/2012/06/13/tentang-c189-kerja-yang-layak-untuk-prt/

Senin, 11 Juni 2012

Mengintip Desa PRT Cina

BEIJING | DNA - Selamat datang di desa Dong Xin Dian, yang oleh warga setempat dikenal sebagai ‘Desa Pengasuh’. Banyak perempuan di sini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di bungalo-bungalo di Distrik Shunyi yang dipenuhi dengan orang Cina kaya dan profesional asing.

Ada satu jalan utama di desa ini. Di pinggirnya berjajar toko-toko dan pedagang kaki lima. Jalan utama ini bercabang ke jalan-jalan tanah, menuju bangunan-bangunan yang tidak begitu tinggi.

“Ini gaya bangunan khas di sini, bangunan berlantai tiga yang diubah dari rumah berlantai satu. Sekarang mereka membaginya menjadi kamar-kamar kecil, tidak lebih dari 20 meter persegi. Setiap ruangan dihuni dua sampai empat orang. Hanya ada segelintir orang asli Beijing di desa ini; mereka membangun ruangan itu untuk disewakan kepada pekerja migran seperti kami,” ujar Xiou Li, salah satu warga di sini.

Sembilan puluh persen penduduk di sini adalah pekerja migran dari pedesaan Cina. Perpindahan besar-besaran dari desa ke kota menyebabkan pesatnya urbanisasi.Tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejara di Cina jumlah penduduk kota melampaui penduduk desa. Sepertiga petani di desa telah pindah ke berbagai kota untuk mencari kesempatan kerja yang lebih baik.

Banyak migran dari desa tinggal di pinggiran kota yang disebut 'desa-di-kota' – tidak beraturan, ada di pinggiran dan dihuni pekerja yang tak terhitung jumlahnya.Penduduk di sini disebut 'semi-urban', dan mereka tidak menikmati kesejahteraan sosial yang sama seperti warga yang lahir di kota.Setelah bekerja seharian mencuci pakaian orang lain dan mengasuh anak, Jin Jie, 47 tahun, memasak untuk keluarganya. Dapur daruratnya berada di koridor yang digunakan bersama penghuni lain.

Makan malam hari ini terdiri dari tumis kepala ikan dan siap saat suaminya pulang dari lokasi konstruksi dan anak perempuannya selesai bekerja di sebuah mal.Jin Jie datang yang berasal dari Provinsi Anhui, telah empat kali pindah rumah beberapa tahun terakhir ini.

“Sekali rumah kami dibongkar atau dipindahkan karena pembangunan. Sangat sulit mencari tempat dengan angkutan umum yang nyaman dan sewa yang terjangkau. Dalam beberapa tahun terakhir, tiga dari lima desa di wilayah ini telah dibongkar. Dong Xin Dian, salah satu yang terakhir yang masih bertahan. Tapi sewanya naik. Ketika pertama pindah ke sini, sewanya sekitar Rp 430 ribu, lalu Rp 500 ribu dan sekarang lebih dari Rp 550 ribu. Tiga kali naik selama kurang dari dua tahun.”

Jin mengatakan pemilik tanah yang membangun tempat yang disewanya ini, sedang mencari tempat untuk pindah. “Di tempat kami yang dulu, pemiliknya terus memperluas bangunannya. Ia membangun gedung di setiap tempat yang tersisa, dan membuat sebanyak mungkin kamar. Ketika dibongkar dan direlokasi, kompensasi resmi dihitung berdasarkan tempat yang dibangun dan pemilik tanah mendapat ganti rugi relokasi dan perumahan. Kini pembangunan juga pesat di Dong Xin Dian dan bangunan melampaui batas tanah hingga ke jalanan hingga jadi lebih luas.”

Tapi tidak seperti pemilik tanah, penyewa migran seperti Jin tidak menerima kompensasi.Yang mesti dihadapi para pengasuh ini tak sekadar naiknya ongkos sewa tempat tinggal. Zhang Min, 32 tahun, yang berasal dari Sichuan, sedang mencuci pakaian keluarganya di malam hari, setelah ia pulang bekerja seharian di dua rumah yang berbeda. Dia bekerja enam hari seminggu dan penghasilannya sekitar Rp 4 juta sebulan.

“Yang lain bilang, jika Anda bekerja Anda berhak mendapatkan asuransi dan pensiun. Tapi saya tidak punya satu pun, karena saya tidak bekerja di perusahaan, saya bekerja untuk rumah tangga.”

Zhang rindu pada anak lelakinya yang tetap tinggal di kampung, dengan biaya hidup dan sekolah lebih murah. “Anak lelaki saya berusia 8 tahun. Jika saya membawanya ke Beijing, saya tak punya sisa uang lagi. Dia datang kemari untuk liburan musim panas tahun lalu, dan pengeluaran kami meningkat tajam. Untuk mengirim dia pulang, kami terpaksa pinjam uang dari teman saya.”

Beijing dihuni 20 juta jiwa dan hampir 40 persen penduduknya adalah migran. Banyak dari pekerja yang tidak punya kemampuan ini digambarkan sebagai orang 'semi kota'.

Du Yang, seorang peneliti di Institut Kependudukan dan Ekonomi Buruh, di Akademi Ilmu Pengetahuan Cina, salah satu pemikir utama Cina, mengatakan: “Dalam istilah statistik, kita menganggap orang yang hidup di perkotaan selama lebih dari enam bulan sebagai orang kota. Tapi banyak masyarakat desa yang pindah ke kota, karena keberadaan sistem hukou, mereka tidak menikmati keuntungan dari kesejahteraan sosial seperti masyarakat yang berstatus orang kota.”.

Hukou adalah sistem izin tinggal yang dibuat pada masa ekonomi yang direncanakan secara terpusat di Cina.
Sistem itu membagi masyarakat dalam dua kategori berdasarkan tempat lahir – penduduk desa atau kota. Ketika seseorang pindah keluar dari kategorinya, dia kehilangan akses pelayanan publik seperti pendidikan, perawatan medis, perumahan dan pensiun.

“Kami harap di masa depan, hukou tidak terlalu berhubungan dengan hak untuk mendapatkan kesejahteraan. Negara harus menyediakan sistem kesejahteraan sosial yang luas dan tidak diskriminasi. Ini bisa diminimalkan tapi harus mencakup sebanyak mungkin orang,” tutur Du.

Akhir tahun lalu, pemerintah Cina mengeluarkan sebuah kebijakan soal tugas pembangunan kependudukan bagi pejabat pemerintah. Kebijakan itu menyebutkan kalau kota yang lebih kecil bisa melonggarkan hukou, sehingga orang desa yang 'memenuhi syarat' bisa mendapatkan status orang kota.

Tapi kota yang lebih besar masih perlu menjaga pertumbuhan populasi agar turun sampai tingkat yang dianggap 'wajar'. Pemerintah juga menargetkan perbaikan kondisi hidup pekerja migran dan mendorong pemerintah daerah untuk membangun perumahan murah bagi kandidat yang 'memenuhi syarat'. Tapi tidak disebutkan apa yang harus dilakukan untuk dianggap 'memenuhi syarat'.Keluarga Jin Jie berkumpul di sekitar televisi setelah makan malam. Ia telah bekerja di Beijing selama 11 tahun. Tapi menurut pendaftaran hukou resminya, ia adalah petani yang tinggal di pedesaan.

“Orang seperti saya tidak punya kesempataan untuk mengubah hukou saya kecuali saya punya uang untuk membeli rumah di sini.”

Memiliki rumah hanyalah mimpi bagi Jin Jie. Ia bahkan tidak bisa mengatasi harga sewa rumah di kota yang terus meningkat.

(Lam Li, Asia Calling/Beijing)

sumber: http://www.dnaberita.com/berita-66089-mengintip-desa-prt-cina--.html