Senin, 16 Februari 2009

Menunggu Malaysia Membuat Aturan Pekerja Informal

Buyung Ridwan Tanjung, S.H., LL.M



Paska kasus Ceriyati, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Brebes, Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar mendesak Pemerintah Malaysia segera menyelesaikan undang-undang pekerja Informal (Suara Merdeka, 5/7/ 2007) adalah sangat mengejutkan. Mengingat, Indonesia sendiri hingga saat ini tidak mempunyai undang-undang tersebut meski para penggiat hak asasi manusia (HAM) sudah memperjuangkan sekitar sepuluh tahun yang lalu.


Melahirkan sebuah undang-undang bukanlah pekerjaan mudah terlebih apabila belum diketemukan definisi yang tepat mengenai sesuatu yang akan diatur tersebut. Pekerja Rumah Tangga (PRT) sendiri hingga saat ini masih mengalami perdebatan dalam pendefinisian. Apakah mereka masuk bagian dari pekerja sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan atau bukan. Lepas dari perdebatan tersebut, patut diapresiasi bahwa PRT merupakan pekerja. Mengingat unsur-unsur adanya pemberi, penerima kerja, adanya pekerjaan dan menerima upah tentunya.


Sayangnya, anggapan PRT sebagai pekerjaan yang mudah dilakukan dan bisa dilakukan meski tanpa ketrampilan, pendidikan, pengalaman begitu menguat di kalangan masyarakat kita. Akibatnya upah yang dibayarkan juga kecil. Pemerintah kita selama inipun mengalami kebingungan dalam mendefinisikan PRT ini. Apakah mereka termasuk pekerja sehingga secara otomatis masuk dalam undang-undang ketenagakerjaan atau bukan. Akan tetapi pihak yang tidak sepakat bahwa PRT sebagai bagian integral dari definisi pekerja sesuai undang-undang merupakan pihak mayoritas. Hal inilah yang kemudian mendorong para penggiat HAM untuk mengusulkan pembuatan peraturan tentang PRT mengingat resiko pekerjaan yang dihadapi relatif sama besar dengan profesi lainnya. Hingga saat ini, undang-undang PRT masih sebatas usulan pembuatan dan penyusunan draft akademik meski telah diusulkan sekitar sepuluh tahun yang lalu. Ketidakjelasan posisi PRT dalam pendefinisian secara materiil tidak hanya menimpa PRT di dalam negeri akan tetapi juga kepada mereka yang bekerja di luar negeri.


Terlebih dengan lahirnya Undang-undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UUPPTKILN) juga tidak memberi kemajuan dalam pendefinisian siapakah yang termasuk pekerja informal. Namun bukan itu masalah utama dalam UUPPTKILN tersebut, masalah utama adalah bagaimana perlindungan negara terhadap warga negaranya yang hidup dan bekerja di luar negeri. Akan tetapi itupun juga tidak terpenuhi. Hanya ada 8 pasal perlindungan terhadap TKI dari 108 pasal yang ada. Undang-undang tersebut lebih banyak mengatur tentang penempatan TKI.


Permasalahan tersebut memberikan gambaran kepada kita betapa urusan ketenagakerjaan di Indonesia yang berkaitan dengan pekerja domestik dan buruh migran masihlah belum selesai. Negara belum mampu memberikan perlindungan terhadap buruh migran yang bekerja di sektor domestik (PRT).


Ada 3 hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah kita sebelum’menyadarkan’ pemerintah Malaysia. Pertama adalah segera menyusun dan mengesahkan peraturan yang berkaitan dengan PRT, tahap kedua adalah merubah undang-undang tentang TKI dan terakhir adalah membangun bilateral agreement yang kuat dengan pemerintah Malaysia.


Pertama, mengenai penyusunan dan pengesahan peraturan yang berkaitan dengan PRT. Saat ini para pembuat kebijakan sedang didorong untuk segera melahirkan produk hukum baik di tingkat daerah maupun nasional yang melindungi para pekerja domestik ini. Beberapa daerah telah mengesahkan Peraturan Daerah (perda) dan Surat Keputusan (SK) yang mengatur tentang PRT. Di Yogya, misalnya, telah ada SK Gubernur yang berkaitan dengan masalah ini. Di tingkat Nasional, upaya untuk melahirkan undang-undang tentang PRT masih berjalan. Meski masih terjadi tarik menarik kepentingan dalam pembuatan peraturan ini, jangan sampai menghentikan proses pembuatannya.


Kedua, pembuatan peraturan tentang PRT ini menjadi begitu penting karena akan menjadi landasan bagi penyempurnaan undang-undang buruh migran yang sudah ada. Alasan mengapa peraturan PRT menjadi landasan bagi peraturan buruh migran karena berdasarkan data Depnakertrans di tahun 2004 jumlah TKI yang bekerja di sektor informal ada dua kali lipat daripada TKI yang bekerja di sektor formal. Dan lebih dari 90 persen pekerja sektor informal adalah perempuan (TKW). Apabila perempuan yang bekerja di sektor informal bekerja di sektor domestik maka bisa dilihat bahwa ada sekitar 249 ribu PRT dari Indonesia yang bekerja di luar negeri. Suatu jumlah yang sangat luarbiasa banyaknya. Ukuran kuantitas ini sebenarnya sudah menjadi alasan yang sangat kuat bagi pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap UU no 39 tahun 2004 ini agar lebih melindungi tenaga kerja kita yang ada di luar negeri. Dengan demikian pasal-pasal perlindungan terhadap TKI lebih dominan daripada sekedar pasal-pasal cara penempatannya.


Ketiga, kedua grand design ini hendaknya diiringi dengan bilateral aggreement yang melindungi hak-hak kedua belah pihak baik majikan maupun PRT yang seimbang tanpa eksploitasi terhadap salah satu pihak. Malaysia misalnya, meski telah melakukan bilateral agreement dengan pemerintah Indonesia, masih banyak pasal-pasal didalamnya yang merugikan para pekerja kita. Dalam bilateral agreement tentang PRT tahun 1997 dan non PRT tahun 1998 diatur mengenai kewajiban paspor TKI disimpan oleh majikan. Artinya mobilitas TKI menjadi terbatas dan penyanderaan terhadap TKI itu sendiri. Pasal-pasal inilah yang seharusnya dihilangkan dalam bilateral agreement.


Sebagai tambahan rekomendasi dalam pembenahan terhadap peraturan PRT yang menjadi buruh migran adalah ratifikasi terhadap konvensi Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran beserta Anggota Keluarganya. Tindakan untuk pembuatan, penyempurnaan dan pengesahan segala produk hukum diatas menjadi lebih efektif dan efisien dalam rangka perlindungan terhadap nasib TKI yang menjadi pekerja domestik dibandingkan dengan upaya mendesak pemerintah negara lain, dalam hal ini Malaysia, untuk membuat aturan pekerja informal. Karena bagaimanapun alasannya, pembenahan perundangan di dalam negeri lebih mudah dibandingkan mendikte negara lain untuk membuat peraturan yang belum tentu menguntungkan bagi warganegaranya.

***

Tidak ada komentar: