Rabu, 25 Februari 2009

LOWONGAN VOLUNTEER (RELAWAN)

BAGI ORANG-ORANG YANG MEMILIKI JIWA SOSIAL KERELAWANAN YANG TINGGI

RUMPUN TJOET NJAK DIEN

(RTND)

MEMBUTUHKAN

VOLUNTEER (RELAWAN)


Dengan kriteria :

1. Siap bekerja di dunia sosial

2. Peduli terhadap perempuan dan Pekerja Rumah Tangga (PRT)

3. Diutamakan Perempuan (tidak menutup kemungkinan laki-laki)

4. Pendidikan : minimal mahasiswa yang sudah KKN

5. Berpegang pada prinsip keadilan, anti diskriminasi, anti kekerasan, independen, pluralis, transparan

6. Siap bekerja dalam tekanan

7. Mampu bekerjasama dalam tim dan punya kemampuan koordinasi

8. Mobilitas tinggi, mandiri, komunikatif dan ulet

9. Membuat opini tentang PRT minimal 1 lembar


Caranya kirim lamaran dilampiri :

· Curriculum Vitae

· Pas foto 3 x 4, berwarna, 2 lembar

· Foto Copy KTP


Bawa atau Kirim lamaran ke :

Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND)

Perum Wirosaban Barat No. 22 Rt. 58 Rw. 14

Sorosutan Umbulharjo Yogyakarta

Telp. (0274) 9126105

atau kirim via email ke : rumpun@indosat.net.id

atau rumpun_tjoetnjakdien@yahoo.com

Berkas lamaran di terima paling lambat 10 Maret 2009




Perjanjian Kerja

Banyaknya kasus kekerasan terhadap PRT, ataupun munculnya keluhan dari para Pengguna Jasa (majikan) atas kinerja PRT, disebabkan karena tidak adanya peraturan yang secara tegas mengatur tentang PRT.

Oleh karena itu dibutuhkan adanya Perjanjian Kerja PRT.

Perjanjian kerja PRT adalah bentuk perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pengguna Jasa (majikan).

Butir-butir Perjanjian Kerja PRT

  1. Jumlah dan tanggal pembayaran gaji
  2. Hak dan tanggung jawab pekerja rumah tangga (PRT) dan pengguna jasa
  3. Tunjangan hari raya
  4. Sanksi bagi majikan dan PRT
  5. Penyelesaian masalah
  6. Cuti bagi PRT
  7. Hak libur

Butir-butir ini memiliki feksibilitas tinggi dan bertujuan untuk terciptanya keseimbangan antara hak dan kewajiban Pekerja Rumah Tangga dan Pengguna Jasa.



Senin, 16 Februari 2009

MARS PRT

By: Titik Darmani


Ayo PRT semua di Yogyakarta

Terus maju mencapai cita

Langkahkan kakimu, gerakkan tanganmu

Demi kebutuhan bersama


Janganlah kau ragu juangkan asa

Demi masa depan nan jaya

Bangkitlah hai kawan semua

Tegakkan hak-hak kita


Reff.

Bergandeng tangan maju bersama

Demi kesejahteraan

Dukunglah kami wahai para dewan

Angkatlah drajat kami semua 2x

Menunggu Malaysia Membuat Aturan Pekerja Informal

Buyung Ridwan Tanjung, S.H., LL.M



Paska kasus Ceriyati, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Brebes, Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar mendesak Pemerintah Malaysia segera menyelesaikan undang-undang pekerja Informal (Suara Merdeka, 5/7/ 2007) adalah sangat mengejutkan. Mengingat, Indonesia sendiri hingga saat ini tidak mempunyai undang-undang tersebut meski para penggiat hak asasi manusia (HAM) sudah memperjuangkan sekitar sepuluh tahun yang lalu.


Melahirkan sebuah undang-undang bukanlah pekerjaan mudah terlebih apabila belum diketemukan definisi yang tepat mengenai sesuatu yang akan diatur tersebut. Pekerja Rumah Tangga (PRT) sendiri hingga saat ini masih mengalami perdebatan dalam pendefinisian. Apakah mereka masuk bagian dari pekerja sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan atau bukan. Lepas dari perdebatan tersebut, patut diapresiasi bahwa PRT merupakan pekerja. Mengingat unsur-unsur adanya pemberi, penerima kerja, adanya pekerjaan dan menerima upah tentunya.


Sayangnya, anggapan PRT sebagai pekerjaan yang mudah dilakukan dan bisa dilakukan meski tanpa ketrampilan, pendidikan, pengalaman begitu menguat di kalangan masyarakat kita. Akibatnya upah yang dibayarkan juga kecil. Pemerintah kita selama inipun mengalami kebingungan dalam mendefinisikan PRT ini. Apakah mereka termasuk pekerja sehingga secara otomatis masuk dalam undang-undang ketenagakerjaan atau bukan. Akan tetapi pihak yang tidak sepakat bahwa PRT sebagai bagian integral dari definisi pekerja sesuai undang-undang merupakan pihak mayoritas. Hal inilah yang kemudian mendorong para penggiat HAM untuk mengusulkan pembuatan peraturan tentang PRT mengingat resiko pekerjaan yang dihadapi relatif sama besar dengan profesi lainnya. Hingga saat ini, undang-undang PRT masih sebatas usulan pembuatan dan penyusunan draft akademik meski telah diusulkan sekitar sepuluh tahun yang lalu. Ketidakjelasan posisi PRT dalam pendefinisian secara materiil tidak hanya menimpa PRT di dalam negeri akan tetapi juga kepada mereka yang bekerja di luar negeri.


Terlebih dengan lahirnya Undang-undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UUPPTKILN) juga tidak memberi kemajuan dalam pendefinisian siapakah yang termasuk pekerja informal. Namun bukan itu masalah utama dalam UUPPTKILN tersebut, masalah utama adalah bagaimana perlindungan negara terhadap warga negaranya yang hidup dan bekerja di luar negeri. Akan tetapi itupun juga tidak terpenuhi. Hanya ada 8 pasal perlindungan terhadap TKI dari 108 pasal yang ada. Undang-undang tersebut lebih banyak mengatur tentang penempatan TKI.


Permasalahan tersebut memberikan gambaran kepada kita betapa urusan ketenagakerjaan di Indonesia yang berkaitan dengan pekerja domestik dan buruh migran masihlah belum selesai. Negara belum mampu memberikan perlindungan terhadap buruh migran yang bekerja di sektor domestik (PRT).


Ada 3 hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah kita sebelum’menyadarkan’ pemerintah Malaysia. Pertama adalah segera menyusun dan mengesahkan peraturan yang berkaitan dengan PRT, tahap kedua adalah merubah undang-undang tentang TKI dan terakhir adalah membangun bilateral agreement yang kuat dengan pemerintah Malaysia.


Pertama, mengenai penyusunan dan pengesahan peraturan yang berkaitan dengan PRT. Saat ini para pembuat kebijakan sedang didorong untuk segera melahirkan produk hukum baik di tingkat daerah maupun nasional yang melindungi para pekerja domestik ini. Beberapa daerah telah mengesahkan Peraturan Daerah (perda) dan Surat Keputusan (SK) yang mengatur tentang PRT. Di Yogya, misalnya, telah ada SK Gubernur yang berkaitan dengan masalah ini. Di tingkat Nasional, upaya untuk melahirkan undang-undang tentang PRT masih berjalan. Meski masih terjadi tarik menarik kepentingan dalam pembuatan peraturan ini, jangan sampai menghentikan proses pembuatannya.


Kedua, pembuatan peraturan tentang PRT ini menjadi begitu penting karena akan menjadi landasan bagi penyempurnaan undang-undang buruh migran yang sudah ada. Alasan mengapa peraturan PRT menjadi landasan bagi peraturan buruh migran karena berdasarkan data Depnakertrans di tahun 2004 jumlah TKI yang bekerja di sektor informal ada dua kali lipat daripada TKI yang bekerja di sektor formal. Dan lebih dari 90 persen pekerja sektor informal adalah perempuan (TKW). Apabila perempuan yang bekerja di sektor informal bekerja di sektor domestik maka bisa dilihat bahwa ada sekitar 249 ribu PRT dari Indonesia yang bekerja di luar negeri. Suatu jumlah yang sangat luarbiasa banyaknya. Ukuran kuantitas ini sebenarnya sudah menjadi alasan yang sangat kuat bagi pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap UU no 39 tahun 2004 ini agar lebih melindungi tenaga kerja kita yang ada di luar negeri. Dengan demikian pasal-pasal perlindungan terhadap TKI lebih dominan daripada sekedar pasal-pasal cara penempatannya.


Ketiga, kedua grand design ini hendaknya diiringi dengan bilateral aggreement yang melindungi hak-hak kedua belah pihak baik majikan maupun PRT yang seimbang tanpa eksploitasi terhadap salah satu pihak. Malaysia misalnya, meski telah melakukan bilateral agreement dengan pemerintah Indonesia, masih banyak pasal-pasal didalamnya yang merugikan para pekerja kita. Dalam bilateral agreement tentang PRT tahun 1997 dan non PRT tahun 1998 diatur mengenai kewajiban paspor TKI disimpan oleh majikan. Artinya mobilitas TKI menjadi terbatas dan penyanderaan terhadap TKI itu sendiri. Pasal-pasal inilah yang seharusnya dihilangkan dalam bilateral agreement.


Sebagai tambahan rekomendasi dalam pembenahan terhadap peraturan PRT yang menjadi buruh migran adalah ratifikasi terhadap konvensi Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran beserta Anggota Keluarganya. Tindakan untuk pembuatan, penyempurnaan dan pengesahan segala produk hukum diatas menjadi lebih efektif dan efisien dalam rangka perlindungan terhadap nasib TKI yang menjadi pekerja domestik dibandingkan dengan upaya mendesak pemerintah negara lain, dalam hal ini Malaysia, untuk membuat aturan pekerja informal. Karena bagaimanapun alasannya, pembenahan perundangan di dalam negeri lebih mudah dibandingkan mendikte negara lain untuk membuat peraturan yang belum tentu menguntungkan bagi warganegaranya.

***

Namaku Ceriyati, Bukan Tarzan

Buyung Ridwan Tanjung, S.H., LL.M



Kisah yang dialami Ceriyati, perempuan asal Kedung Bokor, Larangan, Brebes ini sungguhlah memilukan hati. Dengan menguntai jalinan selimut dan kain, dia bergantungan dari lantai limabelas sebuah apartemen. Masalahnya dia bukan Tarzan tapi Ceriyati seorang TKW yang berusaha melarikan diri dari kekejaman majikannya di Malaysia.



Penderitaan yang dialami oleh Ceriyati sebenarnya hanyalah repetisi nasib tragis buruh migran dari Indonesia. Kisah yang hampir setiap tahun selalu dengan mudah ditemui dalam media massa di Indonesia. Anehnya, kisah itu tidak pernah berakhir dengan upaya pemerintah yang benar-benar melindungi. Bukan ending yang indah tentunya. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang merupakan lembaga yang bertanggungjawab bahkan seakan berposisi sebagai pembaca berita saja. Padahal data yang mereka keluarkan sendiri telah menyebutkan tidak kurang dari empat ratus ribu orang Indonesia bekerja diluar negeri selama tahun 2005. jumlah yang disebutkan itu yang tercatat oleh Depnakertrans dan tentu saja bisa meningkat hingga 10 kali lipat pekerja yang tidak tercatat di departemen tersebut.


Ada dua permasalahan dalam tulisan ini, pertama mengenai sejarah dan komposisi antara pasal demi pasal dalam Undang Undang Nomer 39 Tahun 2004; kedua, mengenai masalah perlindungan yang dijamin negara terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri terutama mereka yang berhadapan dengan hukum.


Pertama, konon sejak 18 Oktober 2004 telah terjadi sejarah dalam perundang-undangan karena UU no. 39 tahun 2004 ini merupakan undang-undang yang pertama kali mengatur tentang buruh migran di Indonesia. Buruh migran atau TKI selama ini cukup diatur dengan keputusan menteri saja. Artinya, itu merupakan masalah yang tidak perlu diprioritaskan dalam pemikiran para pembuat kebijakan di Legislatif dan Eksekutif. Keputusan menteri sudah cukup luar biasa untuk menangani permasalahan tersebut. Sebuah undang-undang yang diharapkan bisa menutup luka penderitaan TKI karena, masih di tahun yang sama, telah diketemukan 91 Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang dijadikan pekerja seks komersial di Kuching, 270 TKW mendiami kedutaan besar Indonesia karena melarikan diri dari majikannya, dan ditutup dengan kisah Nirmala Bonet yang menghenyakan segenap akal kemanusiaan. Itu baru yang terjadi di Malaysia saja, bisa dibayangkan jumlah mereka yang bekerja di lain tempat. Dari Nirmala Bonet hingga Ceriyati sudah terpaparkan nama-nama lain korban kekerasan yang dilakukan oleh majikan, aparat, hingga penipuan yang dilakukan oleh sesama bangsanya sendiri. Kenyataan itu membukakan mata meski telah diatur dengan undang-undang ternyata masih saja jatuh korban.


Sebuah undang-undang yang begitu panjang namanya, Undang Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UUPPTKILN), ternyata tidak ‘sepanjang’ perlindungannya. Karena yang pertama kali disebut adalah kata ‘penempatan’ maka urusan ‘penempatan’ itulah yang lebih banyak diatur, bukan ‘perlindungan’-nya Masalah penempatan memang masalah prioritas bagi Depnakertrans, terlebih setelah Jacob Nuwawea , Menakertrans saat itu, menyatakan lebih dari 50% masalah TKI terjadi di dalam negeri. Realitas yang terjadi adalah masalah penempatan merupakan masalah yang dapat menjadi tarik menarik kepentingan terutama masalah penerimaan uang. Berapa besar biaya pendirian perusahaan penyalur TKI yang harus disetor kepada Negara, biaya asuransi, biaya denda yang harus ditanggung oleh perusahaan penyalur yang pada akhirnya semua biaya tersebut dibebankan kepada buruh migran itu sendiri. Semuanya teratur secara rinci dalam peraturan tersebut namun tidak halnya terjadi untuk masalah perlindungan terhadap TKI. Hanya ada 8 pasal perlindungan terhadap TKI dari 108 pasal yang tercantum dalam undang-undang tersebut.


Masalah kedua adalah pasal yang terkait dengan masalah perlindungan TKI yang mengalami kekerasan. Hal itu dijamin dalam pasal 80 tentang bantuan hukum dan pembelaan atas pemenuhan hak. Dalam pasal ini (seharusnya) pemerintah menjamin adanya pemberian bantuan hukum. Artinya ketika TKI mengalami masalah dan berlaku sebagai korban, pemerintah atas nama Negara dan TKI dapat melakukan upaya-upaya hukum di negara dimana TKI itu berada termasuk beaya yang harus dikeluarkan. Realitasnya, hampir semua kasus yang menimpa TKI bukan dilakukan upaya pendampingan dan pembelaan hukum melainkan mereka dipulangkan. Kasus Nirmala Bonet dan Ceriyati telah cukup mewakili banyaknya kasus tersebut. Secepat mungkin para TKI dipulangkan ke daerah mereka masing-masing, sedangkan upaya hukum baik pelaporan maupun gugatan tidak pernah dilakukan oleh negara. Pada akhirnya kasus-kasus tersebut menguap begitu saja. Tentu saja hal ini akan sangat menguntungkan bagi para majikan untuk berbuat serupa tanpa merasa takut akan tuntutan balik dari para TKI kita.


Serupa halnya dengan perlindungan masalah hak-hak TKI. Pada dasarnya kasus yang dialami oleh TKI bukan saja masalah penganiyaan maupun kekerasan lainnya tetapi juga beserta masalah pemenuhan upah yang seharusnya mereka dapat. Ceriyati telah 9 bulan tanpa upah dan hingga kepulangan dia, tidak juga dipenuhi. Masalah upah dan hak-hak lainnya akhirnya terabaikan dengan alasan yang penting pulang dengan selamat.


Akhirnya, pemerintah sebagai pelaksana amanat undang-undang sudah seharusnya menjamin pasal 80 tersebut. Pasal yang masih minimalis tersebut merupakan dasar perlindungan terhadap TKI kita. Bagaimana mungkin melakukan upaya yang lebih besar lagi apabila masalah yang masih minim saja tidak dapat dilakukan? Pijakan pasal tersebut sudah cukup untuk melakukan upaya hukum, tuntutan, gugatan dan pemenuhan hak-hak demi perlindungan terhadap TKI, dan itu adalah jangka pendek. Prioritas jangka panjang bagi pemerintah tentu saja mengkaji ulang undang-undang tersebut yang lebih memanusiakan TKI. Perlindungan terhadap TKI yang minim menjadi alasan bagi perubahan. Sehingga tidak akan ada lagi warga negara Indonesia bergelantungan bagai Tarzan karena akan melarikan diri dari majikannya.

***