Senin, 16 Februari 2009

Namaku Ceriyati, Bukan Tarzan

Buyung Ridwan Tanjung, S.H., LL.M



Kisah yang dialami Ceriyati, perempuan asal Kedung Bokor, Larangan, Brebes ini sungguhlah memilukan hati. Dengan menguntai jalinan selimut dan kain, dia bergantungan dari lantai limabelas sebuah apartemen. Masalahnya dia bukan Tarzan tapi Ceriyati seorang TKW yang berusaha melarikan diri dari kekejaman majikannya di Malaysia.



Penderitaan yang dialami oleh Ceriyati sebenarnya hanyalah repetisi nasib tragis buruh migran dari Indonesia. Kisah yang hampir setiap tahun selalu dengan mudah ditemui dalam media massa di Indonesia. Anehnya, kisah itu tidak pernah berakhir dengan upaya pemerintah yang benar-benar melindungi. Bukan ending yang indah tentunya. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang merupakan lembaga yang bertanggungjawab bahkan seakan berposisi sebagai pembaca berita saja. Padahal data yang mereka keluarkan sendiri telah menyebutkan tidak kurang dari empat ratus ribu orang Indonesia bekerja diluar negeri selama tahun 2005. jumlah yang disebutkan itu yang tercatat oleh Depnakertrans dan tentu saja bisa meningkat hingga 10 kali lipat pekerja yang tidak tercatat di departemen tersebut.


Ada dua permasalahan dalam tulisan ini, pertama mengenai sejarah dan komposisi antara pasal demi pasal dalam Undang Undang Nomer 39 Tahun 2004; kedua, mengenai masalah perlindungan yang dijamin negara terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri terutama mereka yang berhadapan dengan hukum.


Pertama, konon sejak 18 Oktober 2004 telah terjadi sejarah dalam perundang-undangan karena UU no. 39 tahun 2004 ini merupakan undang-undang yang pertama kali mengatur tentang buruh migran di Indonesia. Buruh migran atau TKI selama ini cukup diatur dengan keputusan menteri saja. Artinya, itu merupakan masalah yang tidak perlu diprioritaskan dalam pemikiran para pembuat kebijakan di Legislatif dan Eksekutif. Keputusan menteri sudah cukup luar biasa untuk menangani permasalahan tersebut. Sebuah undang-undang yang diharapkan bisa menutup luka penderitaan TKI karena, masih di tahun yang sama, telah diketemukan 91 Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang dijadikan pekerja seks komersial di Kuching, 270 TKW mendiami kedutaan besar Indonesia karena melarikan diri dari majikannya, dan ditutup dengan kisah Nirmala Bonet yang menghenyakan segenap akal kemanusiaan. Itu baru yang terjadi di Malaysia saja, bisa dibayangkan jumlah mereka yang bekerja di lain tempat. Dari Nirmala Bonet hingga Ceriyati sudah terpaparkan nama-nama lain korban kekerasan yang dilakukan oleh majikan, aparat, hingga penipuan yang dilakukan oleh sesama bangsanya sendiri. Kenyataan itu membukakan mata meski telah diatur dengan undang-undang ternyata masih saja jatuh korban.


Sebuah undang-undang yang begitu panjang namanya, Undang Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UUPPTKILN), ternyata tidak ‘sepanjang’ perlindungannya. Karena yang pertama kali disebut adalah kata ‘penempatan’ maka urusan ‘penempatan’ itulah yang lebih banyak diatur, bukan ‘perlindungan’-nya Masalah penempatan memang masalah prioritas bagi Depnakertrans, terlebih setelah Jacob Nuwawea , Menakertrans saat itu, menyatakan lebih dari 50% masalah TKI terjadi di dalam negeri. Realitas yang terjadi adalah masalah penempatan merupakan masalah yang dapat menjadi tarik menarik kepentingan terutama masalah penerimaan uang. Berapa besar biaya pendirian perusahaan penyalur TKI yang harus disetor kepada Negara, biaya asuransi, biaya denda yang harus ditanggung oleh perusahaan penyalur yang pada akhirnya semua biaya tersebut dibebankan kepada buruh migran itu sendiri. Semuanya teratur secara rinci dalam peraturan tersebut namun tidak halnya terjadi untuk masalah perlindungan terhadap TKI. Hanya ada 8 pasal perlindungan terhadap TKI dari 108 pasal yang tercantum dalam undang-undang tersebut.


Masalah kedua adalah pasal yang terkait dengan masalah perlindungan TKI yang mengalami kekerasan. Hal itu dijamin dalam pasal 80 tentang bantuan hukum dan pembelaan atas pemenuhan hak. Dalam pasal ini (seharusnya) pemerintah menjamin adanya pemberian bantuan hukum. Artinya ketika TKI mengalami masalah dan berlaku sebagai korban, pemerintah atas nama Negara dan TKI dapat melakukan upaya-upaya hukum di negara dimana TKI itu berada termasuk beaya yang harus dikeluarkan. Realitasnya, hampir semua kasus yang menimpa TKI bukan dilakukan upaya pendampingan dan pembelaan hukum melainkan mereka dipulangkan. Kasus Nirmala Bonet dan Ceriyati telah cukup mewakili banyaknya kasus tersebut. Secepat mungkin para TKI dipulangkan ke daerah mereka masing-masing, sedangkan upaya hukum baik pelaporan maupun gugatan tidak pernah dilakukan oleh negara. Pada akhirnya kasus-kasus tersebut menguap begitu saja. Tentu saja hal ini akan sangat menguntungkan bagi para majikan untuk berbuat serupa tanpa merasa takut akan tuntutan balik dari para TKI kita.


Serupa halnya dengan perlindungan masalah hak-hak TKI. Pada dasarnya kasus yang dialami oleh TKI bukan saja masalah penganiyaan maupun kekerasan lainnya tetapi juga beserta masalah pemenuhan upah yang seharusnya mereka dapat. Ceriyati telah 9 bulan tanpa upah dan hingga kepulangan dia, tidak juga dipenuhi. Masalah upah dan hak-hak lainnya akhirnya terabaikan dengan alasan yang penting pulang dengan selamat.


Akhirnya, pemerintah sebagai pelaksana amanat undang-undang sudah seharusnya menjamin pasal 80 tersebut. Pasal yang masih minimalis tersebut merupakan dasar perlindungan terhadap TKI kita. Bagaimana mungkin melakukan upaya yang lebih besar lagi apabila masalah yang masih minim saja tidak dapat dilakukan? Pijakan pasal tersebut sudah cukup untuk melakukan upaya hukum, tuntutan, gugatan dan pemenuhan hak-hak demi perlindungan terhadap TKI, dan itu adalah jangka pendek. Prioritas jangka panjang bagi pemerintah tentu saja mengkaji ulang undang-undang tersebut yang lebih memanusiakan TKI. Perlindungan terhadap TKI yang minim menjadi alasan bagi perubahan. Sehingga tidak akan ada lagi warga negara Indonesia bergelantungan bagai Tarzan karena akan melarikan diri dari majikannya.

***

Tidak ada komentar: