Senin, 14 Desember 2009

Festival dan teater PRT digelar di TBY

Senin, 14 Desember 2009 17:38:24



JOGJA: Festival dan pentas teater pekerja rumah tangga pertama kali digelar di Taman Budaya Yogayakarta,akhir pekan lalu.

Acara ini diselenggarakan sebagai ruang apresiasi para pekerja rumah tangga dan untuk sosialisasi kepada masyarakat bahwa pekerja rumah tangga juga memiliki hak yang sama sebagai manusia.

"Hingga kini kan mereka (PRT) masih disebut pembantu, dengan demikian mereka membantu apapun yang diminta majikan yang kadang tidak menghargai hak asasi mereka. Untuk itu kami ingin meluruskan lagi bahwa PRT itu adalah pekerja yang memiliki hak sama seperti yang lain,” jelas Nono Karsono, selaku ketua penyelenggara.

Acara ini merupakan kerja sama dari LSM Cut Nyak Dien, Kongres Operata Yogyakarta dan Gabungan teater Jogja. Dalam acara kali ini terdapat 10 kelompok PRT yang akan unjuk gigi bermain peran.

Puncak acara akan dilaksanakan malam nanti dengan pentas teater PRT dan gabungan teater Jogja serta penyerahan KOY Award kepada individu dan institusi yang punya dedikasi terhadap perlindungan PRT diantaranya DPRD, Walikota Jogja, Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Lita Anggraeni dari Jala PRT dan Rieke Dyah Pitaloka.(Harian Jogja/Intaningrum)

Sabtu, 12 Desember 2009

Festival PRT Upaya Perwujudan Perwal Ketenagakerjaan

Sabtu, 12 Desember 2009 21:27:00


YOGYA (KRjogja.com) - Untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia dan Hak Pekerja Rumah Tangga maka LSM Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND), Kongres Organisasi PRT Yogyakarta (KOY), dan Gabungan Teater Yogyakarta (GTY) mengadakan acara festival teater PRT dan pentas teater bertemakan PRT di Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu (12/12). Festival ini untuk mendesak pemerintah segera mengeluarkan Perwal Penyelenggarakan Ketenagakerjaan dan mengkampanyekan Hak PRT.

Menurut Ketua Panitia yang sekaligus Koordinator Pendidikan dan Pengembangan RTND, Nono Karsono, saat ditemui di Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu (12/11), Yogyakarta sudah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan Pasal 37, namun masih perlu penguatan dan pengesahan serta Perwal dari Pemprop DIY. Saat ini yang terjadi hak-hak para pekerja rumah tangga (PRT) masih dianggap bukan hak asasi manusia, sehingga dikelas-duakan. PRT secara tradisional menurutnya tidak diakui sebagai pekerja dengan hak yang sama dengan pekerja di sektor formal lainnya, dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai.

"Acara ini bertujuan sebagai wadah, ajang kreatifitas, penyaluran seni PRT dan sejauh mana PRT itu mengerti akan Hak dan Kewajibannya sebagai PRT dengan tujuan utama mendorong segera tersusunnya UU Penyelenggaraan tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan," ujar Nono.

Festifal ini yang baru pertama kali diadakan ini memang diprioritaskan untuk PRT serta mengkampanyekan Hak PRT yang merupakan bagian dari HAM yang difasilitasi RTND dan KOY. Kegiatan ini sekaligus untuk memberikan penghargaan khusus KOY Award kepada Walikota Yogyakarta, DPRD Kota Yogyakarta, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Lita Anggarini sebagai Ketua PRT Nasional yang punya dedikasi terhadap perjuangan Perda hingga Perwal mengenai Penyelenggaraan Ketenagakerjaan.

Ada 11 kelompok PRT dengan 35 pemain di dalam pementasan ini. Kebanyakan pemain adalah para pelajar dari SMKI Yogyakarta, dan empat orang PRT dari kelompok pemenang festival. "Tema yang diambil bebas asal masih seputar peristiwa dan permasalah PRT, kami hanya memfasilitasi saja sedangkan masalah skenario hingga waktu pementasan sepernuhnya dikerjakan masing-masing peserta," ujar Nono.

Sementara salah seoarang Peserta dari Opera Kasorangan, Bantul, Ramin kepada KRjogja.com merngatakan dia beserta anggota kelompoknya yang berjumlah empat orang mementaskan pertunjukan yang hanya berlatih selama tiga hari yang berjudul Mencari Kerja dengan spontanitas karena ini juga baru pertamakalinya Opera Kasorangan tampil di depan publik.

"Semua kami kerjakan secara otodidak tanpa latihan yang maksimal hanya sekedarnya saja dari skenario hingga peralatan minim cerita, namun pada dasarnya kami ingin berperan serta dan mendukung keberadaan PRT yang sekarang sudah mulai mempunyai jaminan keselamatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan," ujar Ramin. (Fir)

Tuntut Kesamaan Hak, PRT Main Teater

Sabtu, 12 Desember 2009 13:23:00


YOGYA (KRjogja.com) - Para Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang tergabung Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND) mengadakan pementasan teater di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Sabtu (12/12). Pementasan ini juga sekaligus untuk mendesak pemerintah segera mengeluarkan Perwal Penyelenggarakan Ketenagakerjaan dan mengkampanyekan hak para PRT.

Menurut Ketua Panitia yang sekaligus Koordinator Pendidikan dan Pengembangan RTND, Nono Karsono, hak-hak para PRT masih dianggap bukan hak asasi manusia, sehingga dikelasduakan. PRT tidak diakui sebagai pekerja dengan hak yang sama dengan pekerja di sektor formal lainnya dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai.

"Acara ini bertujuan sebagai wadah, ajang kreatifitas, penyaluran seni PRT dan sejauh mana PRT itu mengerti akan hak dan kewajibannya sebagai PRT dengan tujuan utama mendorong segera tersusunnya UU tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan," ujar Nono.

Kedepannya dengan diadakannya pementasan seperti ini diharapkan dapat menjadi wadah ajang kreatifitas seni para PRT sekaligus mengkampanyekan hak para PRT agar benar-benar dihargai keberadaannya secara adil dan dilindungi hukum. (Fir)

Tuntut Perwal Ketenagakerjaan, PRT Main Teater

Sabtu, 12 Desember 2009, 16:18 WIB

Joko Widiyarso - GudegNet


Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia dan Hak Pekerja Rumah Tangga, LSM Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND), Kongres Organisasi PRT Yogyakarta (KOY), dan Gabungan Teater Yogyakarta (GTY) menggelar Festival Teater PRT dan pentas teater di Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu (12/12).

Festival ini diselenggarakan tak lain dan tak bukan adalah untuk mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan Perwal tentang Penyelenggarakan Ketenagakerjaan dan mengkampanyekan Hak Pembantu Rumah Tangga (PRT).

Menurut Ketua Panitia yang juga Koordinator Pendidikan dan Pengembangan RTND, Nono Karsono menyatakan, Yogyakarta sudah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan Pasal 37, tapi masih perlu penguatan dan pengesahan serta Perwal dari Pemprop DIY.

"Hak-hak para pekerja rumah tangga (PRT) masih dianggap bukan hak asasi manusia, sehingga dikelas-duakan. PRT secara tradisional menurutnya tidak diakui sebagai pekerja dengan hak yang sama dengan pekerja di sektor formal lainnya, dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai," ujarnya.

Untuk itu, acara ini diharapkan mampu menjadi wadah ajang kreatifitas, penyaluran seni PRT serta sejauh mana PRT itu mengerti akan Hak dan Kewajibannya sebagai PRT. Selain itu, tentunya untuk mendorong segera tersusunnya UU Penyelenggaraan tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan.

Sebanyak 11 kelompok PRT dengan 35 pemain terlibat dalam pementasan ini. Sebagian besar pemain adalah para pelajar dari SMKI Yogyakarta, dan empat orang PRT dari kelompok pemenang festival akan bermain dengan cara improvisasi.

"Tema yang diambil bebas asal masih seputar peristiwa dan permasalah PRT, kami hanya memfasilitasi saja sedangkan masalah skenario hingga waktu pementasan sepernuhnya dikerjakan masing-masing peserta," ujar Nono.

Sementara itu salah seorang Peserta dari Opera Kasorangan, Bantul, Ramin mengatakan bahwa kelompoknya yang berjumlah empat orang mementaskan pertunjukan, setelah sebelumnya berlatih selama tiga hari.

"Kami akan memainkan cerita 'Mencari Kerja' dengan spontanitas karena ini juga baru pertama kalinya Opera Kasorangan tampil di depan publik," katanya.

Jumat, 11 Desember 2009

Pers Release

Hak Pekerja Rumah Tangga adalah Hak Asasi Manusia
(Hak PRT = HAM)


Pekerjaan di lingkungan domestik atau pekerjaan rumah tangga merupakan satu-satunya sumber pendapatan terbesar bagi perempuan di Asia lebih khususnya di Indonesia, terutama bagi perempuan yang berasal dari pedesaan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan Sakernas BPS 2008 dan estimasi ILO Tahun 2009, PRT merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar secara global: lebih dari 100 juta PRT di dunia, lebih dari 3 juta PRT domestik di Indonesia dan lebih dari 6 juta PRT migran dari Indonesia. Yogyakarta sendiri saat ini ada kurang lebih 36.961 PRT.

Namun demikian, pekerja rumah tangga secara tradisional tidak diakui sebagai pekerja dengan hak yang sama dengan pekerja lainnya dan mendapatkan perlindungan yang memadai. Kenyataannya, mereka tidak termasuk dalam cakupan undang-undang perburuhan dan skema jaminan sosial di Indonesia. Diskriminasi terhadap pekerja rumah tangga ini merupakan hal yang perlu diperhatikan karena para pekerja ini sangat rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi misalnya praktik-praktik kerja paksa, lilitan hutang dan perdagangan manusia secara ilegal yang dilakukan oleh para majikan dan agen-agen penyalur. Hal ini dikarenakan tempat kerja mereka yang berada di dalam rumah tangga — terpisah dari para pekerja lainnya dan tersembunyi dari perhatian masyarakat luas. Sebagian besar pekerja rumah tangga hanya memiliki sedikit pengetahuan akan hak mereka dan memiliki sedikit kekuatan tawar menawar. Mereka menghadapi hambatan yang besar dalam mengorganisir dan memobilisasi hak mereka. Sebagai akibatnya para pekerja rumah tangga seringkali mengalami kondisi kerja paksa dan praktik-praktik perdagangan manusia, dipaksa bekerja dalam jangka waktu yang panjang dengan kondisi tempat kerja yang buruk, dan dengan upah yang rendah atau tidak dibayar sama sekali.

Tanggungjawab pemerintah dalam memberikan perlindungan dasar dan pemenuhan hak azazi manusia bagi para pekerja yang memadai sebagaimana hak para pekerja lainnya. Universal Declaration on Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal HAM yang kita peringati saat ini, 10 Desember, pada pasal 23 menyatakan secara tegas bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan dan pengupahan yang adil, berhak atas istirahat, pembatasan jam kerja yang layak dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

Oleh karena itu, dalam rangka mencapai pemenuhan hak-hak PRT maka kami, Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY), Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) dan Gabungan Teater Yogyakarta (GTY) menyatakan tuntutan sebagai berikut:

1. kepada masyarakat: penuhi segera hak-hak PRT (pekerjaan, upah, jam kerja dan istirahat, fasilitas kerja) yang layak.
2. kepada pemerintah: lindungi profesi PRT sebagaimana profesi pekerja lainnya dengan:
• Segera disusunnya/disahkannya peraturan daerah maupun peraturan walikota/bupati yang melindungi PRT lebih khususnya di pemerintahan kota, kabupaten, dan tingkat propinsi di D.I Yogyakarta.
• Segera disahkannya Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga di Tingkat Nasional yang saat ini telah masuk Program Legislasi Nasional 2010.
• Segera diusulkannnya Konvensi dan Rekomendasi ILO tentang Pekerjaan Layak bagi Pekerja Rumah Tangga pada International Labour Conference bulan Juni 2010.

Demikian tuntutan kami sebarluaskan kepada masyarakat luas dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia yang jatuh pada hari ini, 10 Desember 2009. Karena HAK PEKERJA RUMAH TANGGA ADALAH HAK ASASI MANUSIA.

Hormat kami,

• Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND)
• Gabungan Teater Yogyakarta (GTY)
• Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY), dengan anggota OPERATA (organisasi pekerja rumah tangga):
1. OPERATA SORAGAN
2. OPERATA WARUNGBOTO 1
3. OPERATA WARUNGBOTO 2
4. OPERATA KALANGAN
5. OPERATA JOGOYUDAN
6. OPERATA NOGOTIRTO
7. OPERATA BANGUNREJO
8. OPERATA BANYUMENENG
9. OPERATA DEMAKAN
10. OPERATA NGADIMULYO
11. OPERATA TEGALMULYO
12. OPERATA KARANGWARU
13. OPERATA SUMBERAN I
14. OPERATA SUMBERAN II
15. OPERATA MANGUNEGARAN
16. OPERATA DEPOKAN
17. OPERATA NITIPURAN
18. OPERATA SINDET
19. Alumni Sekolah PRT
20. Organisasi Keluarga PRT Tepus

Lampiran:
Rangkaian aktivitas dalam rangka memperingati Hari HAM 2009


Hak Pekerja Rumah Tangga adalah Hak Asasi Manusia
(Hak PRT = HAM)


1. Konferensi Pers Bersama
10 Desember 2009, pukul 15.30 – selesai
di pendopo Taman Siswa, Jl Taman Siswa, Yogyakarta

2. Festival Teater PRT
11 – 12 Desember 2009, pukul 10.00 – selesai
di Taman Budaya Yogyakarta, Jl. Sriwedari 1 Yogyakarta
diikuti oleh 10 kelompok teater Pekerja Rumah Tangga.

3. Pementasan Teater
12 Desember 2009, pukul 19.00 – selesai
di Taman Budaya Yogyakarta, Jl. Sriwedari 1 Yogyakarta
Judul : WASTI (Testimoni Duka Perempuan Kota)
Naskah : Wahyana Giri MC
Sutradara : Wahyana Giri MC (Dewan Teater Yogya)
Ass. Stdr : Bambang KSR (Akademi Seni Drama dan Film Yogya)
Art Director : Agus Fatwa Suyamto (teater KSP)
Musik : Gaung Rakyan (Extravagansa)
Bintang tamu : Yu Beruk, Like Suyanto (Bengkel teater)
Teater pendukung :
Teater SMERO, teater KSP, teater KOPI MOKA, teater CANTRIK, teater ASDRAFI,

4. Kampanye
10 – 30 Desember 2009
pembagian stiker, poster dan berbagai alat kampanye lainnya ttg hak PRT kepada masyarakat Yogya.
Tgl 9 Desember : radio PTDI
Tgl 16 Desember : radio Global FM

Kamis, 10 Desember 2009

Pentas Seni PRT Warnai Hari HAM Internasional

Kamis, 10 Desember 2009 20:23:00

YOGYA (KRjogja.com) - Dalam rangka memperingati Deklarasi Universal HAM yang jatuh setiap 10 Desember, LSM Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND), Kongres Organisasi PRT Yogyakarta (KOY), dan Gabungan Teater Yogyakarta (GTY) akan mengadakan acara festival teater PRT dan pentas teater bertemakan PRT. Untuk festival teater PRT, akan dilangsungkan tanggal 11-12 Desember 2009, pukul 10.00-selesai di Taman Budaya Yogyakarta. Kelompok pemenang dari festival tersebut akan ikut bermain di dalam pentas Teater berjudul Wasti (Testimoni Duka Perempuan Kota) keesokan harinya di tempat yang sama pada pukul 19.00.

Menurut Buyung Ridwan Tanjung, Koordinator Divisi Advokasi RTND, saat ini hak-hak para pekerja rumah tangga (PRT) masih dianggap bukan hak asasi manusia, sehingga dikelas-duakan. PRT secara tradisional menurutnya tidak diakui sebagai pekerja dengan hak yang sama dengan pekerja di sektor formal lainnya, dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai.

"Dengan mengadakan acara ini, kami ingin menegaskan bahwa hak pekerja rumah tangga adalah hak asasi manusia yang harus dihargai semua pihak. Untuk acara festival nanti, pesertanya adalah 11 organisasi pembantu rumah tangga yang ada di kota Jogja," ujarnya kepada wartawan di Pendopo taman Siswa, Kamis (20/12).

Menurut Wahyana Giri, sutradara dan penulis naskah Wasti, akan adasekitar 35 pemain di dalam pementasan Wasti. Kebanyakan pemain adalah para pelajar dari SMKI Yogyakarta, dan empat orang PRT dari kelompok pemenang festival akan bermain dengan cara improvisasi. "Ceritanya sendiri tidak sekedar permasalahan yang dihadapi Wasti, seorang PRT, dengan majikannya di kota, namun lebih ke cerita permasalahan di tempat asalnya. Saya ingin menunjukkan bahwa banyak calo tenaga kerja seperti musang berbulu domba, yang yang menjerumuskan pekerja rumah tangga ke situasi yang penuh problema. Untuk pentas teater akan hadir Yu Beruk dan Liek Suyanto dari Bengkel Teater," jelasnya.

Sementara, Murtini, Sekjen KOY menjelaskan, PRT merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar di dunia, dimana terdapat lebih dari 100 juta PRT di dunia, lebih dari 3 juta PRT domestik di Indonesia, dan lebih dari 6 juta PRT migran dari Indonesia. untuk kota Jogja, ia menjelaskan terdapat sekitar 36.961 PRT. "Dengan adanya festival dan pentas ini, kami mengharap PRT bisa menyalurkan aspirasinya. Masih banyak PRT yang diperlakukan tidak seperti manusia. Acara festival teater semacam ini setahu saya baru pertama kalinya diadakan di Indonesia," jelasnya. (Den)

Selasa, 08 Desember 2009

Festival & Pentas Teater Pekerja Rumah Tangga 2009


Kongres Organisasi Pekerja Rumah Tangga (KOY) bekerja sama dengan Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) dan Gabungan Teater Yogyakarta (GTY) akan menyelenggarakan Festival dan Pentas Teater Pekerja Rumah Tangga 2009 pada hari Sabtu, 12 Desember 2009 bertempat di Taman Budaya Yogyakarta.

Rangkaian acara :
1. Festival Teater PRT, pukul 08.00 - 17.00 WIB
2. Pentas Teater PRT dan Gabungan Teater Yogyakarta, pukul 19.00 - 21.00 WIB (untuk umum - HTM Rp 10.000,-).

Pentas Teater Pekerja Rumah Tangga 2009 ini akan dimeriahkan oleh:
1. Yu Beruk
2. Liek Suyanto (Bengkel Teater)
3. Artis Gabungan Teater Yogya.


Sutradara: Wahyana Giri MC (Dewan Teater Yogyakarta)

Musik:Otto Bima Sidharta (Gaung Rakyan - Extra va Gangza )

Harga Tiket Masuk: Rp. 10.000,-

Tiket bisa didapatkan langsung pada hari H dan di Kantor Rumpun Tjoet Njak Dien
Perum Wirosaban Barat Indah No. 22 Umbul Harjo Yogyakarta
Kontak Person: Mbak Nana (0274 - 6671391)
Untuk Tiket VIP @ Rp. 50.000,- hubungi: Umi Latifah (0274 - 9126105)

Sabtu, 24 Oktober 2009

YUNI: PRT Asal Kebumen Gantung Diri

BANGUNTAPAN – Baru beberapa hari bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT), gadis muda yang belakangan diketahui bernama Yuni (23), kamis (22/10) pukul 16.00 WIB, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri dengan menggunakan kain selendang yang diikatkan pada salah satu kusen di rumah majikannya. Kenekatan korban menggegerkan warga di Perumahan Gedongkuning Gang Jambu No 845 Bangutapan Bantul.

Menerima laporan dari dua saksi kejadian Rudi Budi Siswanto (46) warga Perum Gedongkuning Gang Belimbing, Banguntapan dan Joko Supriyanto (35) warga Perum Gedongkuning gang Jambu Banguntapan, Kapolsek Banguntapan AKP Iqbal Yudi bersama anggota gabungan Samapta Reskrim dan anggota Identifikasi Polres Bantul langsung lakukan penyelidikan dan olah TKP di lokasi kejadian. Selanjutnya, anggota gabungan menurunkan jenazah korban dan mengamankan kain selendang yang digunakan untuk gantung diri untuk dijadikan barang bukti.

Selanjutnya, jenazah Yuni, warga Gombong, Kebumen, Jawa Tengah dievakuasi ke kamar mayat di RSUP Dr. Sardjito untuk diotopsi oleh Tim Forensik rumah sakit setempat. Hal itu dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian PRT yang baru beberapa hari bekerja di rumah Joko Supriyanto.

Korban pertama kali diketahui oleh saksi Rudi Sisweanto yang tak lain adalah teman majikan korban,Joko Supriyanto (39. saat itu saksi kebetulan hendak menemui majikan korban di rumahnya. Namun sampai di rumah majikan korban, keadaan rumah sepui. Untuk itu, RudiBudi Siswanto masuk ke dalam rumah majikan korban. Namun, saat akan mengambil air minum di dapur ia kaget ketika menemukan korban sudah dalam keadaan tergantung di atas kusen pintu di bagian dapur (hri)

Koran Bernas, Sabtu 24-10-09.

Mengetahui berita di koran tersebut, tim advokasi RTND segera melakukan investigasi ke Polsek Bantul. Dari penuturan Wakasubnit Reskrim Polsek Banguntapan Bantul, Yuni telah bekerja di rumah Joko Supriyanto selama tiga minggu. Selama itu pula Yuni tak menunjukkan perilaku aneh. Namun pada Kamis, 22 Oktober 2009, Yuni nekat mengakhiri hidup dengan cara gantung diri dengan menggunakan kain selendang yang diikatkan pada salah satu kusen di rumah majikannya. Setelah melakukan olah TKP dan memeriksa kondisi mayat, polisi sementara menyimpulkan bahwa korban bunuh diri karena tidak ada tanda-tanda penganiayaan di sekujur tubuh korban. Hasil visum terhadap korban belum dapat dilaporkan, namun dokter forensik yang memeriksa korban di TKP menyatakan ciri-ciri mayat korban sesuai dengan identifikasi pada kasus gantung diri, yaitu lebam di kaki dan tangan akibat posisi gantung yang menyebabkan seluruh darah berkumpul di kaki. Juga bekas luka di leher akibat tercekik selendang dan pemecahan pembuluh darah di otak. Menurut pengakuan keluarga, korban menderita gangguan jiwa/stres. Motif PRT bunuh diri dengan gantung diri masih dalam penanganan kasus tim advokasi RTND untuk mengetahui kejelasan penyebab korban nekat mengakhiri hidup dengan begitu tragis.

Rabu, 14 Oktober 2009

SAIMAH: DIDEPORTASI AKIBAT KETELEDORAN PJTKI

Saimah, perempuan yang lahir di Wonosobo, 29 Desember 1975 ini mempunyai tiga orang anak. Anak Saimah berumur 19 bulan, 10 tahun dan 13 tahun. Suami Saimah adalah buruh tani. Saimah pernah bekerja di Singapura selama 1 tahun. Saimah waktu itu berangkat ke Singapura tanggal 9 April 2003 – 31 Agustus 2004. Oleh sponsor (calo yang terdiri dari dua orang, yaitu petugas lapangan dan tetangga Saimah sendiri), Saimah ditawari kerja kembali ke Singapura. Saimah masih bingung karena pada pekerjaan yang dulu di Singapura, Saimah tidak menyelesaikan kontrak selama dua tahun.

Pada waktu itu, masalahnya bukan pada Saimah. Majikan Saimah kehilangan pekerjaan sehingga tidak bisa membayar Saimah. Saimah lalu ditawari oleh majikannya tersebut dua pilihan, yaitu: kembali ke Indonesia atau ke agen di Singapura. Kalau balik ke agen, Saimah masih jadi tanggungan majikannya selama seminggu tapi kalau balik ke Indonesia Saimah harus membayar pesawat sendiri. Saimah memilih pulang ke Indonesia karena suami menyuruhnya pulang.

Pada awal bulan September 2009 Saimah setuju untuk bekerja di Singapura. Saimah datang ke Training Center di Kebumen pada tanggal 3 September. Karena masalah kontrak lama Saimah di Singapura yang belum terselesaikan tersebut, agen Kebumen memastikan ke agen Singapura bahwa paspor Saimah tidak bermaslah. Ternyata paspor Saimah memang tidak bermasalah. Kemudian agen Kebumen berani membuatkan paspor baru untuk Saimah.

Pada tanggal 9 September 2009 Saimah membuat paspor di Solo. Ketika membuat paspor di Solo, petugas imigrasi Solo menyuruh Saimah berbohong dengan mengaku bahwa Saimah belum pernah membuat paspor. Petugas imigrasi Solo beralasan jikalau Saimah berkata sudah pernah membuat paspor, maka Saimah akan di denda 200 ribu rupiah. Oleh petugas imigrasi Solo Saimah juga disuruh berbohong untuk berkata tidak pernah bekerja di Singapura sebelumnya. Saimah tak tahu alasan si petugas imigrasi menyuruhnya berkata demikian, namun Saimah menurut saja.

Tanggal 16 september 2009, anak-anak yang akan menjadi TKW di penampungan diijinkan pulang/diliburkan sampai tanggal 28 Sepetember 2009. Sebelumnya mereka disuruh menandatangi perjanjian keharusan kembali ke penampungan sebelum tanggal 28 September 2009.

Pada hari Kamis tanggal 1 Oktober 2009 Saimah menjalani BLK di Semarang. Pada hari Jumat tanggal 2 Oktober 2009 Saimah test interview di kantor PT Kebumen di penampungan karena ada majikan dari Singapura mau ambil. Interview Saimah dilakukan lewat internet. Ada dua kandidat, yaitu Saimah dan Surati. Hari Sabtu tanggal 3 Oktober 2009 Saimah kembali menjalani test interview. Yang terpilih adalah Saimah karena Surati lebih pendek. Pada tanggal 6 Oktober Saimah calling visa dan memastikan akan berangkat ke Singapura tanggal 9 Oktober 2009. Pada tanggal 8 Oktober 2009 Saimah menjalani KTKLN di Semarang, dimana satu tempat dengan BLK.

Pada tanggal 9 Oktober 2009 Saimah berangkat dari Yogyakarta menuju Singapura tanpa transit. Saimah sampai di Singapura pukul 10.30 pagi. Saimah dijemput agen di Singapura lalu dibawa ke tempat agen tersebut untuk di interview. Semua biaya, yaitu: medical, paspor, calling visa, pemberangkatan dan uang pesangon, nanti dicicil dengan gaji Saimah selama bekerja di Singapura. Saimah tidak mengeluarkan biaya sepeser pun selama sebelum proses pemberangkatan tetapi dengan perjanjian kalau seandainya di Singapura Saimah tidak lulus test 3 kali, harus mau turun ke Malaysia.

Perjanjian Saimah selama bekerja, kontrak 2 tahun. Gaji Saimah 340 dollar Singapura. Selama kontrak tersebut gaji Saimah dipotong selama 8 bulan. Potongan berjumlah 330 dollar Singapura selama 8 bulan sampai bulan Juni dan selebihnya gaji sepenuhnya milik Saimah. Saimah setuju dan menandatangi perjanjian diatas. Perjanjian ditanda-tangani Saimah setelah berada di agen Singapura.

Pada siang, hari Sabtu tanggal 10 Oktober 2009 Saimah diantar ke rumah majikan, tepatnya jam 2 siang. Saimah telah bekerja selama 3 hari di Singapura. Agen di Singapura hendak membuat work permit untuk Saimah. Agen menanyakan paspor lama Saimah dengan menelepon agen di Kebumen. Saimah mengaku bahwa paspor lamanya berada di training center di Kebumen. Agen Singapura mendapati nama di paspor Saimah yang lama berbeda dengan nama di paspor yang baru. Nama di paspor lama adalah Sainah binti Marinti. Nama di paspor baru adalah Saimah.

Agen Singapura kemudian menelepon Saimah di tempat kerja menanyakan perihal perbedaan nama di paspor baru Saimah. Agen Singapura menyangka paspor baru Saimah adalah paspor bohongan. Agen Singapura bertanya siapa yang membuat paspor baru Saimah. Saimah menjawab paspor dibuat oleh PT Kebumen. Saimah mengakui tidak mengecek/mencocokkan nama di paspor lama dengan paspor baru. Jika Saimah mengetahui lebih dahulu namanya tidak sama dengan paspor lama, maka ia akan mengundurkan diri lebih dahulu.

Agen Singapura memarahi agen di Kebumen. Agen di Kebumen berdalih paspor lama Saimah baru disampaikan oleh pihak sponsor Saimah kepada agen di Kebumen setelah paspor baru Saimah telah jadi. Saimah merasa ketika pertama kali masuk di PT Kebumen pada tanggal 3 September 2009, Saimah melihat semua data-datanya seperti akta kelahiran, KTP, ijin suami, dan surat dari lurah juga paspor lamanya telah ada di PT Kebumen. Saimah mengaku agen di Kebumen tidak pernah berkata pada Saimah bahwa nama di paspor baru harus mengikuti/cocok dengan nama di paspor lama. Saimah merasa tidak bersalah.

Agen di Singapura berkata bahwa Saimah sudah tidak boleh lagi kerja di Singapura karena sidik jari Saimah di paspor lama sudah tercatat di kantor imigrasi Singapura. Saimah beruntung tidak diadukan polisi karena akan kena denda dua ratus ribu rupiah. Saimah kembali pulang ke Indonesia dengan biaya dari agen Singapura. Agen Singapura mengakui hal yang menimpa Saimah adalah murni kesalahan PT Kebumen. Saimah yakin ini bukan salahnya karena kesalahan ini di luar dari isi perjanjian yang pernah ditandatangi Saimah sebelumnya.

Sampai saat ini Saimah masih trauma dan tak ingin balik ke Singapura lagi. Saimah ingin bekerja di Jakarta atau di Kalimantan saja satu keluarga. Hanya kalau diijinkan Saimah akan bekerja di Malaysia.

Jumat, 09 Oktober 2009

Pengakuan Majikan Hapsari Dikonfrontir dengan Saksi

Jumat, 09 Oktober 2009 pukul 23:03:00


BEKASI--Kepolisian Resor (Polres) Metro Bekasi Kabupaten, mengkonfrontir tersangka penganiayaan pembantu rumah tangga (PRT), Hapsari, hingga tewas dengan sejumlah saksi.

“Tersangka Sri Tien Suhartini Kaban dikonfrontir sebagai upaya mengetahui kesamaan atau perbedaan fakta yang diperoleh dari keterangan para saksi dan tersangka," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim), AKP Susatyo Purnomo Condro, Jumat (09/10).

Untuk itu, polisi sudah menghadirkan sejumlah saksi seperti Naptali Andreas (suami tersangka), Yuliana (babby sister), Abdul Ghafur dan Ucup Supriatna (petugas kebersihan perumahan). Pemeriksaan secara instensif dilakukan, untuk mendapatkan keterangan tentang kronologis proses penganiayaan.

Sebab, kata Susatyo, dari hasil forensik di sekujur tubuh korban ditemukan luka lama dan luka baru. Sehingga dipastikan telah terjadi kekerasan yang berulang kali terjadi, namun masih dipelajari waktu penganiayaannya.

Walau sudah dikonfrontir dengan keterangan para saksi, tersangka yang menikah dengan suaminya tahun 2005 silam itu tetap tidak mengakui perbuatannya. Bahkan, tersangka menuding Yuliana dan suaminya yang membunuh Hapsari.

Susatyo mengatakan, pihaknya juga terus memantau kondisi kejiwaan tersangka. Hingga saat ini, ujarnya, tersangka memang belum diperiksa ke psikolog, karena masih dilihat berkembangannya hingga beberapa hari ke depan.

Hapsari bekerja di rumah tersangka di Perumahan Taman Sentosa Blok D15, Nomor 3, Desa Pasirsari Rt24/08, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, sejak sembilan bulan lalu. Korban ditemukan tewas Senin (05/10) sekitar pukul 02.00 Wib, diduga akibat penganiayaan berulang-ulang. c14/pur

Rabu, 07 Oktober 2009

Field Trip: Pengadilan Negeri Sleman

Sebagai bagian dari materi pendidikan kritis, kemarin Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) bersama para murid sekolah pekerja rumah tangga (SPRT) angkatan 16 mengadakan field trip ke pengadilan negeri. Para murid SPRT dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: Ester, Yuli, Wiwik, Komariyah dan Fitri ke pengadilan negeri Jogja dengan didampingi Hayu, Dian dan Shanti, sedangkan Devi, Eva, Mia, Novi, Rini dan Siti bertandang ke pengadilan negeri Sleman dengan Nana dan Alvi sebagai pendamping.
Mengikuti kelompok kedua yang berangkat terlebih dahulu, karena mengingat jarak tempuh yang lebih jauh yaitu Sleman, mereka berangkat sekitar pukul sembilan dari RTND. Dengan memakai bus jurusan Jogja - Tempel, rombongan turun tepat di depan pengadilan negeri Sleman.
Memasuki areal pengadilan, awalnya para murid sempat bingung apa yang hendak dilakukan. Namun setelah berdiskusi, mereka sepakat membagi lagi menjadi dua kelompok berkaitan dengan pembagian kelompok perdata dan pidana. Mereka mulai sibuk mencatat agenda sidang yang terpampang di papan pengumuman.
Pada hari itu terdapat dua sidang perdata dan enam sidang pidana. Dari resepsionis, mereka mendapat kabar sidang perdata tengah dimulai di gedung sebelah. Oleh karena sidang pidana belum ada yang dimulai, mereka berbondong-bondong menengok sidang perdata di bangunan sebelah.
Sidang perdata beragenda masalah pergantian nama. Tepatnya, penggugat memasalahkan kekeliruan nama suami yang seharusnya Sumariyanto pada akta kelahiran kedua anaknya tetapi di akta tsb tertulis Suhariyanto. Tahap kali ini penggugat menampilkan dua saksi yang mengenal Sumariyanto, namun Majelis Hakim masih memerlukan bukti-bukti lain, semisal ijazah Sumariyanto sedari SD-SMP guna memperkuat bukti dan saksi yang sudah ada. Sidang ditunda sampai Selasa, 13 Oktober minggu depan. Sidang perdata kedua mengetengahkan penggugat dan gugatan yang sama tetapi dengan majelis hakim yang berbeda. Nyaris serupa sidang sebelumnya, sidang kedua juga ditunda dengan hari yang sama.
Kelompok ini membagi tugas, Rini, Devi dan Eva melihat sidang pembunuhan anak jalanan terhadap rekan sesama anak jalanan sedang Novi, Mia dan Siti mengikuti sidang pencurian di pasar godean oleh Terdakwa 2 Amry yang kemudian dilanjutkan sidang pengeroyokan.
"Sidangnya mengharukan sampai Mia juga ikutan nangis tadi," komentar Devi. Pasalnya, dalam sidang tadi dimana si pengeroyok adalah anak-anak yang mengetahui bahwa sang ibu disangka mempunyai hubungan dengan lelaki tetangganya. Anak-anak itu kasihan dan mendukung sang ayah, namun lain halnya dengan sang ibu yang malah getol membela si lelaki tetangganya itu. Para murid SPRT sampai tak habis pikir mendapati kenyataan itu.
Sementara Eva, Devi dan Rini mengikuti sidang pencurian pasar Godean yang menghadirkan terdakwa 1 Eko Suryanto dengan saksi-saksi dan Jaksa Penuntut Umum yang sama. Majelis Hakim geram mengetahui kenyataan bahwa terdakwa adalah keponakan korban.

Terdakwa sempat menitikkan airmata sebelum dan ditengah persidangan. Ia mengungkapkan penyesalan di muka majelis.
Bersamaan dengan berakhirnya sidang pencurian, tak berselang lama sidang pengeroyokan pun usai. Kelompok dua ini masih bersemangat, kemudian mereka mengikuti sidang korupsi di pondok pesantren di gedung sebelah sebagai sidang terakhir yang mereka ikuti.
Sekitar pukul satu, pengadilan negeri Sleman tampak lengang, tak seramai ketika rombongan dua SPRT datang tadi. Namun keenam murid masih tampak bersemangat dan antusias serta saling bercerita tentang sidang yang mereka ikuti. Usai menghabiskan bekal makan siang yang mereka masak bersama-sama tadi pagi, rombongan kedua kembali ke RTND dengan angkutan umum yang sama.
Field trip tsb begitu membekas. Bukan hanya dikarenakan ini adalah kali pertama pengalaman mereka menyambangi pengadilan, namun juga sekaligus sebagai bahan pembelajaran mereka di tempat kerja kelak bahwa apa-apa yang mereka lakukan akan mereka tuai hasilnya. Jika melakukan hal-hal dan segala pekerjaan dengan baik, tentu akan menyenangkan pengguna jasa, yang bahkan tak segan mungkin akan memberikan imbalan bonus, tetapi jikalau melakoni hal buruk tentu juga harus siap menjalani konsekuensi seperti yang mereka lihat dalam berbagai persidangan di pengadilan negeri Sleman sebagai contoh konkritnya.

Selasa, 06 Oktober 2009

Polisi Ungkap Kasus Pembunuhan PRT Oleh Majikan

Selasa, 6 Oktober 2009 22:24 WIB
Cikarang, Bekasi (ANTARA News) - Kepolisian Resor Metropolitan (Polrestro) Bekasi kabupaten, Jawa Barat, menetapkan Ny Sri Tien Suhartini Kaban, SE (31) sebagai tersangka dugaan kasus penganiayaan berat dan kekerasan dalam rumah tangga hingga menyebabkan Ny Hapsari (35), pembantunya meninggal dunia.

Kapolrestro Bekasi Kabupaten, Kombes Herry Wibowo dalam keterangan kepada wartawan, Selasa mengatakan, penanganan kasus tersebut bermula dari kecurigaan polisi saat melihat jasad korban dalam kondisi yang tidak wajar di Rumah Sakit Daerah (RSD) Kabupaten Bekasi, Senin (5/10).

"Saat itu tubuh korban sangat kurus hingga seluruh kerangka tubuhnya terlihat dengan jelas. Selain itu, nampak pula ada sekitar delapan tanda bekas upaya kekerasan di kulit korban, seperti luka bakar, siraman air panas, dan memar," katanya.

Berdasarkan laporan tersebut, pihak kepolisian melakukan pemeriksaan di rumah pelaku yang berlokasi di Perumahan Taman Sentosa Blok D 15 nomor 3 RT24/RW08, Desa Pasir Sari,Kecamatan Cikarang Selatan.

Di lokasi tersebut, pihak kepolisian berhasil memperoleh keterangan dari sembilan orang saksi yang berasal dari warga sekitar, rekan seprofesi korban, dan keluarga pelaku.

"Berdasarkan keterangan saksi dan hasil otopsi, pelaku melakukan kekerasan dengan cara melakban mulut korban, memukul dengan sapu, korban disiram air cabai, disuruh telanjang dan disundut rokok pada tangan dan kemaluannya, dipukul pada bagian punggung, korban disuruh sujud di dapur berjam-jam, disuapi dan dipaksa makan nasi yang belum matang," katanya.

Akibat kondisi tersebut, kata dia, korban menderita depresi sehingga badannya kurus kering dan akhirnya meninggal dunia karena dianiaya oleh pelaku.

"Barang bukti yang kami amankan di TKP (tempat kejadian perkara) berupa, satu piring nasi matang dan satu potong ayam, satu lakban bening, satu potong gagang sapu, satu buah asbak berikut sembilan puntung rokok, satu buah cobek dan muntu batu, satu botol betadin cair," katanya.

Hingga kini, pihaknya memperoleh dua kesimpulan terkait dengan kematian korban. Yakni, akibat sulit bernafas setelah tenggorokannya tersumpal nasi setengah matang.

"Dari hasil otopsi, kami juga memperoleh keterangan bahwa hati korban mengalami sobek akibat hantaman benda tumpul dari bagian punggung," katanya.

Ia menambahkan, hasil cek kesehatan jiwa tersangka diperoleh keterangan bahwa yang bersangkutan tidak menderita gangguan jiwa, melainkan memiliki tingkat depresi timggi dan sulit mengatur emosi.

"Pelaku kami jerat pasal berlapis yakni pasal 351 sub pasal 359 ayat 1 sub 306 KUHPidana dan pasal 44 nomor 23 tahun 2004 tentang penganiayaan, kelalaian, dan menelantarkan orang yang membutuhkan pertolongan," kata Herry Wibowo.

Sementara itu, rekan seprofesi korban Yuliani (25), yang bekerja sebagai pengasuh anak mengatakan, pelaku kerap melakukan tindak kekerasan terhadap korban bila pekerjaan yang tengah ditanganinnya lambat.

"Saya sering mendengar bentakan dan pukulan yang dilakukan majikan saya kepada Hapsari. Saya diancam untuk tidak menceritakan kejadian ini kepada siap pun atau saya akan dipecat. Bila ada yang menanyakan tentang Hapsari saya disuruh bilang ia sudah pulang kampung," katanya.

Menurut Yuli, korban yang merupakan warga Kampung Kedungan, RT01 RW05, Kelurahan Melandi, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, telah menjalani siksaan tersebut sejak ia bekerja pada enam bulan yang lalu.

"Ia adalah lulusan SD. Obrolan terakhir dengan saya, ia bekerja untuk menghidupi keluarganya di kampung. Sari (Hapsari) sering disiksa kalau pekerjaannya lambat," kata Yuli.(*)

Pernyataan Sikap JALA PRT - JAKERLA PRT atas Tindak kekerasan terhadap PRT Hapsari di Bekasi, 5 Oktober 2009

STOP BERPIKIR MENUNGGU KASUS ! : WUJUDKAN SEGERA UU PERLINDUNGAN PRT DAN DUKUNG KONVENSI ILO PERLINDUNGAN PRT

Pernyataan Sikap atas Tindak Kekerasan thd PRT Hapsari di Bekasi 5 Oktober 2009

Lamp. : -
Jakarta, 6 Oktober 2009
Kepada Yang Terhormat:
Pimpinan Redaksi, Reporter
Media Massa

Di Tempat

Dengan hormat,
Pada tanggal 6 Oktober 2009, media massa memberitakan adanya tindak kekerasan terhadap PRT bernama Hapsari (39) - asal Wonosobo - yang dilakukan oleh kedua majikannya yang bertempat di Taman Sentosa Blok D15 No. 3 Pasirsari Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi. Dari berita tersebut dan investigasi pihak Kepolisian Resort Metro Kabupaten Bekasi, diketahui bahwa selama 9 bulan bekerja Hapsari mengalami berbagai tindak kekerasan baik psikis – pengekangan dan tekanan psikis; kekerasan ekonomi – upah yang tidak dibayarkan, dan tidak diberi fasilitas yang layak; kekerasan fisik – dari bukti pemeriksaan forensik terjadinya penganiayaan berat berulang kali: badannya diseterika, kekerasan benda tumpul, siraman air panas, sundutan rokok, sehingga korban menderita luka parah dan meninggal.

Tindakan yang dilakukan kedua suami istri majikan Hapsari yaitu Naptali Andreas dan Sritian Suharti adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, pelanggaran terhadap hak-hak PRT sebagai pekerja dan merupakan tindak pidana kejahatan kekerasan dalam rumah tangga (KdRT) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Tindak kekerasan terhadap PRT di atas adalah salah satu dari daftar panjang tindak kekerasan yang dilakukan majikan terhadap PRT. Tercatat dari berbagai sumber data yang dihimpun oleh JALA PRT, dalam setiap tahun terjadi minimal 5 kasus kekerasan yang sangat berat terhadap PRT, termasuk di dalamnya sehingga korban meninggal, di samping korban yang luka parah dan trauma.

Kasus-kasus kekerasan fisik di atas belum termasuk persoalan eksploitasi terhadap PRT dan kasus kekerasan dalam bentuk lain yang dialami oleh PRT, seperti kasus kekerasan ekonomi – upah yang tidak dibayar, pemotongan upah semena-mena; pelecehan dan tindak kekerasan seksual; kekerasan psikis (di penjara dalam rumah majikan), namun kasus tersebut tidak terangkat dan diketahui. Data dari berbagai sumber menunjukkan dari tahun 2000-2008 terdapat 472 kasus kekerasan yang dapat terlihat karena ada lembaga yang mendampingi serta adanya media dan publik yang memberitakan.

PRT adalah segmen pekerja yang sangat dibutuhkan untuk jutaan rumah tangga, yang memungkinkan anggota rumah tangga menjalankan berbagai jenis aktivitas publik dan di segala sektor. Realitas menunjukkan karir, profesionalitas, kesejahteraan keahlian di berbagai bidang juga karena peran ”tokoh di belakang layar” yaitu ”PRT”, karena tugas-tugas domestik digantikan oleh Pekerja Rumah Tangga. Maka bisa dibayangkan rantai elemen kontribusi ekonomi, sosial dan kerja ratusan ribu dan jutaan orang di segala sektor penyelenggaraan negara dan melewati batas negara, pendidikan, pengembangan iptek, usaha: industri barang, jasa, hiburan juga karena kontribusi PRT. Bisa dilihat dalam waktu menjelang, masa dan pasca lebaran bagaimana ribuan majikan sibuk mencari tenaga kerja PRT dan juga aktivitas publik belum pulih ketika PRT belum kembali bekerja.

Namun demikian, dalam realitasnya, Pekerja Rumah Tangga ini rentan berbagai kekerasan dari fisik, psikis, ekonomi, sosial. PRT berada dalam situasi hidup dan kerja yang tidak layak, situasi perbudakan. PRT mengalami pelanggaran hak-haknya: upah yang sangat rendah (< rata-rata) ataupun tidak dibayar; ditunda pembayarannya; pemotongan semena-mena; tidak ada batasan beban kerja yang jelas dan layak - semua beban kerja domestik bisa ditimpakan kepada PRT, jam kerja yang panjang: rata-rata di atas 12-16 jam kerja yang beresiko tinggi terhadap kesehatan, nasib tergantung pada kebaikan majikan; tidak ada hari libur mingguan, cuti; minim akses bersosialisasi - terisolasi di rumah majikan, rentan akan eksploitasi agen - korban trafficking, tidak ada jaminan sosial, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan, dan PRT migran berada dalam situasi kekuasaan negara lain. Pekerja rumah tangga tidak diakui sebagai pekerja, karena pekerjaan rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan yang sesungguhnya dan mengalami diskriminasi terhadap mereka sebagai perempuan, migran, pekerja rumah tangga dan anak-anak. Dikotomi antara PRT baik domestik dan migran dengan buruh domestik dan migran pada sektor yang lain sering mengakibatkan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif bagi PRT domestik dan migran.

Sementara di sisi lain perlindungan hukum baik di level lokal, nasional dan internasional tidak melindungi PRT. Kondisi ini yang semakin memberi ruang sistematis bagi pelanggaran hak-hak PRT. Mengambil pelajaran dari situasi tidak layak - perbudakan dan peristiwa penganiayaan terhadap PRT baik domestik, migran, termasuk anak-anak, penting untuk mengingatkan kepada negara: pemerintah, dan wakil rakyat yang selalu berpikir menunggu jumlah kasus, baru kemudian mengambil langkah. Dalam realitasnya dan andai bisa bercerita, maka akan kita tahu bahwa jutaan kawan-kawan PRT mengalami persoalan eksploitasi, kerentanan pelecehan dan kekerasan, dan mereka tak berdaya menyuarakannya. Maka bagaimanapun sistem perlindungan baik Undang-Undang Perlindungan PRT dan Konvensi ILO Perlindungan PRT untuk mencegah dan melindungi PRT dari berbagai tindak kekerasan adalah hal yang mendasar dan mendesak.

Berangkat dari penganiyaan terhadap PRT bernama Hapsari dan juga tindak kekerasan – eksploitasi terhadap PRT-PRTA lainnya, dengan ini maka JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga) – JAKERLA PRT menyatakan sikap:
1. MENDESAK kepada aparat hukum terkait kepolisian, kejaksaan dan hakim pengadilan dari yang tertinggi hingga khususnya di tingkat lokal kasus yaitu Kepolisian Resort Metro Kabupaten Bekasi, Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi dan Pengadilan Negeri Kabupaten Bekasi untuk bertanggungjawab menegakkan proses hukum yang transparan dan adil atas kasus kekerasan yang dilakukan majikan yaitu Naptali Andreas dan Sritian Suharti terhadap PRT – Hapsari;
2. MENDESAK kepada pemerintah khususnya lembaga hukum untuk memberikan sanksi kepada aparat hukum terkait dalam penanganan proses hukum kasus kekerasan terhadap PRT, apabila aparat hukum yang bersangkutan tidak menegakkan hukum dan memberikan hukuman yang tidak adil (ringan) bagi pelaku;
3. MENDESAK Pemerintah khususnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk segera mewujudkan UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) dan mendukung lahirnya Konvensi ILO Perlindungan PRT;
4. MENDESAK Pemerintah khususnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk STOP BERPIKIR MENUNGGU JUMLAH KASUS PRT !!!;
5. MENDESAK kepada pemerintah lokal khususnya Dinas Tenaga Kerja, Kantor Pemberdayaan Perempuan, di tingkat lokal agar bekerja sama dengan lembaga di tingkat kelurahan/kampung untuk mengambil inisiatif langkah-langkah perwujudan mekanisme perlindungan PRT, seperti mewujudkan Libur Sehari dalam 1 Minggu bagi PRT dan mewujudkan PERDA Perlindungan PRT;
6. MENDESAK kepada pemerintah daerah untuk menggiatkan monitoring oleh RT RW atas majikan dan situasi PRT yang bekerja di wilayahnya, membuat sanksi sosial dan menyebarkan daftar majikan pelaku kekerasan terhadap PRT, serta membuat larangan bagi majikan pelaku kekerasan terhadap PRT untuk mempekerjakan PRT.
Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya kami mengucapkan terima kasih.

Salam,
JAKARTA, 6 OKTOBER 2009
JALA PRT - JAKERLA PRT
(JARINGAN KERJA LAYAK PEKERJA RUMAH TANGGA)

Kontak Person:
Anis Hidayah Migrant Care : 081578722874, Lita Jala PRT: 0811282297, Ririn Serikat PRT Tunas Mulia: 08121583102



JALA PRT (JARINGAN NASIONAL ADVOKASI PEKERJA RUMAH TANGGA):
Atma Solo
Bupera FSPSI Reformasi
Care International Indonesia
Institut Perempuan Bandung
ICM
Koalisi Perempuan Indonesia
KOHATI
Kongres Operata Yogyakarta
Kapal Perempuan
SAKPPD Surabaya
LAP Damar Lampung
LARD Mataram
LBHP2I Makassar
LBH APIK Jakarta
LBH Bali
Mitra ImaDei
Migrant Care
Muslimat Jatim
Ngadek Sodek Parjuga
OWA Palembang
OPERATA Semarang
Perisai Semarang
Perempuan Khatulistiwa Pontianak
PP Fatayat NU
Rifka Annisa
RUMPUN Tjoet Njak Dien
RUMPUN Gema Perempuan
Sahabat Perempuan
Serikat PRT Tunas Mulia
Serikat PRT Merdeka Semarang
SBPY
SPEKHAM
SP Kinasih
Surabaya Child Crisis Center
SUER Samarinda
YPHA
dan Para Individu lainnya
ASPEK INDONESIA
ATKI
ARDHANARY
CIMW
FAKTA
FSBI
HRWG
IMWU
IWORK
INSTITUT ECOSOC
INDIES
INFID
IPMIK
JARAK
JURNAL PEREMPUAN
KALYANAMITRA
KOTKIHO
KOMJAK
LBH JAKARTA
MIGRANT CARE
PBHI JAKARTA
PAKUBUMI
PEMILIK
RAHIMA
SARI
SBMI
SOLIDARITAS PEREMPUAN
SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG
TURC
UPC UPLINK

Senin, 05 Oktober 2009

KOY: Harus Selangkah Lebih Maju!

"KOY sudah berumur setengah tahun, itu artinya kita juga sudah bisa mereview, apa yang telah dan belum kita lakukan!" ujar Nono Karsono disela pertemuan Community Leader (CL) dari Organisasi-Organisasi Pekerja Rumah Tangga (OPERATA) dampingan Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) kemarin.

Pertemuan CL ini rutin diadakan minggu pertama setiap bulannya. Selain saling bertukar informasi antar Operata, pertemuan ini juga menjadi ajang review program-program yang telah dilakukan Operata masing-masing sehingga dapat menjadi masukan pada Operata lainnya untuk melaksanakan program yang sama.

Pada pertemuan kali ini membahas tentang Kongres Operata Yogyakarta (KOY). KOY sendiri adalah wadah perjuangan para Operata yang tersebar di beberapa daerah di Yogyakarta demi perlindungan terhadap pekerja rumah tangga (PRT). Seperti yang dikemukakan diatas, semenjak deklarasinya pada tanggal 19 April 2009 lalu, KOY kini hampir genap berusia 6 bulan. Bukan waktu yang lama tetapi juga tak bisa dibilang sebentar untuk tumbuh kembang sebuah organisasi.

"Ibarat baju, KOY adalah baju yang bagus, tetapi kenapa kita belum mau memakainya?" terang Nono setelah menelaah apa saja yang telah dilaksanakan KOY selama ini.

Hal tersebut memang bukan isapan jempol, mengingat KOY sudah boleh dibilang melakoni banyak hal selain melaksanakan program-program pendidikan seperti komputer dan bahasa inggris, diantaranya dengan dipercaya sebagai ketua JPPRT (Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) Yogyakarta. Harus diakui, kepercayaan yang diberikan ini sebuah nilai tambah bahwa KOY jelas adalah sebuah organisasi yang nyata bentuk dan gerakannya.

Baru-baru ini, KOY juga mengirim surat kepada Presiden RI sebagai protes atas keputusan pemerintah karena menyetujui standar pengaturan nasional bagi perlindungan pekerja rumah tangga hanya dalam bentuk rekomendasi yang tidak mengikat, bukan sebuah konvensi seperti yang dikehendaki KOY dan teman-teman pekerja seperjuangan lainnya. Sikap KOY sekaligus makin mengukuhkan representasinya sebagai organisasi yang bukan hanya omong doang. KOY juga ingin menyerukan gerakannya, bukan hanya di tingkat lokal tetapi juga nasional, demi perlindungan terhadap nasib pekerja rumah tangga itu sendiri tanpa embel-embel kepentingan mana pun.

Ibarat sebuah baju pula, meski dipandang telah bagus untuk dipakai, tetapi kadang perlu permak-permak di beberapa tempat. Begitu juga KOY, sebagai organisasi dengan massa cukup besar dan tersebar, juga selalu memerlukan perbaikan dan masukan sana-sini. Kendala tak dipungkiri selalu muncul, apalagi mendengar keputusan pemerintah tentang standar ILO tempo hari yang sungguh mengecewakan dan sempat menyurutkan teman-teman PRT di KOY. Namun perjuangan tak berakhir disitu, pembenahan dan penambahan program serta aktivitas terus dilakukan KOY. Semoga dengan semangat dan kerja keras yang tak pernah padam, KOY dapat mewujudkan tujuan yang dicita-citakannya selama ini. Hidup Kongres Operata Yogyakarta!

Kamis, 01 Oktober 2009

Perjanjian Kerja: Momok Para Majikan

Nasib PRT = Selalu Kalah
PRT. Pembantu Rumah Tangga, babu kasarannya. Pekerja Rumah Tangga, begitu istilah baru yang coba diperkenalkan dan disosialisasikan satu dekade terakhir oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND), LSM yang bergerak di bidang penguatan, pendampingan dan perlindungan PRT pada masyarakat. Bicara soal nasib PRT, tentu masih lekang dalam ingatan kita kasus Ceriyati, atau yang terbaru kasus Siti Hajar, sekujur tubuh penuh bekas luka. Itu yang terekspose media, tentunya masih banyak kasus-kasus lain yang tak hanya menimpa PRT yang bekerja di luar negeri, tetapi di negeri sendiri, yang mengalami nasib serupa dengan pahlawan penyumbang devisa negara tersebut. Tetapi julukan istimewa itu ternyata tak seistimewa namanya, bahkan bertolak belakang dengan nasib mereka. Meskipun demikian, tetap jumlah tenaga kerja yang mengadu nasib keluar negeri tak surut, malah kian membengkak. Iming-iming materi, gaji dalam jumlah besar untuk menambal kebutuhan ekonomi seakan menutup mata mereka dari kekerasan yang kerap terjadi dan ketiadaan payung hukum yang menaungi.

Belum Ada Regulasi
Tak hanya PRT Migran, untuk PRT domestik pun yang nyata-nyata menjadi mayoritas pencaharian warganegara kelas bawah pun negeri ini belum bisa memberikan regulasi yang jelas. Ini sungguh ironis, mengingat peran penting pekerja rumah tangga dalam lingkup kerumahtanggaan. Namun justru lingkup kerja yang merupakan wilayah domestik atau privat itulah yang membuatnya tak terlihat dari luar sehingga pekerja rumah tangga sangat rentan terhadap kekerasan tetapi tak tersentuh hukum. Selain pola pikir masyarakat yang masih menganggap PRT adalah batur, ngemban tutur, sehingga titah majikan layaknya sabda pandita ratu yang harus dilaksanakan, tetapi hak-hak mereka tak pernah terpenuhi. Ironis bukan? Lalu siapa yang patut dipersalahkan? Mereka yang memilih profesi PRT akibat keterpaksaan ekonomi atau kah pemerintah yang hingga detik ini belum memberikan regulasi yang jelas dan spesifik mengatur upah dan kelayakan kerja bagi PRT? Saling tunjuk pun rasanya tak berguna. Yang terpenting adalah bagaimana cara memberi perlindungan bagi PRT dengan belum adanya naungan hukum. Diantaranya adalah dengan penggunaan perjanjian kerja karena salah satu penyebab kekerasan dan kelalaian hak oleh majikan disebabkan tidak adanya perjanjian kerja kedua belah pihak pada awal masa kerja sehingga majikan seperti diberi angin segar untuk melalaikan kewajiban dan ringan tangan dalam melakukan kekerasan.

Bukan Persoalan Yakin Tak Yakin
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah yakin penggunaan perjanjian kerja akan menjamin PRT memperoleh haknya? Masalahnya bukan pada yakin atau tak yakin, perjanjian kerja memang tak menjamin seratus persen PRT akan terbebas dari jerat kekerasan, namun paling tidak sembari menanti kejelasan regulasi oleh pemerintah Indonesia yang tersendat-sendat, perjanjian kerja dapat meminimalisir kelalaian hak-hak PRT oleh majikan.

Perda Yang Seolah-olah Hanya Tempelan
Meskipun demikian tak lantas perjanjian kerja bisa tersosialisasikan dengan mulus-mulus saja. Malahan, untuk level perjanjian kerja yang dapat dikategorikan level "terendah" dalam sebuah regulasi, tak banyak majikan atau pengguna jasa yang memakai perjanjian kerja sebagai sebuah kewajiban. Bahkan di dalam Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan wilayah Yogyakarta yang beberapa waktu lalu disahkan pun hanya menyebut kata DAPAT pada peraturan penggunaan perjanjian kerja. Istilah kata dapat berarti bukan sebuah keharusan, sehingga tanpa menafikan niat baik pemerintah dalam memulai langkah awal perlindungan bagi pekerja rumah tangga, sepertinya satu pasal dengan tiga ayat delegatif kearah penyusunan peraturan walikota tentang penggunaan perjanjian kerja itu seolah hanya tempelan belaka. Sebab dinilai dari segi hukum, kata DAPAT tak mencerminkan regulasi yang mengikat, dalam hal ini sanksi. Tentu saja kian melemahkan posisi perjanjian kerja untuk direalisasikan.

Momok Bagi Majikan
Selain hal-hal yang dipaparkan diatas, mayoritas majikan/pengguna jasa yang sepertinya enggan memakai perjanjian kerja lebih dikarenakan ketakutan majikan bahwasanya perjanjian tersebut hanya akan menguntungkan pihak pekerja rumah tangga (PRT). Padahal pemikiran itu adalah kekeliruan besar. Perjanjian kerja memuat kesepakatan hak dan kewajiban PRT dan majikan secara seimbang. Jadi tak hanya hak PRT, seperti upah, fasilitas, masa istirahat dan libur saja, melainkan kewajiban PRT sehingga kedua belah pihak mengerti bukan hanya hak dan kewajiban, melainkan konsekuensi yang mereka terima jika melanggar. Sekaligus memberikan pengakuan secara hukum jenis pekerjaan kerumahtanggaan ini mempunyai nilai ekonomis untuk mengatur hubungan kerja yang harmonis, produktif serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Kesadaran Yang Mendesak
Pada intinya, perjanjian kerja memang mempunyai nilai lebih untuk perlindungan pekerja rumah tangga, namun aturan yang lebih tinggi juga teramat diperlukan terutama mengingat belum adanya regulasi PRT baik di tingkat propinsi bahkan tingkat nasional. Persoalan yang paling mendesak adalah pentingnya kesadaran di tingkat majikan atau pengguna jasa akan penggunaan perjanjian kerja sebagai gerbang awal perlindungan PRT yang lebih konkrit demi terpenuhinya hak-hak pekerja rumah tangga secara keseluruhan yang selama ini telah banyak terabaikan.

Jumat, 28 Agustus 2009

SURAT TERBUKA RTND KEPADA PRESIDEN RI

No : 16/RTND/VIII/2009
Hal : Pernyataan Sikap Rumpun Tjoet Njak Dien
Lampiran : -

Yogyakarta, 28 Agustus 2009

Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta

Dengan hormat,
Perkenankanlah kami Rumpun Tjoet Njak Dien, sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan sejak tahun 1995 yang bekerja dalam isu-isu Penguatan, Pendampingan dan Advokasi terhadap hak-hak Pekerja Rumah Tangga, menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pada Juni 2010 mendatang akan diadakan International Labour Conference (ILC) yang mengangkat kembali mengenai regulasi untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT). Untuk itulah sejak bulan Maret lalu, ILO telah membagikan kuesioner kepada negara anggota, termasuk Indonesia, yang harus dimasukkan selambat-lambatnya 25 Agustus 2009. Hasil pembahasan pada ILC 2010 akan kembali disampaikan kepada negara anggota untuk dimintakan tanggapan yang nantinya akan menjadi bahan sidang ILC tahun 2011 yang kemudian mengadopsi suatu standar internasional yang harus disepakati oleh semua negara anggota dengan kemungkinan kesepakatan dalam bentuk konvensi, rekomendasi atau konvensi dilengkapi dengan rekomendasi, dan/atau bahkan tidak terjadi kesepakatan untuk mengadopsi suatu standar internasional.

Merespon kuesioner tersebut, RTND melakukan upaya-upaya guna mendukung diaturnya standar ILO tentang pekerja rumah tangga yang memuat upah dan kelayakan kerja dalam bentuk KONVENSI dan REKOMENDASI. Dengan demikian Konvensi dan rekomendasi ini nantinya akan menjadi rujukan bersama dunia internasional untuk mengaplikasikan dalam regulasi di negaranya masing-masing.

Akan tetapi RTND sangat menyesalkan keputusan pemerintah RI, dalam hal ini hasil sidang Depnakertrans bersama Depkes, BAPPENAS, Menko Kesra dan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan yang sepakat mengusulkan dukungan terhadap standar internasional di bidang Pekerja Rumah Tangga hanya dalam bentuk REKOMENDASI, bukan Konvensi. Dimana hal ini dapat di temui dalam advertorial di berbagai media massa yang dibuat oleh Pusat Humas Depnakertrans.

Perlu diketahui bahwa bentuk Rekomendasi tersebut tidak mengikat, lain halnya dengan Konvensi yang mempunyai tujuan agar negara anggota dapat meratifikasi sebagai hukum positif di suatu negara.

Keputusan pemerintah RI tersebut tentu saja sangat mengecewakan para Pekerja Rumah Tangga dan seolah pemerintah makin menutup mata terhadap upaya mensejahterahkan rakyat, PRT khususnya, mengingat jutaan penduduk Indonesia berprofesi sebagai pekerja rumah tangga dan mempunyai tingkat kenaikan cukup signifikan pertahunnya namun ironisnya hingga detik ini tidak ada regulasi atau payung hukum yang lebih spesifik untuk menaungi mereka. Perlu diketahui, Berdasarkan Sakernas BPS 2008, estimasi ILO Tahun 2009 dari berbagai sumber data, PRT merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar secara global: lebih dari 100 juta PRT di dunia, lebih dari 3 juta PRT domestik di Indonesia dan ada sekitar 36.961 Pekerja Rumah tangga di Yogyakarta (Susenas 2002).

Keputusan pemerintah RI tersebut, dengan pertimbangan dan dalih apapun, juga mengesankan bahwa political will pemerintah jelas-jelas tidak ingin memberikan regulasi yang jelas terhadap pekerja rumah tangga.

Oleh karena itu, RTND menyerukan untuk terus mengupayakan disusunnya Konvensi ILO demi upah dan kerja layak pekerja rumah tangga dengan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak khususnya kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono untuk lebih memperhatikan nasib PRT baik yang tinggal di dalam negeri maupun PRT migran. Karena bagaimanapun bentuk perlindungan negara terhadap warganegaranya adalah melalui konvensi dan rekomendasi tidak sekedar menyusun rekomendasi.
2. Menyerukan kepada segenap anggota tripartit pengambil keputusan di International Labour Conference (ILC) dalam hal ini serikat-serikat Pekerja, Asosiasi Pengusaha dan Pemerintah untuk tetap mengusulkan dan mendukung perlindungan Pekerja Rumah Tangga melalui KONVENSI dan REKOMENDASI nya.


Hormat kami,






Yuni Satya Rahayu, S.Sos, M.Hum
Ketua Badan Pelaksana RTND






Buyung Ridwan Tanjung, SH, LL.M
Koordinator Divisi Advokasi RTND


Tembusan:
1. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
2. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
3. Menteri Kesehatan
4. Menteri Pemberdayaan Perempuan

Sabtu, 22 Agustus 2009

Workshop Pengorganisasian dan Advokasi



Strategi Lokal Jelang Konvensi ILO tentang PRT 2010

"Pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga adalah termasuk pekerjaan tertua di dunia!" cetus pak Willy mewakili ACILS pada workshop pengorganisasian dan advokasi yang diselenggarakan oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) di Jogja Fish Market, tanggal 21 Agustus 2009 yang dihadiri oleh Kongres OPERATA Yogyakarta (KOY), Serikat PRT Tunas Mulia, Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT), Perhimpunan Solidaritas Buruh (PSB), SBII Bantul, SPN, Perisai, BPMP & KB Kabupaten Gunung Kidul, Forum LSM, Mitra Wacana, IHAP, Yayasan Kembang, Yasanti, Sahabat Perempuan, PSW UGM, LKBH UII, PKBI, SP Kinasih, LOS, LOD dan Dinsosnakertrans. "Ekonomi bisa berjalan sampai sekarang adalah juga karena peran penting PRT, namun ironisnya hingga kini pun belum ada regulasi yang jelas dalam melindungi PRT secara hukum." lanjut pria dari NTT tersebut.

Pernyataan Willy tak dipungkiri benar adanya. Sudah lebih dari 70 tahun ILO memperbincangkan mengenai regulasi bagi pekerja rumah tangga di tingkat internasional, tepatnya dalam ILC (International Labour Conference), namun faktanya hingga detik ini pun nasib pekerja rumah tangga selalu kalah akibat ketiadaan payung hukum yang menaungi mereka dari kerentanan terhadap kekerasan dan permasalahan lainnya. Ini sungguh ironis, mengingat peran penting mereka dalam kerumahtanggaan.

Bulan Juli tahun 2010 mendatang akan diadakan ILC di Jenewa yang kembali mengangkat regulasi bagi pekerja rumah tangga. Indonesia sangat berkepentingan dalam hal ini karena Indonesia memiliki tingkat jumlah pekerja rumah tangga yang sangat tinggi. ILO memperkirakan jutaan orang bekerja sebagai PRT di Indonesia. Himpitan ekonomi dan minimnya pendidikan kian memperkuat jumlah PRT secara signifikan seolah menutup mata soal regulasi yang belum ada.

Yogyakarta mungkin sedikit bisa bernafas lega dan boleh jadi sebagai pelopor serta inspirasi bagi daerah-daerah lain dalam skala nasional dengan diketoknya Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang memuat satu pasal tiga ayat delegatif tentang Pekerja Rumah Tangga. Tentu saja masih jauh dari regulasi yang dicita-citakan demi terwujudnya perlindungan hukum bagi PRT secara nyata. Namun dengan adanya kuesioner Konvensi ILO yang harus dimasukkan paling lambat 25 Agustus ini lah yang nantinya menjadi ujung tombak membangun kembali perjuangan regulasi tentang PRT yang selama ini tertatih. 

Sedikit kilas balik, kuesioner yang dibagikan ILO sejak Maret kemarin telah mendapat respon dari masyarakat sipil terutama LSM yang kemudian bergabung dalam JAKERLA (Jaringan Kerja Layak) PRT yang mengawal Konvensi ILO dengan membuat strategi nasional, namun kekuatan tripartit bisa dikatakan belum kuat, meski harapan terbesar bertumpu pada tripartit itu. Pemerintah lebih setuju pada arah rekomendasi, serikat pekerja menyetujui konvensi maupun rekomendasi, sedang pengusaha belum mengambil sikap. Strategi bukan hanya di tingkat nasional, workshop kali ini sebenarnya sebenarnya ingin membentuk strategi di tingkat lokal untuk mendesakkan konvensi ILO.  


Untuk wilayah lokal Yogyakarta, strategi yang pertama tercetus adalah penguatan serikat pekerja yaitu dengan advokasi. Usulan berikutnya adalah lobi di tingkat pekerja, baik nasional maupun global. Buyung, koordinator Divisi Advokasi RTND, menganggap usulan tsb menarik karena selama ini Jaringan Perlindungan PRT Yogyakarta kurang mengajak teman-teman serikat pekerja untuk bergabung.

Di sisi lain, Putri, dari Lembaga Ombudsman Daerah, menyorot tentang penguatan ke dalam masing-masing PRT itu sendiri karena yang akan berbicara dalam konvensi nanti bukan pihak dari LSM, melainkan mereka sebagai bagian dari tripartit itu sendiri. Putri melihat pada tingkat lokal strategi yang dilakukan adalah refleksi ke dalam untuk menyentuh ruh ke-PRT-annya, selain juga kampanye dengan berbagai media sebagai bagian dari strategi penguatan untuk mengetahui keberpihakan media terhadap isu PRT. 

Ibarat senjata, maka PRT adalah peluru yang dimuntahkan, meski LSM menjadi pelatuknya. Namun di sisi lain ada pendapat bahwa penguatan internal bisa sambil jalan saja, karena isu PRT tergolong baru. Konvensi buruh yang sudah berpuluh tahun sosialisasinya masih sangat sulit, apalagi PRT yang ada di beberapa wilayah juga akan terkendala untuk dikoordinir, sementara konvensi ILO begitu mendesak. Oleh karenanya, waktu yang sedikit ini hendaknya difokuskan pada strategi untuk menggolkan konvensi. Penambahan usulan pada penguatan di pengguna jasa agar terjadi penguatan yang bersifat holistik. Karena selama ini yang dilihat adalah perspektif pekerja, maka dari itu juga diperlukan perspektif pengguna jasa.ri penjabaran diatas ada tiga hal yang bisa dirumuskan, yaitu pertama tentang lobi. Dalam hal ini melobi serikat buruh dan apindo, baik tingkat lokal, nasional bahkan internasional, lalu pihak pemerintah seperti Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kedua adalah kampanye, baik media cetak maupun elektronik serta media internal seperti terbitan yang efektif dan fokus yang akan membuat orang tergugah dan menciptakan opini publik. Ketiga adalah Jejaring, dimana jaringan yang sudah ada, yaitu: JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi PRT) dan JPPRT Yogyakarta. Kekurangan yang selama ini terjadi semisal tingkat kehadiran yang kurang dengan berganti-ganti personel yang menyebabkan tidak tertransformasinya informasi antar perseorangan dan koordinasi yang buruk, perlu dibenahi. Cara kampanye yang masih konvensional juga perlu diganti semisal menggunakan situs jejaring sosial yang sedang tren saat ini. Selain itu, mempertegas paradigma PRT di mata pengguna jasa dalam artian menjadikan PRT sebagai pihak yang pantas dihargai serta pengguna jasa sebagai pihak yang sadar hak dan kewajiban PRT.

Diharapkan dengan beragam usulan diatas dapat menjadikan sebuah visi dan misi bersama untuk regulasi dalam pemenuhan upah dan kerja layak bagi PRT di masa yang akan datang.

Rabu, 19 Agustus 2009

PRT, merdeka atau mimpi?

Siaran Radio bekerjasama dengan Global FM
Rabu, 19 Agustus 2009, pukul 17.00 WIB.
Tema: Mimpi Kemerdekaan PRT
Narasumber: Nana dan Alvi


Tanggal 17 Agustus kemarin bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-64. Bulan Agustus identik dengan momen kemerdekaan, jika dihubungkan dengan kemerdekaan bagi pekerja rumah tangga (PRT), nampak jelas realita yang terjadi di masyarakat makna kemerdekaan dalam arti sebenarnya tentu saja belumlah dikecap oleh PRT. Padahal secara nyata pula mereka telah banyak berjasa dalam menangani pekerjaan di lingkup domestik. 
Belum lagi hak-haknya sepenuhnya terpenuhi, malahan terlanggar. Sebagai contoh tidak adanya kesempatan untuk berkumpul, berorganisasi sebagaimana realisasi pasal 28 UUD 45. Juga keterbatasan mengakses informasi, menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya. Pada intinya, kondisi PRT kita adalah PRT hanya sebagai batur, ngemban tutur. Apa yang dikatakan majikan maka itulah yang harus dilakukan.

Padahal kemerdekaan yang diimpikan para pekerja rumah tangga itu sendiri tak muluk-muluk. PRT hanya ingin setelah kewajiban-kewajiban mereka tunaikan, maka hak-hak mereka pun otomatis diterima. Tapi kenyataan adalah kebalikannya. Hak-hak PRT yang kerap menjadi permasalahan adalah soal upah layak ataupun upah yang tak dibayarkan oleh majikan. Namun sebenarnya masih banyak lagi hak-hak PRT yang kadang disepelekan oleh majikan, semisal: masa istirahat selama bekerja, libur/cuti satu hari dalam seminggu termasuk cuti saat haid, disamping juga tempat tinggal dan makanan yang layak, seringkali terlalaikan. Hak-hak tersebut adalah komponen dalam perjanjian kerja yang selama ini ditekankan dan disosialisasikan oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) Yogyakarta. 

Perjanjian kerja memang hanya salah satu jalan saja untuk meminimalisir pelanggaran hak-hak PRT, mengingat Undang-Undang yang mengatur PRT secara spesifik belum ada, meski untuk wilayah Yogya telah ada Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang memuat satu pasal dengan tiga ayat delegatif tentang pekerja rumah tangga, yaitu pasal 37. Karenanya, pemerintah juga diharapkan memberi perhatian terhadap permasalahan PRT ini. Hal itu dipicu oleh lingkup kerja PRT dalam ranah domestik yang dianggap wilayah privat dan sulit sekali tersentuh hukum yang menyebabkan PRT rentan terhadap kekerasan, sehingga PRT baru dianggap benar-benar merdeka ketika pekerjaan PRT tidak disepelekan lagi dan mereka yang ingin bekerja sebagai PRT tak lagi menganggap PRT adalah pekerjaan akibat keterpaksaan kondisi ekonomi maupun pendidikan yang minim, melainkan sebuah pilihan kerja atas kemampuan dan keterampilan mereka menjadi PRT. 

Paradigma pemikiran seperti itulah yang seharusnya dirubah. PRT adalah pekerjaan layak, bukan keterpaksaan. Jika tak mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan tinggi yang menimbulkan keterbatasan lapangan kerja, PRT harus menonjolkan kelebihan dari segi lain, semisal keterampilan. Untuk itu, harus ada pembekalan keterampilan sebelum terjun langsung ke dunia kerja. Seperti yang dilakukan RTND melalui sekolah PRTnya. RTND memang satu-satunya LSM yang berkecimpung dalam pemberdayaan PRT yang juga menyelenggarakan sekolah pekerja rumah tangga secara gratis, namun harapan ke depan, bukan hanya RTND saja yang menjadikan sekolah PRT sebagai sekolah alternatif pembekalan bagi PRT, melainkan juga agen-agen penyalur yang selama ini berkompeten terhadap meningkatnya kerentanan kekerasan pekerja rumah tangga.

Pembekalan keterampilan yang tak hanya di bidang kerumahtanggaan, babysitter dan pramurukti sebagai pokok materi, tetapi juga komputer, bahasa Inggris, pendidikan kritis tentang HAM, Gender, Kesehatan Reproduksi, etika dll menjadikan alumni sekolah PRT RTND sebagai pekerja profesional yang menghargai profesinya serta memerdekakan dirinya sebagai pekerja dalam artian selain melakukan kewajibannya secara penuh, PRT juga mendapatkan haknya seimbang pula.

Terkait dengan kemerdekaan dalam sebuah bangsa yang beraneka ragam, baik suku, agama, ras maupun profesi, diharapkan nantinya kemerdekaan bukan saja berarti lepas dari penjajahan, tetapi lebih pada pemerdekaan semua elemen bangsa, yang salah satunya adalah kemerdekaan bagi PRT dalam mendapatkan haknya selaku pekerja yang semestinya.

Kamis, 13 Agustus 2009

ILO Convention Draft Socialization

Upah dan Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga
Goeboeg Resto, Yogyakarta. 
Pada Rabu, 12 Agustus 2009 kemarin RTND mengadakan sosialisasi Draft Konvensi ILO kepada rekan-rekan seperjuangan dalam perlindungan terhadap hak-hak Pekerja Rumah Tangga, diantaranya: Kongres Operata Yogyakarta (KOY), Serikat PRT Tunas Mulia, Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT), Perisai, Persatuan Solidaritas Buruh (PSB), Serikat Buruh, Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), Mitra Wacana, SAMIN, PSW UGM, KPI DIY, dan lembaga non-pemerintah lainnya. Turut hadir perwakilan dari pemerintah, yaitu Ibu Niken dari Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi dan perwakilan dari KPP Provinsi.

Lita Anggraini selaku fasilitator workshop merangkap perwakilan dari JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi PRT) mengemukakan bahwa sosialisasi kali ini adalah tindak lanjut sikap JAKERLA (Jaringan Kerja Layak) PRT mewakili masyarakat atas kuesioner yang dibagikan ILO sejak bulan Maret lalu yang harus dikirimkan bulan Januari 2010 mendatang. Tujuan kuesioner ini adalah meminta pandangan negara anggota mengenai ruang lingkup dan kandungan instrumen yang diusulkan tersebut, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja yang paling representatif dan jawaban yang diterima akan membuat ILO bisa menyusun sebuah laporan untuk Konferensi.

Dalam perjalanannya, masih menurut Lita, JAKERLA PRT untuk advokasi perlindungan PRT pada Konvensi ILO adalah hasil Workshop Konsolidasi dan Rencana Strategi akhir Mei lalu yang membahas jawaban atas kuesioner ILO yang merefleksikan kebutuhan dan hak-hak PRT di Indonesia yang kemudian dilanjutkan Workshop Konsolidasi PRT Migran oleh Migrant Care yang pada akhirnya sepakat untuk membentuk aliansi jaringan PRT lokal dan migran. Diharapkan dengan penyusunan usulan bersama respon atas kuesioner untuk Konvensi ILO tentang Hak PRT oleh JAKERLA PRT ini akan benar-benar menjadi bahan pertimbangan anggota tripartit ILO sehingga nantinya JAKERLA PRT dapat mengembangkan dan mengadvokasi proposal ini agar dapat dimasukkan dalam usulan resmi pemerintah Indonesia. JAKERLA PRT kemudian mengadakan pertemuan di Jenewa, Palembang, Pontianak, Mataram,Yogyakarta yang menghasilkan draft kedua untuk dibahas dan dikritisi. 

Meski begitu, tak semuanya lantas berjalan mulus-mulus saja. Peserta sosialisasi menyorot jika memang Konvensi ILO demi melindungi PRT dan buruh ini akhirnya goal, ada ketakutan nantinya akan menjadi bumerang mengingat perdebatan sampai kini masih berlangsung seperti tentang bentuk yang diambil dalam Konferensi ILO mendatang apakah hanya rekomendasi, konvensi, konvensi yang dilampiri rekomendasi dan konvensi yang terdiri dari ketetapan dan tidak mengikat.

Sedang permasalahan mengenai isi kuesioner yang paling banyak diperdebatkan adalah tentang pekerja anak dan hak (upah) serta kerja layak bagi PRT. Untuk pekerja anak, sebagian setuju penghapusan terhadap pekerja anak, tetapi sebagian lain tak setuju karena penghapusan akan mengakibatkan banyak anak-anak kehilangan akses ekonominya. Sehingga dirasa tepat jika dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja anak mempunyai perlindungan khusus, semisal pembatasan jam kerja yang tidak mengganggu jam pendidikan yang mereka kenyam. Seperti ILO juga telah memetakan pekerjaan yang layak untuk pekerja anak.
 
Mengenai hak-hak PRT, dalam hal kelayakan upah, kekhawatiran yang muncul adalah bagaimana standar upah minimal per negara, mengingat kondisi di tiap negara beragam. Untuk hal tersebut, JAKERLA PRT akan mengadakan penelitian selama 3 bulan tentang beban kerja dan upah yang layak di masyarakat, bagaimana kesanggupan buruh dan majikan membayar upah pekerja rumah tangga. Yang terpenting, menurut Lita, bagaimana mengkampanyekan kepada masyarakat tentang keadilan, hak yang menjadi standar untuk menjadikan hidup PRT lebih baik.

Disamping itu, perdebatan yang belum rampung adalah perbedaan upah PRT dengan upah buruh, meski sudah dikategorikan sama-sama pekerja. Terlebih jika yang mempekerjakan PRT adalah buruh atau majikan kelas bawah, tentu upah yang mereka terima berbeda dengan PRT yang dipekerjakan oleh majikan kelas atas. Terbersit usulan dalam sosialisasi ini tentang adanya penetapan komponen kelayakan dalam pengupahan untuk PRT dan buruh di sektor industri. Karena kalau menetapkan secara nominal akan berubah dan berbeda-beda, sedangkan penetapan komponen bersifat fleksibel sehingga dapat menghindari pembedaan upah majikan kelas atas dan bawah. Ketika mempekerjakan PRT, maka majikan dengan tanpa melihat dari kalangan atas atau bawah tetap harus membayar pemenuhan hak sesuai standar kelayakan.

Lita sependapat bahwa penggolongan upah tidak didasarkan stratifikasi kelas atas, menengah dan bawah, tetapi berdasarkan volume kerja, jenis kerja dan beban kerja. Oleh karenanya, yang menjadi PR besar adalah komponen apa saja yang termasuk dalam komponen kerja layak.

Hal lain yang juga masih mengganjal sebagai PR bersama adalah mekanisme penyelesaian sengketa jika terjadi pelanggaran hak-hak PRT. Pertimbangannya UU PRT yang belum ada. Selain itu juga diperlukan mekanisme pengawasan di tiap pengguna jasa di tiap pekerja rumah tangga. Lita menyatakan advokasi yang diperlukan untuk melakukan hal tersebut adalah advokasi yang massive, seperti pembentukan JAKERLA ini kemudian bagaimana cara mendorong pemerintah menjalankan kewajibannya sehingga ketika Konvensi diratifikasi negara akan serta merta membuat UU. Konvensi memang akan memuat tentang aturan umum, namun tentunya hal tersebut akan diharmonisasikan dengan draft UU nasional yang masih akan terus diperjuangkan. Ibaratnya, Konvensi ILO adalah pintu gerbang perlindungan PRT tingkat nasional yang tentunya akan benar-benar melindungi hak-hak pekerja rumah tangga secara nyata dan realita.