Jumat, 31 Juli 2009

Selamatkan Pekerja Rumah Tangga

Jakarta - Kasus kekerasan yang melanggar HAM dan di luar batas kemanusiaan kembali menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja pada sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Malaysia. Kali ini menimpa Siti Hajar TKW asal Jawa Barat.

Siti mengalami luka di bagian wajah dan sekujur tubuhnya. Menurut pengakuannya selain dipukul dengan kayu dan disiram air panas Siti tidak diberi makan yang layak dan dipaksa makan daging babi. Padahal Siti seorang Muslimah.

Malaysia saat ini merupakan salah satu negara tujuan utama pengiriman TKI. Menurut data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur jumlah TKI di Malaysia adalah 1,2 juta orang yang legal dan sekitar 800.000 orang yang ilegal. Jumlah ini merupakan angka yang sangat fantastis dalam gelombang migrasi Indonesia ke Malaysia. Salah satu sektor yang paling banyak dikirim adalah sektor informal atau PRT.

Kalau mendengar pemberitaan media mengenai nasib di negeri jiran memang sungguh memilukan. Bermula tahun 2004 kasus Nirmala Bonat yang membuat dunia international membuka mata mengenai buruknya perlakuan majikan terhadap PRT di Malaysia.

Kasus Nirmala Bonat ini ternyata membuahkan ide untuk membantuk sebuah MoU (Memorandum of Understanding) pekerja informal antara pemerintah Indonesia dan Malaysia. Walaupun MoU tersebut baru bisa terealisasi pada tahun 2006. Ternyata pembuatan MoU tersebut juga tidak memiliki implikasi yang positif terhadap nasib PRT kita di Malaysia.

MoU tersebut tidak memiliki pijakan hukum yang kuat karena tidak ada sanksi bagi majikan atau agensi yang melanggar aturan tersebut. MoU yang pembuatannya memerlukan waktu bertahun-tahun tersebut lebih bersifat seperti buku panduan atau pun pedoman dalam proses perekrutan dan penempatan PRT Indonesia di Malaysia.

Setelah banyak kasus yang terjadi belakangan ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Instruksi Presiden No 6 Tahun 2006 tentang Reformasi Kebijakan Penempatan dan Perlidungan TKI yang mengamanahkan kepada Tim Pokja Penempatan dan Perlindungan TKI untuk membuat kebijakan reformis terhadap penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Namun, tetap saja tidak berjalan dengan baik karena terlalu banyak instansi yang terlibat dan kurang memahami permasalahan TKI.

Saat ini perundingan dan pembahasan mengenai MoU pekerja formal maupun informal sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia. Bagi penulis seharusnya ini adalah momen penting bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah MoU menjadi Memorandum of Agreement (MoA) yang lebih mengikat negera penerima. Menurut hemat penulis ada beberapa hal yang harus diperjuangkan oleh pemerintah dalam memberikan perlindungan dini dan memperjuangakan hak-hak TKI khususnya PRT tersebut yaitu:

1. Bekerja pada Majikan yang Berbeda Agama
Banyak kisah-kisah memilukan yang saya dapat apabila pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia bekerja pada majikan yang berbeda agama. Mereka dilarang beribadah, dipaksa memasak dan memakan daging babi yang bagi seorang Muslim diharamkan, mengurus dan memandikan anjing, dan bahkan ada beberapa kasus di mana PRT kita dipaksa pindah agama.

Pemerintah Indonesia dan Pengarah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) harus bisa memberikan perlindungan dari perbuatan pelanggaran hak beragama oleh majikan, dan melarang atau tidak mengizinkan PRT bekerja pada majikan yang berbeda agama. Dengan dicantumkannnya perjanjian antara Indonesia dan Malaysia maka pengekangan dalan menjalankan ibadah dapat dihindari.

Sebaiknya PRT yang Muslim bekerja pada majikan Muslim dan PRT non Muslim bekerja pada majikan yang non Muslim. Karena, menurut data Persatuan Agensi Pembantu Rumah Asing (PAPA) di Malaysia bahwa hampir 70% pengguna PRT di Malaysia atas bertenis Cina dan India yang sudah tentu non Muslim.

Biasanya bila mereka bekerja pada majikan non Muslim mereka terpaksa harus memakan apa yang dimakan majikannya. Kadangkala juga harus mengurus dan memandikan anjing yang sudah tentu haram bagi seorang Muslim.

2. Passpor Ditahan Majikan
Kesalahan fatal apabila dalam MoU pekerja formal tahun 2004 antara pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menyepakati bahwa passport ditahan oleh majikan. Kesepakatan ini ternyata telah dimanfaatkan oleh majikan ataupun pemerintah Malaysia untuk menekan pekerja apabila menuntut hak-haknya.

Majikan sering sekali mengancam pekerja rumah tangga akan membuangnya atau pun melaporkannya kepada polisi karena tidak memiliki paspor. Majikan dengan sewenang-wenang akan menindas pekerja rumah tangga karena tidak memegang dokumen. Akhirnya banyak PRT yang lari dari rumah majikannya dan menjadi pekerja ilegal.

Kebijakan ini harus segera dicabut dan direvisi dalam MoU yang baru. Paspor ditahan oleh majikan sebenarnya telah melanggar hak dasar seseorang dan dalam Undang-undang Keimigrasian Malaysia bisa dikenakan saksi yang berat.

3. Tidak Ada Hari Libur
Kualitas hidup PRT Indonesia di Malaysia sungguh memprihatikan. Mereka rata-rata bekerja 18-20 jam per hari dan tidak diberikan waktu libur. Majikan berpendapat bahwa kalau PRT diberikan waktu libur mereka akan lari dan menimbulkan masalah.

Kasus-kasus yang selama ini PRT lari dari majikan justru karena tekanan kerja yang terlalu berat dan pengekangan kebebasan yang dilakukan oleh majikan. Bahkan, banyak ditemui PRT dipekerjakan di beberapa rumah dalam satu keluarga. Sehingga, wajar saja apabila kasus PRT lari di Malaysia sangat tinggi.

Menurut data Imigrasi Malaysia dalam 5 tahun terakhir ada sekitar 50.000 PRT asing yang lari dari majikannya. Atau rata-rata setiap bulan 1.200 PRT lari. 90% adalah PRT asal Indonesia.

Sebagai manusia PRT juga memerlukan waktu untuk beristirahat dan menyegarkan kondisi fisik dan psikisnya. Libur sering sekali disalahartikan oleh majikan. Termasuk kekhawatiran Pemerintah Malaysia. Apabila 300.000 PRT diberikan libur maka Kuala Lumpur akan penuh sesak dengan PRT setiap minggunya.

Kebijakan ini sebenarnya bisa diatasi apabila libur yang diberikan tidak semestinya PRT tersebut pergi meninggalkan rumah majikan. Namun, bisa juga direhatkan dari jam kerja dan PRT diberikan waktu bersosialisasi dengan teman sesama PRT-nya di lingkungan setempat atau pun ditemani oleh majikan.

Dengan adanya kesempatan bersosialisasi tersebut maka kemungkinan PRT mengalami kekerasan dapat diminimalisir. Karena, mereka dapat mengetahui kondisi lingkungan setempat dan apabila PRT mengalami kekerasan oleh majikan ia dapat memberikan informasi kepada rekan atau pun pihak berwenang di Malaysia.

Selama ini yang terjadi adalah PRT tidak dibenarkan libur dan bahkan tidak dibenarkan untuk keluar rumah. Pemerintah harus bisa memperjuangkan hak-hak libur kepada PRT. Dengan demikian diharapkan perlakuan dari majikan akan bertambah baik karena mereka khawatir PRT akan lari kalau diperlakukan dengan buruk.

4. Agensi Perseorangan
Undang-undang No 39 Tahun 2004 sudah menegaskan bahwa pengiriman TKI ke luar negeri harus melalui agensi yang resmi untuk menghindari terjadinya perdagangan manusia. Di suatu sisi Pemerintah Indonesia melarang agensi perseorangan. Sedangkan pemerintah Malaysia masih membolehkan pengambilan PRT secara perseorangan.

Kebijakan yang tumpang tindih ini harus segera dihapus karena MoU pekerja informal tahun 2004 masih membolehkan majikan mengambil PRT secara perseorangan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Undang-udang No 39 Tahun 2004.

Pengambilan PRT secara langsung perseorangan membuat PRT kita lemah dalam perlindungan dan pihak pemerintah tidak mengetahui keberadaan mereka sehingga tidak terlindungi oleh asuransi dan bertentangan dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh BNP2TKI atau pemerintah dalam penempatan TKI di luar negeri.

Banyak kasus apabila TKI mengalami penganiayaan, gaji tidak dibayar, maka tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Keberadaan majikan tidak bisa dilacak. Salah satu yang menyebabkan terjadinya perekrutan ilegal tersebut adalah biaya perekrutan yang mahal.

Untuk mendapatkan PRT Indonesia majikan di Malaysia harus mengeluarkan uang RM 6,000 (Rp 18,000,000) dan PRT dikenakan hutang dengan potongan gaji selama 5-6 bulan. Karena sistem seperti ini menjerat PRT, karena PRT menjadi obyek dagangan, dan harus menerima kondisi kerja yang berat karena majikan menganggap sudah membayar mahal. Padahal pihak agensi dan PJTKI-lah yang mendapatkan keuntungan. Sementara mereka harus rela selama 5-6 bulan tidak menerima gaji.

Untuk itu pemerintah diharapkan menekan semua biaya keberangkatan PRT. Bahkan, bila perlu meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak menarik pajak keimigrasian (levy) karena PRT di Malaysia merupakan salah satu kebutuhan pokok. Banyak keluarga yang sangat tergantung dengana adanya PRT.

5. Peningkatan Kualitas PRT
Salah satu masalah mendasar dari permasalahan PRT adalah karena tingkat kualitas pendidikan yang rendah. Minimnya skill dan tingginya faktor penipuan yang dilakukan oleh pihak penyalur, lemahnya pengetahuan tentang hukum dan penyalur tenaga kerja sering sekali tidak memperhatikan tentang aspek keselamatan kerja. Mereka hanya memikirkan keuntungan semata.

Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas. Pemalsuan dokumen, penipuan, dan janji oleh para sponsor tentang kondisi pekerjaan yang dijanjikan serta pembatasan minimum pendidikan bagi calon PRT harus dilakukan. Karena, banyak ditemui PRT yang tidak bisa membaca dan menulis sehingga menyulitkan apabila terjadi kasus. PRT tersebut tidak bisa melawan dan beragumen tentang hak-haknya.

Majikan di Malaysia akhirnya pun sering melebelkan orang Indonesia secara umum sebagai orang yang bodoh dan miskin. Mereka menilai dari apa dilihat dari PRT Indonesia.

6. Lembaga Monitoring dan Penguatan Lembaga
Sudah seharusnya karena kondisi pekerjaan yang rentan pemerintah membentuk lembaga monitoring khusus PRT yang akan memantau dan memberikan perlindungan bagi PRT Indonesia. Dengan adanya lembaga monitoring maka diharapkan keberadaan PRT dapat terpantau dan apabila PRT mengalami perlakuan buruk maka akan mudah untuk memberikan perlindungan.

Menurut data BNP2TKI saat ini jumlah TKI yang bekerja di luar negeri mencapai angka 6 juta orang. Tentunya keseriusan pemerintah dalam memberikan pelayanan dan perlindungan yang terbaik kepada pahlawan devisa harus segara ditingkatkan.

Bila perlu pemerintah membentuk kementerian negara khusus dalam hal penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sehingga pelayanan TKI satu atap, mudah, murah, dan aman. Karena, negara pemasok pekerja migran lain seperti India dan Bangladesh sudah memulainya dan sangat efektif dalam menentukan kebijakan pengiriman dan perlindungan pekerjanya di luar negeri.

Selama ini permasalahan TKI selalu menjadi rebutan berbagai instansi pemerintah. Padahal mereka tidak memahami betul permasalahan TKI di luar negeri.

Enam hal yang mendasar inilah yang menjadi salah satu puncak permasalahan PRT Indonesia di Malaysia. Apabila 6 di atas tidak bisa diperjuangkan oleh pemerintah sudah sepatutnya pemerintah menghentikan pengiriman TKI informal PRT.

Kalau pemerintah selalu diam, anak bangsa dihina dan caci karena label kemiskinan dan kebodohan, maka wajarlah bangsa kita lama kelamaan akan dicap sebagai bangsa 'babu' yang hanya mementingkan remittance dan pengurangan pengangguran secara instan. Karena, kedaulatan sebuah negara bukan hanya masalah pelanggaran teritorial wilayah, namun juga menyangkut harkat dan martabat bangsa. Wallahualam.

Posted by Solia Mince Muzir

Tidak ada komentar: