Kamis, 01 Oktober 2009

Perjanjian Kerja: Momok Para Majikan

Nasib PRT = Selalu Kalah
PRT. Pembantu Rumah Tangga, babu kasarannya. Pekerja Rumah Tangga, begitu istilah baru yang coba diperkenalkan dan disosialisasikan satu dekade terakhir oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND), LSM yang bergerak di bidang penguatan, pendampingan dan perlindungan PRT pada masyarakat. Bicara soal nasib PRT, tentu masih lekang dalam ingatan kita kasus Ceriyati, atau yang terbaru kasus Siti Hajar, sekujur tubuh penuh bekas luka. Itu yang terekspose media, tentunya masih banyak kasus-kasus lain yang tak hanya menimpa PRT yang bekerja di luar negeri, tetapi di negeri sendiri, yang mengalami nasib serupa dengan pahlawan penyumbang devisa negara tersebut. Tetapi julukan istimewa itu ternyata tak seistimewa namanya, bahkan bertolak belakang dengan nasib mereka. Meskipun demikian, tetap jumlah tenaga kerja yang mengadu nasib keluar negeri tak surut, malah kian membengkak. Iming-iming materi, gaji dalam jumlah besar untuk menambal kebutuhan ekonomi seakan menutup mata mereka dari kekerasan yang kerap terjadi dan ketiadaan payung hukum yang menaungi.

Belum Ada Regulasi
Tak hanya PRT Migran, untuk PRT domestik pun yang nyata-nyata menjadi mayoritas pencaharian warganegara kelas bawah pun negeri ini belum bisa memberikan regulasi yang jelas. Ini sungguh ironis, mengingat peran penting pekerja rumah tangga dalam lingkup kerumahtanggaan. Namun justru lingkup kerja yang merupakan wilayah domestik atau privat itulah yang membuatnya tak terlihat dari luar sehingga pekerja rumah tangga sangat rentan terhadap kekerasan tetapi tak tersentuh hukum. Selain pola pikir masyarakat yang masih menganggap PRT adalah batur, ngemban tutur, sehingga titah majikan layaknya sabda pandita ratu yang harus dilaksanakan, tetapi hak-hak mereka tak pernah terpenuhi. Ironis bukan? Lalu siapa yang patut dipersalahkan? Mereka yang memilih profesi PRT akibat keterpaksaan ekonomi atau kah pemerintah yang hingga detik ini belum memberikan regulasi yang jelas dan spesifik mengatur upah dan kelayakan kerja bagi PRT? Saling tunjuk pun rasanya tak berguna. Yang terpenting adalah bagaimana cara memberi perlindungan bagi PRT dengan belum adanya naungan hukum. Diantaranya adalah dengan penggunaan perjanjian kerja karena salah satu penyebab kekerasan dan kelalaian hak oleh majikan disebabkan tidak adanya perjanjian kerja kedua belah pihak pada awal masa kerja sehingga majikan seperti diberi angin segar untuk melalaikan kewajiban dan ringan tangan dalam melakukan kekerasan.

Bukan Persoalan Yakin Tak Yakin
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah yakin penggunaan perjanjian kerja akan menjamin PRT memperoleh haknya? Masalahnya bukan pada yakin atau tak yakin, perjanjian kerja memang tak menjamin seratus persen PRT akan terbebas dari jerat kekerasan, namun paling tidak sembari menanti kejelasan regulasi oleh pemerintah Indonesia yang tersendat-sendat, perjanjian kerja dapat meminimalisir kelalaian hak-hak PRT oleh majikan.

Perda Yang Seolah-olah Hanya Tempelan
Meskipun demikian tak lantas perjanjian kerja bisa tersosialisasikan dengan mulus-mulus saja. Malahan, untuk level perjanjian kerja yang dapat dikategorikan level "terendah" dalam sebuah regulasi, tak banyak majikan atau pengguna jasa yang memakai perjanjian kerja sebagai sebuah kewajiban. Bahkan di dalam Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan wilayah Yogyakarta yang beberapa waktu lalu disahkan pun hanya menyebut kata DAPAT pada peraturan penggunaan perjanjian kerja. Istilah kata dapat berarti bukan sebuah keharusan, sehingga tanpa menafikan niat baik pemerintah dalam memulai langkah awal perlindungan bagi pekerja rumah tangga, sepertinya satu pasal dengan tiga ayat delegatif kearah penyusunan peraturan walikota tentang penggunaan perjanjian kerja itu seolah hanya tempelan belaka. Sebab dinilai dari segi hukum, kata DAPAT tak mencerminkan regulasi yang mengikat, dalam hal ini sanksi. Tentu saja kian melemahkan posisi perjanjian kerja untuk direalisasikan.

Momok Bagi Majikan
Selain hal-hal yang dipaparkan diatas, mayoritas majikan/pengguna jasa yang sepertinya enggan memakai perjanjian kerja lebih dikarenakan ketakutan majikan bahwasanya perjanjian tersebut hanya akan menguntungkan pihak pekerja rumah tangga (PRT). Padahal pemikiran itu adalah kekeliruan besar. Perjanjian kerja memuat kesepakatan hak dan kewajiban PRT dan majikan secara seimbang. Jadi tak hanya hak PRT, seperti upah, fasilitas, masa istirahat dan libur saja, melainkan kewajiban PRT sehingga kedua belah pihak mengerti bukan hanya hak dan kewajiban, melainkan konsekuensi yang mereka terima jika melanggar. Sekaligus memberikan pengakuan secara hukum jenis pekerjaan kerumahtanggaan ini mempunyai nilai ekonomis untuk mengatur hubungan kerja yang harmonis, produktif serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Kesadaran Yang Mendesak
Pada intinya, perjanjian kerja memang mempunyai nilai lebih untuk perlindungan pekerja rumah tangga, namun aturan yang lebih tinggi juga teramat diperlukan terutama mengingat belum adanya regulasi PRT baik di tingkat propinsi bahkan tingkat nasional. Persoalan yang paling mendesak adalah pentingnya kesadaran di tingkat majikan atau pengguna jasa akan penggunaan perjanjian kerja sebagai gerbang awal perlindungan PRT yang lebih konkrit demi terpenuhinya hak-hak pekerja rumah tangga secara keseluruhan yang selama ini telah banyak terabaikan.

Tidak ada komentar: