Jumat, 31 Juli 2009

Strategi Advokasi PRT

"Advokasi Kebijakan Publik untuk Pekerja Rumah Tangga; Membangun Kesadaran Hak-hak PRT di tangan kanan – Strategi dan Kampanye Media di tangan kiri".

Advokasi untuk sebuah kebijakan bukan sekedar membalikkan tangan. Selalu ada jalan panjang dan berliku. Lika-likunya, ternyata, juga tergantung dari para stakeholdernya sendiri. Secara umum, stakeholder advokasi adalah: Pemerintah (pusat maupun daerah/lokal daerah; yang dalam hal ini adalah Eksekutif); Dewan Perwakilan (yang dalam hal ini adalah Legislatif, selaku pembuat kebijakan publik terbut, apakah berupa produk Undang-Undang maupun Perda-Perda); serta masyarakat sipil yang akan berkenaan dengan produk kebijakan tersebut, apakah secara langsung maupun tidak langsung.

Di tingkat masyarakat sipil terdapat pro-kontra, yang memang perlu ditengahi oleh kebijakan publik tersebut. Dalam hal Kebijakan Publik untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT), untuk sisi pro dengan kebijakan public yang sedang diadvokasi tersebut, adalah mengenai posisi kerja PRT yang selama ini merupakan posisi informal, bukan merupakan bentuk pekerjaan formal. Sehingga dengan demikian posisi tawar PRT menjadi rendah serta rentan dari pelanggaran-pelanggaran. Mulai dari pelanggaran yang bersifat keadilan dan aturan ketenaga-kerjaan, hingga pelanggaran-pelanggaran HAM, seperti penyiksaan fisik. Itu sebabnya, advokasi kebijakan publik untuk PRT perlu menitik-beratkan pada membangun kesadaran hak-hak PRT itu sendiri. Memberdayakan PRT menjadi manusia yang bermartabat dan mempunyai harga diri.

Namun dilain pihak, untuk sisi kontra terhadap kebijakan yang memformalkan jenis pekerjaan ini, adalah dari pandangan tradisional, bahwa PRT adalah fungsi “pembantu” yang mengabdi pada kelas yang lebih tinggi, serta sudah mentradisi dalam budaya-budaya di nusantara ini, tidak terkecuali budaya Jawa di Yogyakarta. Itu sebabnya, di Jawa ini istilah “pembantu”, “batur” maupun “abdi” sulit diubah menjadi Pekerja, karena sifatnya yang informal dan seringkali terikat kepada keluarga hingga berpuluh-puluh tahun.

Strategi Kampanye Media

Sesungguhnya, selain para PRT yang perlu dibangun kesadarannya adalah juga para pengguna jasa PRT tersebut. Hal tersebutlah yang kemudian dilakukan melalui berbagai strategi media. Mulai dari media massa secara umum, dalam hal ini adalah Radio dan Koran. Namun juga tidak tertutup kemungkinan di masa depan melalui TV dan sarana media tekhnologi informatika. Dimana satu dengan yang lainnya mempunya korelasi dan keterkaitan untuk masing-masing penggunaan sarana medianya.

Pembuatan film, sebagai sarana penyadaran kepada kedua belah pihak, baik PRT di satu sisi, maupun pengguna jasa dilain sisi, juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Hal yang mungkin dianggap sederhana, seperti kampanye melalui T-Shirt mengenai perjanjian kerja / kontrak kerja, ternyata merupakan sarana untuk mengingatkan para pengguna jasa, bahwa jasa PRT perlu dihargai, yang diwujudkan dalam bentuk kontrak kerja.

Dimana semua strategi-strategi tersebut dapat dilakukan mulai dari tingkatan lokal hingga tingkat nasional secara bersinergi dan serentak bersama-sama.

Fungsi Perpustakaan

Salah satu pendukung dalam keberhasilan advokasi adalah adanya perpustakaan. Dimana di perpustakaan semestinya merupakan tempat untuk menggali informasi-informasi dasar yang digunakan untuk membantu analisa yang diperlukan untuk menjalankan advokasi.

Namun, seperti kita lihat, perpustakaan di RTND kurang berfungsi dengan sebagaimana mestinya. Sulit untuk mendapatkan koleksi buku yang diperlukan sebagai bahan-bahan untuk mengadakan advokasi dan membangun kesadaran baik bagi PRT maupun bagi pengguna jasa.
Dengan tidak berfungsinya perpustakaan dengan maksimal, maka juga tidak diketahui, koleksi buku apa yang sudah ada dan apa yang belum untuk untuk kebutuhan advokasi tersebut.

Untuk itu, fungsi-fungsi perpustakaan dengan sistim pengklasifikasin yang jelas, akan sangat membantu kerja-kerja advokasi. Dan juga tidak tertutup kemungkinan, kerja-kerja dari divisi lain di RTND.

Sukabumi, 28 Juli 2009
Ditulis oleh : Naila Zain

Kasus PRT asal Salatiga disiksa majikan di Bogor Kapolres sarankan keluarga buat laporan

Wednesday, 01 July 2009
Kasus PRT asal Salatiga disiksa majikan di Bogor
Kapolres sarankan keluarga buat laporan
SALATIGA - Keluarga Sri Kusmiyati, disarankan membuat laporan secara resmi. Hal ini terkait kasus penyiksaan yang menimpa Sri Kusmiyati (46), pembantu rumah tangga warga Jalan Jambu RT 02 RW III, Kelurahan Kalicacing Salatiga, yang disiksa majikannya di Bogor.
Hal ini diungkapkan Kapolres Salatiga AKBP Agus Rohmat, ketika melakukan ziarah ke makam sejumlah anggota Polri di TPU Sidomukti, Selasa (30/6). Dijelaskan kapolres, pihaknya telah menindaklanjuti kasus tersebut dengan mengirim tim untuk melakukan pengecekan terhadap kondisi korban.
”Kami juga melakukan penyelidikan, manakala dicurigai merupakan tindak pidana. Karena itu saya harapkan pihak keluarga membuat laporan secara hukum agar bisa ditindaklanjuti dan diproses secara hukum,” kata Agus Rohmat.
Dan nantinya, lanjut kapolres, dari laporan tersebut, Polres Salatiga dapat meneruskannya kepada pihak berwenang di tempat kejadian perkara dugaan penganiayaan yakni di Bogor.
Dari pengamatan Wawasan di tempat korban dirawat di ruang Mawar kamar no 7 RSUD Salatiga kemarin, kondisi korban masih tampak syok. Meski demikian Kepala Penerangan RSUD Salatiga, dr Agus Sunaryo menjelaskan, kondisi korban mulai membaik. Hal ini ditandai dengan peningkatan gerak matanya.
”Saat kali pertama masuk RSUD masih koma. Sebelumnya mata (E3) sekarang E4 atau mulai bereaksi sebelumnya. Bicara atau verbal sebelumnya V2 sekarang V3 dan motorik sebelumnya M3 sekarang M6,” terang dr Agus Sunaryo setelah melakukan cek ulang terhahap korban.
Korban mendapatkan penanganan khusus dari dokter syaraf RSUD Salatiga yakni dr Gama Sita Setya Prawtiwi. Dokter Agus menambahkan, pihak RSUD akan menangani pengobatan korban hingga tuntas meski yang bersangkutan menggunakan kartu Jamkesmas.
Seperti diketahui, korban dipulangkan pihak majikan dalam keadaan koma. Di sekujur tubuhnya terdapat luka bekas seterika. Korban bekerja sebagai PRT di rumah sebuah keluarga di Bogor, Jabar. rna/SR

Dikutip dari www.wawasandigital.com. Posted by Alvi

Selamatkan Pekerja Rumah Tangga

Jakarta - Kasus kekerasan yang melanggar HAM dan di luar batas kemanusiaan kembali menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja pada sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Malaysia. Kali ini menimpa Siti Hajar TKW asal Jawa Barat.

Siti mengalami luka di bagian wajah dan sekujur tubuhnya. Menurut pengakuannya selain dipukul dengan kayu dan disiram air panas Siti tidak diberi makan yang layak dan dipaksa makan daging babi. Padahal Siti seorang Muslimah.

Malaysia saat ini merupakan salah satu negara tujuan utama pengiriman TKI. Menurut data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur jumlah TKI di Malaysia adalah 1,2 juta orang yang legal dan sekitar 800.000 orang yang ilegal. Jumlah ini merupakan angka yang sangat fantastis dalam gelombang migrasi Indonesia ke Malaysia. Salah satu sektor yang paling banyak dikirim adalah sektor informal atau PRT.

Kalau mendengar pemberitaan media mengenai nasib di negeri jiran memang sungguh memilukan. Bermula tahun 2004 kasus Nirmala Bonat yang membuat dunia international membuka mata mengenai buruknya perlakuan majikan terhadap PRT di Malaysia.

Kasus Nirmala Bonat ini ternyata membuahkan ide untuk membantuk sebuah MoU (Memorandum of Understanding) pekerja informal antara pemerintah Indonesia dan Malaysia. Walaupun MoU tersebut baru bisa terealisasi pada tahun 2006. Ternyata pembuatan MoU tersebut juga tidak memiliki implikasi yang positif terhadap nasib PRT kita di Malaysia.

MoU tersebut tidak memiliki pijakan hukum yang kuat karena tidak ada sanksi bagi majikan atau agensi yang melanggar aturan tersebut. MoU yang pembuatannya memerlukan waktu bertahun-tahun tersebut lebih bersifat seperti buku panduan atau pun pedoman dalam proses perekrutan dan penempatan PRT Indonesia di Malaysia.

Setelah banyak kasus yang terjadi belakangan ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Instruksi Presiden No 6 Tahun 2006 tentang Reformasi Kebijakan Penempatan dan Perlidungan TKI yang mengamanahkan kepada Tim Pokja Penempatan dan Perlindungan TKI untuk membuat kebijakan reformis terhadap penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Namun, tetap saja tidak berjalan dengan baik karena terlalu banyak instansi yang terlibat dan kurang memahami permasalahan TKI.

Saat ini perundingan dan pembahasan mengenai MoU pekerja formal maupun informal sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia. Bagi penulis seharusnya ini adalah momen penting bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah MoU menjadi Memorandum of Agreement (MoA) yang lebih mengikat negera penerima. Menurut hemat penulis ada beberapa hal yang harus diperjuangkan oleh pemerintah dalam memberikan perlindungan dini dan memperjuangakan hak-hak TKI khususnya PRT tersebut yaitu:

1. Bekerja pada Majikan yang Berbeda Agama
Banyak kisah-kisah memilukan yang saya dapat apabila pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia bekerja pada majikan yang berbeda agama. Mereka dilarang beribadah, dipaksa memasak dan memakan daging babi yang bagi seorang Muslim diharamkan, mengurus dan memandikan anjing, dan bahkan ada beberapa kasus di mana PRT kita dipaksa pindah agama.

Pemerintah Indonesia dan Pengarah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) harus bisa memberikan perlindungan dari perbuatan pelanggaran hak beragama oleh majikan, dan melarang atau tidak mengizinkan PRT bekerja pada majikan yang berbeda agama. Dengan dicantumkannnya perjanjian antara Indonesia dan Malaysia maka pengekangan dalan menjalankan ibadah dapat dihindari.

Sebaiknya PRT yang Muslim bekerja pada majikan Muslim dan PRT non Muslim bekerja pada majikan yang non Muslim. Karena, menurut data Persatuan Agensi Pembantu Rumah Asing (PAPA) di Malaysia bahwa hampir 70% pengguna PRT di Malaysia atas bertenis Cina dan India yang sudah tentu non Muslim.

Biasanya bila mereka bekerja pada majikan non Muslim mereka terpaksa harus memakan apa yang dimakan majikannya. Kadangkala juga harus mengurus dan memandikan anjing yang sudah tentu haram bagi seorang Muslim.

2. Passpor Ditahan Majikan
Kesalahan fatal apabila dalam MoU pekerja formal tahun 2004 antara pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menyepakati bahwa passport ditahan oleh majikan. Kesepakatan ini ternyata telah dimanfaatkan oleh majikan ataupun pemerintah Malaysia untuk menekan pekerja apabila menuntut hak-haknya.

Majikan sering sekali mengancam pekerja rumah tangga akan membuangnya atau pun melaporkannya kepada polisi karena tidak memiliki paspor. Majikan dengan sewenang-wenang akan menindas pekerja rumah tangga karena tidak memegang dokumen. Akhirnya banyak PRT yang lari dari rumah majikannya dan menjadi pekerja ilegal.

Kebijakan ini harus segera dicabut dan direvisi dalam MoU yang baru. Paspor ditahan oleh majikan sebenarnya telah melanggar hak dasar seseorang dan dalam Undang-undang Keimigrasian Malaysia bisa dikenakan saksi yang berat.

3. Tidak Ada Hari Libur
Kualitas hidup PRT Indonesia di Malaysia sungguh memprihatikan. Mereka rata-rata bekerja 18-20 jam per hari dan tidak diberikan waktu libur. Majikan berpendapat bahwa kalau PRT diberikan waktu libur mereka akan lari dan menimbulkan masalah.

Kasus-kasus yang selama ini PRT lari dari majikan justru karena tekanan kerja yang terlalu berat dan pengekangan kebebasan yang dilakukan oleh majikan. Bahkan, banyak ditemui PRT dipekerjakan di beberapa rumah dalam satu keluarga. Sehingga, wajar saja apabila kasus PRT lari di Malaysia sangat tinggi.

Menurut data Imigrasi Malaysia dalam 5 tahun terakhir ada sekitar 50.000 PRT asing yang lari dari majikannya. Atau rata-rata setiap bulan 1.200 PRT lari. 90% adalah PRT asal Indonesia.

Sebagai manusia PRT juga memerlukan waktu untuk beristirahat dan menyegarkan kondisi fisik dan psikisnya. Libur sering sekali disalahartikan oleh majikan. Termasuk kekhawatiran Pemerintah Malaysia. Apabila 300.000 PRT diberikan libur maka Kuala Lumpur akan penuh sesak dengan PRT setiap minggunya.

Kebijakan ini sebenarnya bisa diatasi apabila libur yang diberikan tidak semestinya PRT tersebut pergi meninggalkan rumah majikan. Namun, bisa juga direhatkan dari jam kerja dan PRT diberikan waktu bersosialisasi dengan teman sesama PRT-nya di lingkungan setempat atau pun ditemani oleh majikan.

Dengan adanya kesempatan bersosialisasi tersebut maka kemungkinan PRT mengalami kekerasan dapat diminimalisir. Karena, mereka dapat mengetahui kondisi lingkungan setempat dan apabila PRT mengalami kekerasan oleh majikan ia dapat memberikan informasi kepada rekan atau pun pihak berwenang di Malaysia.

Selama ini yang terjadi adalah PRT tidak dibenarkan libur dan bahkan tidak dibenarkan untuk keluar rumah. Pemerintah harus bisa memperjuangkan hak-hak libur kepada PRT. Dengan demikian diharapkan perlakuan dari majikan akan bertambah baik karena mereka khawatir PRT akan lari kalau diperlakukan dengan buruk.

4. Agensi Perseorangan
Undang-undang No 39 Tahun 2004 sudah menegaskan bahwa pengiriman TKI ke luar negeri harus melalui agensi yang resmi untuk menghindari terjadinya perdagangan manusia. Di suatu sisi Pemerintah Indonesia melarang agensi perseorangan. Sedangkan pemerintah Malaysia masih membolehkan pengambilan PRT secara perseorangan.

Kebijakan yang tumpang tindih ini harus segera dihapus karena MoU pekerja informal tahun 2004 masih membolehkan majikan mengambil PRT secara perseorangan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Undang-udang No 39 Tahun 2004.

Pengambilan PRT secara langsung perseorangan membuat PRT kita lemah dalam perlindungan dan pihak pemerintah tidak mengetahui keberadaan mereka sehingga tidak terlindungi oleh asuransi dan bertentangan dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh BNP2TKI atau pemerintah dalam penempatan TKI di luar negeri.

Banyak kasus apabila TKI mengalami penganiayaan, gaji tidak dibayar, maka tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Keberadaan majikan tidak bisa dilacak. Salah satu yang menyebabkan terjadinya perekrutan ilegal tersebut adalah biaya perekrutan yang mahal.

Untuk mendapatkan PRT Indonesia majikan di Malaysia harus mengeluarkan uang RM 6,000 (Rp 18,000,000) dan PRT dikenakan hutang dengan potongan gaji selama 5-6 bulan. Karena sistem seperti ini menjerat PRT, karena PRT menjadi obyek dagangan, dan harus menerima kondisi kerja yang berat karena majikan menganggap sudah membayar mahal. Padahal pihak agensi dan PJTKI-lah yang mendapatkan keuntungan. Sementara mereka harus rela selama 5-6 bulan tidak menerima gaji.

Untuk itu pemerintah diharapkan menekan semua biaya keberangkatan PRT. Bahkan, bila perlu meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak menarik pajak keimigrasian (levy) karena PRT di Malaysia merupakan salah satu kebutuhan pokok. Banyak keluarga yang sangat tergantung dengana adanya PRT.

5. Peningkatan Kualitas PRT
Salah satu masalah mendasar dari permasalahan PRT adalah karena tingkat kualitas pendidikan yang rendah. Minimnya skill dan tingginya faktor penipuan yang dilakukan oleh pihak penyalur, lemahnya pengetahuan tentang hukum dan penyalur tenaga kerja sering sekali tidak memperhatikan tentang aspek keselamatan kerja. Mereka hanya memikirkan keuntungan semata.

Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas. Pemalsuan dokumen, penipuan, dan janji oleh para sponsor tentang kondisi pekerjaan yang dijanjikan serta pembatasan minimum pendidikan bagi calon PRT harus dilakukan. Karena, banyak ditemui PRT yang tidak bisa membaca dan menulis sehingga menyulitkan apabila terjadi kasus. PRT tersebut tidak bisa melawan dan beragumen tentang hak-haknya.

Majikan di Malaysia akhirnya pun sering melebelkan orang Indonesia secara umum sebagai orang yang bodoh dan miskin. Mereka menilai dari apa dilihat dari PRT Indonesia.

6. Lembaga Monitoring dan Penguatan Lembaga
Sudah seharusnya karena kondisi pekerjaan yang rentan pemerintah membentuk lembaga monitoring khusus PRT yang akan memantau dan memberikan perlindungan bagi PRT Indonesia. Dengan adanya lembaga monitoring maka diharapkan keberadaan PRT dapat terpantau dan apabila PRT mengalami perlakuan buruk maka akan mudah untuk memberikan perlindungan.

Menurut data BNP2TKI saat ini jumlah TKI yang bekerja di luar negeri mencapai angka 6 juta orang. Tentunya keseriusan pemerintah dalam memberikan pelayanan dan perlindungan yang terbaik kepada pahlawan devisa harus segara ditingkatkan.

Bila perlu pemerintah membentuk kementerian negara khusus dalam hal penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sehingga pelayanan TKI satu atap, mudah, murah, dan aman. Karena, negara pemasok pekerja migran lain seperti India dan Bangladesh sudah memulainya dan sangat efektif dalam menentukan kebijakan pengiriman dan perlindungan pekerjanya di luar negeri.

Selama ini permasalahan TKI selalu menjadi rebutan berbagai instansi pemerintah. Padahal mereka tidak memahami betul permasalahan TKI di luar negeri.

Enam hal yang mendasar inilah yang menjadi salah satu puncak permasalahan PRT Indonesia di Malaysia. Apabila 6 di atas tidak bisa diperjuangkan oleh pemerintah sudah sepatutnya pemerintah menghentikan pengiriman TKI informal PRT.

Kalau pemerintah selalu diam, anak bangsa dihina dan caci karena label kemiskinan dan kebodohan, maka wajarlah bangsa kita lama kelamaan akan dicap sebagai bangsa 'babu' yang hanya mementingkan remittance dan pengurangan pengangguran secara instan. Karena, kedaulatan sebuah negara bukan hanya masalah pelanggaran teritorial wilayah, namun juga menyangkut harkat dan martabat bangsa. Wallahualam.

Posted by Solia Mince Muzir

Jumat, 03 Juli 2009

Perjalanan Ke Benteng Vredeburg

Pada tanggal 02 Juli 2009, kami jalan-jalan ke Benteng Vredeburg. Sebelum kami berangkat, kami bersih-bersih dan memasak serta menyiapkan bekal. Setelah semua selesai kami diberi uang untuk ongkos dan makan oleh mbak Shanti. Kami berangkat dari asrama pukul 09.30 WIB. Kami dipandu oleh mbak Shanti dan Mas Lukman.

Kami akan menaiki bus jalur 15 dan kami harus berjalan kaki sampai di pasar Ketela. Sambil berjalan kami diberi tahu tentang daerah sekitar. Setelah kami mendapatkan bus dan sampai di tempat tujuan, kami turun di depan BNI. Setelah itu kami diberi tahu bahwa jalan yang ada disitu adalah jalan 0 kilometer dan kami langsung melanjutkan perjalanan ke Benteng Vredeburg dan di depan benteng itu terdapat sebuah bangunan besar yang diberi nama Bangunan Agung. Kami juga melihat sebuah patung yang menceritakan terjadinya serangan umum 1 Maret.

Sebelum kami memasuki benteng Vredeburg, kami harus membeli karcis dengan harga Rp. 750,-. Setelah memasuki benteng, kami melihat dua buah patung yang berdiri tepat di pintu masuk patung itu, bernama: J. Soedirman dan LJ. Soemoharjo, lalu kami memasuki ruang pertama. Di ruang itu terdapat beberapa patung yang menceritakan tentang sejarah sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan. Salah satunya terdapat patung yang menceritakan pertemuan Pangeran Diponegoro dengan para pengikutnya di Gua Selarong pada tanggal Juli 1825.

Setelah kami selesai melihat isi di ruang pertama, kami merasa capek dan kami istirahat di teras ruang dua. Setelah beberapa menit, kami memasuki ruang dua. Seperti di ruang pertama, kami melihat-lihat patung yang menceritakan sejarah dan kami melihat dua orang bule yang sedang melihat-lihat dan mendengarkan cerita dari tour gaet, lalu kami keluar dan beristirahat di teras lagi. Setelah itu kami keluar mencari minum bersama mbak Dian. Setelah kami selesai minum, kami kembali ke dalam. Di dalam, kami melihat beberapa orang yang menawarkan tentang keajaiban dunia, yaitu pulau Komodo dan kami akan mendapat sebuah kaos bila mengisi formulir. Setelah lama kami beristirahat, kami memutuskan untuk mencari makan siang di pasar Bering Harjo. Kami berjalan mencari tempat makan dan kami menemukan sebuah warung makan. Kami tidak makan karena kami merasa capek dan pusing dan kami hanya minum. Setelah minum kami pulang melalui jalur 2. Kami turun di depan toko Sinar Mandiri.

Setelah turun kami berjalan ke asrama. Setelah sampai asrama kami beristirahat sebentar, lalu masak dan makan siang. Setelah makan siang kami beristirahat kembali sampai sore.

Ditulis oleh Kelompok II Sekolah PRT RTND Angkatan 16 yang beranggotakan: Dewi, Eva, Martini dan Novi

Went To The Benteng Vredeburg

Pada hari Kamis, 02 Juli 2009, kami diajak jalan-jalan. Sebelum kami berangkat, kami dibagi menjadi dua kelompok yang didampingi oleh Kak Shanti, Kak Dian, Mas Nono, Mas Lukman serta Kak Hayu. Kami berjalan sampai ke halte bus. Ternyata lumayan jauh. Setelah menunggu tak begitu lama, kami akhirnya naik bus jalur 16 dengan ongkos Rp. 2500,-. Kami naik di depan RSU Wirosaban dan turun di Jalan Lowanu.

Sampai disana kami melihat diorama sejarah perjuangan kemerdekaan RI. Kami melewati jalan yang menjadi pusat perbelanjaan dan wisata di kota Jogja, yaitu jalan Malioboro. Kami melihat bangunan megah di depan Benteng Vredeburg, yaitu Gedung Agung Kepresidenan. Sebelum masuk diorama terdapat dua patung pahlawan nasional yang bernama Soemoharjo dan Soedirman. Di salah satu diorama terdapat sebuah miniatur yang mengingatkan kami akan perjuangan pahlawan pendidikan, yaitu Ki Hajar Dewantara. Jika kami mengingat pahlawan ini, maka kami akan teringat akan pesannya yang berbunyi: Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, tut Wuri Handayani. Selain itu, kami juga melihat tokoh-tokoh yang dahulu memperjuangkan kemerdekaan RI, antara lain:
- Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya di Gua Selarong pada bulan Juli 1825. Pada tanggal 21 Juli 1825 satu detasemen Belanda yang dipimpin oleh asisten presiden Dhevalue mengepung Dalem Tegalrejo.
- Gedung Wilis Kepatihan Yogyakarta. Saksi sejarah pertemuan Sri Sultan HB IX dengan kelompok pemuda untuk mendukung Proklamasi 17 Agustus 1945.

Setelah kami selesai melihat diorama kami istirahat di teras diorama dua sambil menunggu pendamping kami yang sedang mengisi formulir untuk mendapatkan kaos gratis tentang 7 keajaiban dunia dengan judul Vote Komodo. Kami juga melihat banyak turis yang sedang berwisata. Ada dua orang teman kami yang ke-pede-an bahwa turisnya akan mendekati kedua orang tersebut. Ternyata, tidak dan dia malu. Kasihan sekali sih….

Setelah kita lama menunggu pendamping yang sedang mencari gratisan baju, kami keluar sebentar untuk mencari minuman. Setelah kami mendapatkan minum, kami kembali. Setelah pendamping kami mendapat gratisan kaos, kami segera pulang melewati pasar Bering Harjo. Kami berhenti sebentar di warung makan, lalu kami segera pulang bersama-sama naik bus jalur 2.

Di dalam bus, kami melihat banyak kendaraan, seperti dokar, becak, dll. Setelah sampai di depan toko Sinar Mandiri kami diberhentikan dan kami berjalan dari toko Sinar Mandiri sampai ke asrama RTND. Walaupun perjalanannya melelahkan, tapi semuanya itu terbayarkan oleh pengalaman baru yang sangat berkesan.

Ditulis oleh Kelompok I Sekolah PRT RTND Angkatan 16 yang beranggotakan: Ester, Fitri, Miati, Wiwik dan Yuliana.