Sabtu, 24 Oktober 2009

YUNI: PRT Asal Kebumen Gantung Diri

BANGUNTAPAN – Baru beberapa hari bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT), gadis muda yang belakangan diketahui bernama Yuni (23), kamis (22/10) pukul 16.00 WIB, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri dengan menggunakan kain selendang yang diikatkan pada salah satu kusen di rumah majikannya. Kenekatan korban menggegerkan warga di Perumahan Gedongkuning Gang Jambu No 845 Bangutapan Bantul.

Menerima laporan dari dua saksi kejadian Rudi Budi Siswanto (46) warga Perum Gedongkuning Gang Belimbing, Banguntapan dan Joko Supriyanto (35) warga Perum Gedongkuning gang Jambu Banguntapan, Kapolsek Banguntapan AKP Iqbal Yudi bersama anggota gabungan Samapta Reskrim dan anggota Identifikasi Polres Bantul langsung lakukan penyelidikan dan olah TKP di lokasi kejadian. Selanjutnya, anggota gabungan menurunkan jenazah korban dan mengamankan kain selendang yang digunakan untuk gantung diri untuk dijadikan barang bukti.

Selanjutnya, jenazah Yuni, warga Gombong, Kebumen, Jawa Tengah dievakuasi ke kamar mayat di RSUP Dr. Sardjito untuk diotopsi oleh Tim Forensik rumah sakit setempat. Hal itu dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian PRT yang baru beberapa hari bekerja di rumah Joko Supriyanto.

Korban pertama kali diketahui oleh saksi Rudi Sisweanto yang tak lain adalah teman majikan korban,Joko Supriyanto (39. saat itu saksi kebetulan hendak menemui majikan korban di rumahnya. Namun sampai di rumah majikan korban, keadaan rumah sepui. Untuk itu, RudiBudi Siswanto masuk ke dalam rumah majikan korban. Namun, saat akan mengambil air minum di dapur ia kaget ketika menemukan korban sudah dalam keadaan tergantung di atas kusen pintu di bagian dapur (hri)

Koran Bernas, Sabtu 24-10-09.

Mengetahui berita di koran tersebut, tim advokasi RTND segera melakukan investigasi ke Polsek Bantul. Dari penuturan Wakasubnit Reskrim Polsek Banguntapan Bantul, Yuni telah bekerja di rumah Joko Supriyanto selama tiga minggu. Selama itu pula Yuni tak menunjukkan perilaku aneh. Namun pada Kamis, 22 Oktober 2009, Yuni nekat mengakhiri hidup dengan cara gantung diri dengan menggunakan kain selendang yang diikatkan pada salah satu kusen di rumah majikannya. Setelah melakukan olah TKP dan memeriksa kondisi mayat, polisi sementara menyimpulkan bahwa korban bunuh diri karena tidak ada tanda-tanda penganiayaan di sekujur tubuh korban. Hasil visum terhadap korban belum dapat dilaporkan, namun dokter forensik yang memeriksa korban di TKP menyatakan ciri-ciri mayat korban sesuai dengan identifikasi pada kasus gantung diri, yaitu lebam di kaki dan tangan akibat posisi gantung yang menyebabkan seluruh darah berkumpul di kaki. Juga bekas luka di leher akibat tercekik selendang dan pemecahan pembuluh darah di otak. Menurut pengakuan keluarga, korban menderita gangguan jiwa/stres. Motif PRT bunuh diri dengan gantung diri masih dalam penanganan kasus tim advokasi RTND untuk mengetahui kejelasan penyebab korban nekat mengakhiri hidup dengan begitu tragis.

Rabu, 14 Oktober 2009

SAIMAH: DIDEPORTASI AKIBAT KETELEDORAN PJTKI

Saimah, perempuan yang lahir di Wonosobo, 29 Desember 1975 ini mempunyai tiga orang anak. Anak Saimah berumur 19 bulan, 10 tahun dan 13 tahun. Suami Saimah adalah buruh tani. Saimah pernah bekerja di Singapura selama 1 tahun. Saimah waktu itu berangkat ke Singapura tanggal 9 April 2003 – 31 Agustus 2004. Oleh sponsor (calo yang terdiri dari dua orang, yaitu petugas lapangan dan tetangga Saimah sendiri), Saimah ditawari kerja kembali ke Singapura. Saimah masih bingung karena pada pekerjaan yang dulu di Singapura, Saimah tidak menyelesaikan kontrak selama dua tahun.

Pada waktu itu, masalahnya bukan pada Saimah. Majikan Saimah kehilangan pekerjaan sehingga tidak bisa membayar Saimah. Saimah lalu ditawari oleh majikannya tersebut dua pilihan, yaitu: kembali ke Indonesia atau ke agen di Singapura. Kalau balik ke agen, Saimah masih jadi tanggungan majikannya selama seminggu tapi kalau balik ke Indonesia Saimah harus membayar pesawat sendiri. Saimah memilih pulang ke Indonesia karena suami menyuruhnya pulang.

Pada awal bulan September 2009 Saimah setuju untuk bekerja di Singapura. Saimah datang ke Training Center di Kebumen pada tanggal 3 September. Karena masalah kontrak lama Saimah di Singapura yang belum terselesaikan tersebut, agen Kebumen memastikan ke agen Singapura bahwa paspor Saimah tidak bermaslah. Ternyata paspor Saimah memang tidak bermasalah. Kemudian agen Kebumen berani membuatkan paspor baru untuk Saimah.

Pada tanggal 9 September 2009 Saimah membuat paspor di Solo. Ketika membuat paspor di Solo, petugas imigrasi Solo menyuruh Saimah berbohong dengan mengaku bahwa Saimah belum pernah membuat paspor. Petugas imigrasi Solo beralasan jikalau Saimah berkata sudah pernah membuat paspor, maka Saimah akan di denda 200 ribu rupiah. Oleh petugas imigrasi Solo Saimah juga disuruh berbohong untuk berkata tidak pernah bekerja di Singapura sebelumnya. Saimah tak tahu alasan si petugas imigrasi menyuruhnya berkata demikian, namun Saimah menurut saja.

Tanggal 16 september 2009, anak-anak yang akan menjadi TKW di penampungan diijinkan pulang/diliburkan sampai tanggal 28 Sepetember 2009. Sebelumnya mereka disuruh menandatangi perjanjian keharusan kembali ke penampungan sebelum tanggal 28 September 2009.

Pada hari Kamis tanggal 1 Oktober 2009 Saimah menjalani BLK di Semarang. Pada hari Jumat tanggal 2 Oktober 2009 Saimah test interview di kantor PT Kebumen di penampungan karena ada majikan dari Singapura mau ambil. Interview Saimah dilakukan lewat internet. Ada dua kandidat, yaitu Saimah dan Surati. Hari Sabtu tanggal 3 Oktober 2009 Saimah kembali menjalani test interview. Yang terpilih adalah Saimah karena Surati lebih pendek. Pada tanggal 6 Oktober Saimah calling visa dan memastikan akan berangkat ke Singapura tanggal 9 Oktober 2009. Pada tanggal 8 Oktober 2009 Saimah menjalani KTKLN di Semarang, dimana satu tempat dengan BLK.

Pada tanggal 9 Oktober 2009 Saimah berangkat dari Yogyakarta menuju Singapura tanpa transit. Saimah sampai di Singapura pukul 10.30 pagi. Saimah dijemput agen di Singapura lalu dibawa ke tempat agen tersebut untuk di interview. Semua biaya, yaitu: medical, paspor, calling visa, pemberangkatan dan uang pesangon, nanti dicicil dengan gaji Saimah selama bekerja di Singapura. Saimah tidak mengeluarkan biaya sepeser pun selama sebelum proses pemberangkatan tetapi dengan perjanjian kalau seandainya di Singapura Saimah tidak lulus test 3 kali, harus mau turun ke Malaysia.

Perjanjian Saimah selama bekerja, kontrak 2 tahun. Gaji Saimah 340 dollar Singapura. Selama kontrak tersebut gaji Saimah dipotong selama 8 bulan. Potongan berjumlah 330 dollar Singapura selama 8 bulan sampai bulan Juni dan selebihnya gaji sepenuhnya milik Saimah. Saimah setuju dan menandatangi perjanjian diatas. Perjanjian ditanda-tangani Saimah setelah berada di agen Singapura.

Pada siang, hari Sabtu tanggal 10 Oktober 2009 Saimah diantar ke rumah majikan, tepatnya jam 2 siang. Saimah telah bekerja selama 3 hari di Singapura. Agen di Singapura hendak membuat work permit untuk Saimah. Agen menanyakan paspor lama Saimah dengan menelepon agen di Kebumen. Saimah mengaku bahwa paspor lamanya berada di training center di Kebumen. Agen Singapura mendapati nama di paspor Saimah yang lama berbeda dengan nama di paspor yang baru. Nama di paspor lama adalah Sainah binti Marinti. Nama di paspor baru adalah Saimah.

Agen Singapura kemudian menelepon Saimah di tempat kerja menanyakan perihal perbedaan nama di paspor baru Saimah. Agen Singapura menyangka paspor baru Saimah adalah paspor bohongan. Agen Singapura bertanya siapa yang membuat paspor baru Saimah. Saimah menjawab paspor dibuat oleh PT Kebumen. Saimah mengakui tidak mengecek/mencocokkan nama di paspor lama dengan paspor baru. Jika Saimah mengetahui lebih dahulu namanya tidak sama dengan paspor lama, maka ia akan mengundurkan diri lebih dahulu.

Agen Singapura memarahi agen di Kebumen. Agen di Kebumen berdalih paspor lama Saimah baru disampaikan oleh pihak sponsor Saimah kepada agen di Kebumen setelah paspor baru Saimah telah jadi. Saimah merasa ketika pertama kali masuk di PT Kebumen pada tanggal 3 September 2009, Saimah melihat semua data-datanya seperti akta kelahiran, KTP, ijin suami, dan surat dari lurah juga paspor lamanya telah ada di PT Kebumen. Saimah mengaku agen di Kebumen tidak pernah berkata pada Saimah bahwa nama di paspor baru harus mengikuti/cocok dengan nama di paspor lama. Saimah merasa tidak bersalah.

Agen di Singapura berkata bahwa Saimah sudah tidak boleh lagi kerja di Singapura karena sidik jari Saimah di paspor lama sudah tercatat di kantor imigrasi Singapura. Saimah beruntung tidak diadukan polisi karena akan kena denda dua ratus ribu rupiah. Saimah kembali pulang ke Indonesia dengan biaya dari agen Singapura. Agen Singapura mengakui hal yang menimpa Saimah adalah murni kesalahan PT Kebumen. Saimah yakin ini bukan salahnya karena kesalahan ini di luar dari isi perjanjian yang pernah ditandatangi Saimah sebelumnya.

Sampai saat ini Saimah masih trauma dan tak ingin balik ke Singapura lagi. Saimah ingin bekerja di Jakarta atau di Kalimantan saja satu keluarga. Hanya kalau diijinkan Saimah akan bekerja di Malaysia.

Jumat, 09 Oktober 2009

Pengakuan Majikan Hapsari Dikonfrontir dengan Saksi

Jumat, 09 Oktober 2009 pukul 23:03:00


BEKASI--Kepolisian Resor (Polres) Metro Bekasi Kabupaten, mengkonfrontir tersangka penganiayaan pembantu rumah tangga (PRT), Hapsari, hingga tewas dengan sejumlah saksi.

“Tersangka Sri Tien Suhartini Kaban dikonfrontir sebagai upaya mengetahui kesamaan atau perbedaan fakta yang diperoleh dari keterangan para saksi dan tersangka," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim), AKP Susatyo Purnomo Condro, Jumat (09/10).

Untuk itu, polisi sudah menghadirkan sejumlah saksi seperti Naptali Andreas (suami tersangka), Yuliana (babby sister), Abdul Ghafur dan Ucup Supriatna (petugas kebersihan perumahan). Pemeriksaan secara instensif dilakukan, untuk mendapatkan keterangan tentang kronologis proses penganiayaan.

Sebab, kata Susatyo, dari hasil forensik di sekujur tubuh korban ditemukan luka lama dan luka baru. Sehingga dipastikan telah terjadi kekerasan yang berulang kali terjadi, namun masih dipelajari waktu penganiayaannya.

Walau sudah dikonfrontir dengan keterangan para saksi, tersangka yang menikah dengan suaminya tahun 2005 silam itu tetap tidak mengakui perbuatannya. Bahkan, tersangka menuding Yuliana dan suaminya yang membunuh Hapsari.

Susatyo mengatakan, pihaknya juga terus memantau kondisi kejiwaan tersangka. Hingga saat ini, ujarnya, tersangka memang belum diperiksa ke psikolog, karena masih dilihat berkembangannya hingga beberapa hari ke depan.

Hapsari bekerja di rumah tersangka di Perumahan Taman Sentosa Blok D15, Nomor 3, Desa Pasirsari Rt24/08, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, sejak sembilan bulan lalu. Korban ditemukan tewas Senin (05/10) sekitar pukul 02.00 Wib, diduga akibat penganiayaan berulang-ulang. c14/pur

Rabu, 07 Oktober 2009

Field Trip: Pengadilan Negeri Sleman

Sebagai bagian dari materi pendidikan kritis, kemarin Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) bersama para murid sekolah pekerja rumah tangga (SPRT) angkatan 16 mengadakan field trip ke pengadilan negeri. Para murid SPRT dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: Ester, Yuli, Wiwik, Komariyah dan Fitri ke pengadilan negeri Jogja dengan didampingi Hayu, Dian dan Shanti, sedangkan Devi, Eva, Mia, Novi, Rini dan Siti bertandang ke pengadilan negeri Sleman dengan Nana dan Alvi sebagai pendamping.
Mengikuti kelompok kedua yang berangkat terlebih dahulu, karena mengingat jarak tempuh yang lebih jauh yaitu Sleman, mereka berangkat sekitar pukul sembilan dari RTND. Dengan memakai bus jurusan Jogja - Tempel, rombongan turun tepat di depan pengadilan negeri Sleman.
Memasuki areal pengadilan, awalnya para murid sempat bingung apa yang hendak dilakukan. Namun setelah berdiskusi, mereka sepakat membagi lagi menjadi dua kelompok berkaitan dengan pembagian kelompok perdata dan pidana. Mereka mulai sibuk mencatat agenda sidang yang terpampang di papan pengumuman.
Pada hari itu terdapat dua sidang perdata dan enam sidang pidana. Dari resepsionis, mereka mendapat kabar sidang perdata tengah dimulai di gedung sebelah. Oleh karena sidang pidana belum ada yang dimulai, mereka berbondong-bondong menengok sidang perdata di bangunan sebelah.
Sidang perdata beragenda masalah pergantian nama. Tepatnya, penggugat memasalahkan kekeliruan nama suami yang seharusnya Sumariyanto pada akta kelahiran kedua anaknya tetapi di akta tsb tertulis Suhariyanto. Tahap kali ini penggugat menampilkan dua saksi yang mengenal Sumariyanto, namun Majelis Hakim masih memerlukan bukti-bukti lain, semisal ijazah Sumariyanto sedari SD-SMP guna memperkuat bukti dan saksi yang sudah ada. Sidang ditunda sampai Selasa, 13 Oktober minggu depan. Sidang perdata kedua mengetengahkan penggugat dan gugatan yang sama tetapi dengan majelis hakim yang berbeda. Nyaris serupa sidang sebelumnya, sidang kedua juga ditunda dengan hari yang sama.
Kelompok ini membagi tugas, Rini, Devi dan Eva melihat sidang pembunuhan anak jalanan terhadap rekan sesama anak jalanan sedang Novi, Mia dan Siti mengikuti sidang pencurian di pasar godean oleh Terdakwa 2 Amry yang kemudian dilanjutkan sidang pengeroyokan.
"Sidangnya mengharukan sampai Mia juga ikutan nangis tadi," komentar Devi. Pasalnya, dalam sidang tadi dimana si pengeroyok adalah anak-anak yang mengetahui bahwa sang ibu disangka mempunyai hubungan dengan lelaki tetangganya. Anak-anak itu kasihan dan mendukung sang ayah, namun lain halnya dengan sang ibu yang malah getol membela si lelaki tetangganya itu. Para murid SPRT sampai tak habis pikir mendapati kenyataan itu.
Sementara Eva, Devi dan Rini mengikuti sidang pencurian pasar Godean yang menghadirkan terdakwa 1 Eko Suryanto dengan saksi-saksi dan Jaksa Penuntut Umum yang sama. Majelis Hakim geram mengetahui kenyataan bahwa terdakwa adalah keponakan korban.

Terdakwa sempat menitikkan airmata sebelum dan ditengah persidangan. Ia mengungkapkan penyesalan di muka majelis.
Bersamaan dengan berakhirnya sidang pencurian, tak berselang lama sidang pengeroyokan pun usai. Kelompok dua ini masih bersemangat, kemudian mereka mengikuti sidang korupsi di pondok pesantren di gedung sebelah sebagai sidang terakhir yang mereka ikuti.
Sekitar pukul satu, pengadilan negeri Sleman tampak lengang, tak seramai ketika rombongan dua SPRT datang tadi. Namun keenam murid masih tampak bersemangat dan antusias serta saling bercerita tentang sidang yang mereka ikuti. Usai menghabiskan bekal makan siang yang mereka masak bersama-sama tadi pagi, rombongan kedua kembali ke RTND dengan angkutan umum yang sama.
Field trip tsb begitu membekas. Bukan hanya dikarenakan ini adalah kali pertama pengalaman mereka menyambangi pengadilan, namun juga sekaligus sebagai bahan pembelajaran mereka di tempat kerja kelak bahwa apa-apa yang mereka lakukan akan mereka tuai hasilnya. Jika melakukan hal-hal dan segala pekerjaan dengan baik, tentu akan menyenangkan pengguna jasa, yang bahkan tak segan mungkin akan memberikan imbalan bonus, tetapi jikalau melakoni hal buruk tentu juga harus siap menjalani konsekuensi seperti yang mereka lihat dalam berbagai persidangan di pengadilan negeri Sleman sebagai contoh konkritnya.

Selasa, 06 Oktober 2009

Polisi Ungkap Kasus Pembunuhan PRT Oleh Majikan

Selasa, 6 Oktober 2009 22:24 WIB
Cikarang, Bekasi (ANTARA News) - Kepolisian Resor Metropolitan (Polrestro) Bekasi kabupaten, Jawa Barat, menetapkan Ny Sri Tien Suhartini Kaban, SE (31) sebagai tersangka dugaan kasus penganiayaan berat dan kekerasan dalam rumah tangga hingga menyebabkan Ny Hapsari (35), pembantunya meninggal dunia.

Kapolrestro Bekasi Kabupaten, Kombes Herry Wibowo dalam keterangan kepada wartawan, Selasa mengatakan, penanganan kasus tersebut bermula dari kecurigaan polisi saat melihat jasad korban dalam kondisi yang tidak wajar di Rumah Sakit Daerah (RSD) Kabupaten Bekasi, Senin (5/10).

"Saat itu tubuh korban sangat kurus hingga seluruh kerangka tubuhnya terlihat dengan jelas. Selain itu, nampak pula ada sekitar delapan tanda bekas upaya kekerasan di kulit korban, seperti luka bakar, siraman air panas, dan memar," katanya.

Berdasarkan laporan tersebut, pihak kepolisian melakukan pemeriksaan di rumah pelaku yang berlokasi di Perumahan Taman Sentosa Blok D 15 nomor 3 RT24/RW08, Desa Pasir Sari,Kecamatan Cikarang Selatan.

Di lokasi tersebut, pihak kepolisian berhasil memperoleh keterangan dari sembilan orang saksi yang berasal dari warga sekitar, rekan seprofesi korban, dan keluarga pelaku.

"Berdasarkan keterangan saksi dan hasil otopsi, pelaku melakukan kekerasan dengan cara melakban mulut korban, memukul dengan sapu, korban disiram air cabai, disuruh telanjang dan disundut rokok pada tangan dan kemaluannya, dipukul pada bagian punggung, korban disuruh sujud di dapur berjam-jam, disuapi dan dipaksa makan nasi yang belum matang," katanya.

Akibat kondisi tersebut, kata dia, korban menderita depresi sehingga badannya kurus kering dan akhirnya meninggal dunia karena dianiaya oleh pelaku.

"Barang bukti yang kami amankan di TKP (tempat kejadian perkara) berupa, satu piring nasi matang dan satu potong ayam, satu lakban bening, satu potong gagang sapu, satu buah asbak berikut sembilan puntung rokok, satu buah cobek dan muntu batu, satu botol betadin cair," katanya.

Hingga kini, pihaknya memperoleh dua kesimpulan terkait dengan kematian korban. Yakni, akibat sulit bernafas setelah tenggorokannya tersumpal nasi setengah matang.

"Dari hasil otopsi, kami juga memperoleh keterangan bahwa hati korban mengalami sobek akibat hantaman benda tumpul dari bagian punggung," katanya.

Ia menambahkan, hasil cek kesehatan jiwa tersangka diperoleh keterangan bahwa yang bersangkutan tidak menderita gangguan jiwa, melainkan memiliki tingkat depresi timggi dan sulit mengatur emosi.

"Pelaku kami jerat pasal berlapis yakni pasal 351 sub pasal 359 ayat 1 sub 306 KUHPidana dan pasal 44 nomor 23 tahun 2004 tentang penganiayaan, kelalaian, dan menelantarkan orang yang membutuhkan pertolongan," kata Herry Wibowo.

Sementara itu, rekan seprofesi korban Yuliani (25), yang bekerja sebagai pengasuh anak mengatakan, pelaku kerap melakukan tindak kekerasan terhadap korban bila pekerjaan yang tengah ditanganinnya lambat.

"Saya sering mendengar bentakan dan pukulan yang dilakukan majikan saya kepada Hapsari. Saya diancam untuk tidak menceritakan kejadian ini kepada siap pun atau saya akan dipecat. Bila ada yang menanyakan tentang Hapsari saya disuruh bilang ia sudah pulang kampung," katanya.

Menurut Yuli, korban yang merupakan warga Kampung Kedungan, RT01 RW05, Kelurahan Melandi, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, telah menjalani siksaan tersebut sejak ia bekerja pada enam bulan yang lalu.

"Ia adalah lulusan SD. Obrolan terakhir dengan saya, ia bekerja untuk menghidupi keluarganya di kampung. Sari (Hapsari) sering disiksa kalau pekerjaannya lambat," kata Yuli.(*)

Pernyataan Sikap JALA PRT - JAKERLA PRT atas Tindak kekerasan terhadap PRT Hapsari di Bekasi, 5 Oktober 2009

STOP BERPIKIR MENUNGGU KASUS ! : WUJUDKAN SEGERA UU PERLINDUNGAN PRT DAN DUKUNG KONVENSI ILO PERLINDUNGAN PRT

Pernyataan Sikap atas Tindak Kekerasan thd PRT Hapsari di Bekasi 5 Oktober 2009

Lamp. : -
Jakarta, 6 Oktober 2009
Kepada Yang Terhormat:
Pimpinan Redaksi, Reporter
Media Massa

Di Tempat

Dengan hormat,
Pada tanggal 6 Oktober 2009, media massa memberitakan adanya tindak kekerasan terhadap PRT bernama Hapsari (39) - asal Wonosobo - yang dilakukan oleh kedua majikannya yang bertempat di Taman Sentosa Blok D15 No. 3 Pasirsari Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi. Dari berita tersebut dan investigasi pihak Kepolisian Resort Metro Kabupaten Bekasi, diketahui bahwa selama 9 bulan bekerja Hapsari mengalami berbagai tindak kekerasan baik psikis – pengekangan dan tekanan psikis; kekerasan ekonomi – upah yang tidak dibayarkan, dan tidak diberi fasilitas yang layak; kekerasan fisik – dari bukti pemeriksaan forensik terjadinya penganiayaan berat berulang kali: badannya diseterika, kekerasan benda tumpul, siraman air panas, sundutan rokok, sehingga korban menderita luka parah dan meninggal.

Tindakan yang dilakukan kedua suami istri majikan Hapsari yaitu Naptali Andreas dan Sritian Suharti adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, pelanggaran terhadap hak-hak PRT sebagai pekerja dan merupakan tindak pidana kejahatan kekerasan dalam rumah tangga (KdRT) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Tindak kekerasan terhadap PRT di atas adalah salah satu dari daftar panjang tindak kekerasan yang dilakukan majikan terhadap PRT. Tercatat dari berbagai sumber data yang dihimpun oleh JALA PRT, dalam setiap tahun terjadi minimal 5 kasus kekerasan yang sangat berat terhadap PRT, termasuk di dalamnya sehingga korban meninggal, di samping korban yang luka parah dan trauma.

Kasus-kasus kekerasan fisik di atas belum termasuk persoalan eksploitasi terhadap PRT dan kasus kekerasan dalam bentuk lain yang dialami oleh PRT, seperti kasus kekerasan ekonomi – upah yang tidak dibayar, pemotongan upah semena-mena; pelecehan dan tindak kekerasan seksual; kekerasan psikis (di penjara dalam rumah majikan), namun kasus tersebut tidak terangkat dan diketahui. Data dari berbagai sumber menunjukkan dari tahun 2000-2008 terdapat 472 kasus kekerasan yang dapat terlihat karena ada lembaga yang mendampingi serta adanya media dan publik yang memberitakan.

PRT adalah segmen pekerja yang sangat dibutuhkan untuk jutaan rumah tangga, yang memungkinkan anggota rumah tangga menjalankan berbagai jenis aktivitas publik dan di segala sektor. Realitas menunjukkan karir, profesionalitas, kesejahteraan keahlian di berbagai bidang juga karena peran ”tokoh di belakang layar” yaitu ”PRT”, karena tugas-tugas domestik digantikan oleh Pekerja Rumah Tangga. Maka bisa dibayangkan rantai elemen kontribusi ekonomi, sosial dan kerja ratusan ribu dan jutaan orang di segala sektor penyelenggaraan negara dan melewati batas negara, pendidikan, pengembangan iptek, usaha: industri barang, jasa, hiburan juga karena kontribusi PRT. Bisa dilihat dalam waktu menjelang, masa dan pasca lebaran bagaimana ribuan majikan sibuk mencari tenaga kerja PRT dan juga aktivitas publik belum pulih ketika PRT belum kembali bekerja.

Namun demikian, dalam realitasnya, Pekerja Rumah Tangga ini rentan berbagai kekerasan dari fisik, psikis, ekonomi, sosial. PRT berada dalam situasi hidup dan kerja yang tidak layak, situasi perbudakan. PRT mengalami pelanggaran hak-haknya: upah yang sangat rendah (< rata-rata) ataupun tidak dibayar; ditunda pembayarannya; pemotongan semena-mena; tidak ada batasan beban kerja yang jelas dan layak - semua beban kerja domestik bisa ditimpakan kepada PRT, jam kerja yang panjang: rata-rata di atas 12-16 jam kerja yang beresiko tinggi terhadap kesehatan, nasib tergantung pada kebaikan majikan; tidak ada hari libur mingguan, cuti; minim akses bersosialisasi - terisolasi di rumah majikan, rentan akan eksploitasi agen - korban trafficking, tidak ada jaminan sosial, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan, dan PRT migran berada dalam situasi kekuasaan negara lain. Pekerja rumah tangga tidak diakui sebagai pekerja, karena pekerjaan rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan yang sesungguhnya dan mengalami diskriminasi terhadap mereka sebagai perempuan, migran, pekerja rumah tangga dan anak-anak. Dikotomi antara PRT baik domestik dan migran dengan buruh domestik dan migran pada sektor yang lain sering mengakibatkan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif bagi PRT domestik dan migran.

Sementara di sisi lain perlindungan hukum baik di level lokal, nasional dan internasional tidak melindungi PRT. Kondisi ini yang semakin memberi ruang sistematis bagi pelanggaran hak-hak PRT. Mengambil pelajaran dari situasi tidak layak - perbudakan dan peristiwa penganiayaan terhadap PRT baik domestik, migran, termasuk anak-anak, penting untuk mengingatkan kepada negara: pemerintah, dan wakil rakyat yang selalu berpikir menunggu jumlah kasus, baru kemudian mengambil langkah. Dalam realitasnya dan andai bisa bercerita, maka akan kita tahu bahwa jutaan kawan-kawan PRT mengalami persoalan eksploitasi, kerentanan pelecehan dan kekerasan, dan mereka tak berdaya menyuarakannya. Maka bagaimanapun sistem perlindungan baik Undang-Undang Perlindungan PRT dan Konvensi ILO Perlindungan PRT untuk mencegah dan melindungi PRT dari berbagai tindak kekerasan adalah hal yang mendasar dan mendesak.

Berangkat dari penganiyaan terhadap PRT bernama Hapsari dan juga tindak kekerasan – eksploitasi terhadap PRT-PRTA lainnya, dengan ini maka JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga) – JAKERLA PRT menyatakan sikap:
1. MENDESAK kepada aparat hukum terkait kepolisian, kejaksaan dan hakim pengadilan dari yang tertinggi hingga khususnya di tingkat lokal kasus yaitu Kepolisian Resort Metro Kabupaten Bekasi, Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi dan Pengadilan Negeri Kabupaten Bekasi untuk bertanggungjawab menegakkan proses hukum yang transparan dan adil atas kasus kekerasan yang dilakukan majikan yaitu Naptali Andreas dan Sritian Suharti terhadap PRT – Hapsari;
2. MENDESAK kepada pemerintah khususnya lembaga hukum untuk memberikan sanksi kepada aparat hukum terkait dalam penanganan proses hukum kasus kekerasan terhadap PRT, apabila aparat hukum yang bersangkutan tidak menegakkan hukum dan memberikan hukuman yang tidak adil (ringan) bagi pelaku;
3. MENDESAK Pemerintah khususnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk segera mewujudkan UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) dan mendukung lahirnya Konvensi ILO Perlindungan PRT;
4. MENDESAK Pemerintah khususnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk STOP BERPIKIR MENUNGGU JUMLAH KASUS PRT !!!;
5. MENDESAK kepada pemerintah lokal khususnya Dinas Tenaga Kerja, Kantor Pemberdayaan Perempuan, di tingkat lokal agar bekerja sama dengan lembaga di tingkat kelurahan/kampung untuk mengambil inisiatif langkah-langkah perwujudan mekanisme perlindungan PRT, seperti mewujudkan Libur Sehari dalam 1 Minggu bagi PRT dan mewujudkan PERDA Perlindungan PRT;
6. MENDESAK kepada pemerintah daerah untuk menggiatkan monitoring oleh RT RW atas majikan dan situasi PRT yang bekerja di wilayahnya, membuat sanksi sosial dan menyebarkan daftar majikan pelaku kekerasan terhadap PRT, serta membuat larangan bagi majikan pelaku kekerasan terhadap PRT untuk mempekerjakan PRT.
Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya kami mengucapkan terima kasih.

Salam,
JAKARTA, 6 OKTOBER 2009
JALA PRT - JAKERLA PRT
(JARINGAN KERJA LAYAK PEKERJA RUMAH TANGGA)

Kontak Person:
Anis Hidayah Migrant Care : 081578722874, Lita Jala PRT: 0811282297, Ririn Serikat PRT Tunas Mulia: 08121583102



JALA PRT (JARINGAN NASIONAL ADVOKASI PEKERJA RUMAH TANGGA):
Atma Solo
Bupera FSPSI Reformasi
Care International Indonesia
Institut Perempuan Bandung
ICM
Koalisi Perempuan Indonesia
KOHATI
Kongres Operata Yogyakarta
Kapal Perempuan
SAKPPD Surabaya
LAP Damar Lampung
LARD Mataram
LBHP2I Makassar
LBH APIK Jakarta
LBH Bali
Mitra ImaDei
Migrant Care
Muslimat Jatim
Ngadek Sodek Parjuga
OWA Palembang
OPERATA Semarang
Perisai Semarang
Perempuan Khatulistiwa Pontianak
PP Fatayat NU
Rifka Annisa
RUMPUN Tjoet Njak Dien
RUMPUN Gema Perempuan
Sahabat Perempuan
Serikat PRT Tunas Mulia
Serikat PRT Merdeka Semarang
SBPY
SPEKHAM
SP Kinasih
Surabaya Child Crisis Center
SUER Samarinda
YPHA
dan Para Individu lainnya
ASPEK INDONESIA
ATKI
ARDHANARY
CIMW
FAKTA
FSBI
HRWG
IMWU
IWORK
INSTITUT ECOSOC
INDIES
INFID
IPMIK
JARAK
JURNAL PEREMPUAN
KALYANAMITRA
KOTKIHO
KOMJAK
LBH JAKARTA
MIGRANT CARE
PBHI JAKARTA
PAKUBUMI
PEMILIK
RAHIMA
SARI
SBMI
SOLIDARITAS PEREMPUAN
SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG
TURC
UPC UPLINK

Senin, 05 Oktober 2009

KOY: Harus Selangkah Lebih Maju!

"KOY sudah berumur setengah tahun, itu artinya kita juga sudah bisa mereview, apa yang telah dan belum kita lakukan!" ujar Nono Karsono disela pertemuan Community Leader (CL) dari Organisasi-Organisasi Pekerja Rumah Tangga (OPERATA) dampingan Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) kemarin.

Pertemuan CL ini rutin diadakan minggu pertama setiap bulannya. Selain saling bertukar informasi antar Operata, pertemuan ini juga menjadi ajang review program-program yang telah dilakukan Operata masing-masing sehingga dapat menjadi masukan pada Operata lainnya untuk melaksanakan program yang sama.

Pada pertemuan kali ini membahas tentang Kongres Operata Yogyakarta (KOY). KOY sendiri adalah wadah perjuangan para Operata yang tersebar di beberapa daerah di Yogyakarta demi perlindungan terhadap pekerja rumah tangga (PRT). Seperti yang dikemukakan diatas, semenjak deklarasinya pada tanggal 19 April 2009 lalu, KOY kini hampir genap berusia 6 bulan. Bukan waktu yang lama tetapi juga tak bisa dibilang sebentar untuk tumbuh kembang sebuah organisasi.

"Ibarat baju, KOY adalah baju yang bagus, tetapi kenapa kita belum mau memakainya?" terang Nono setelah menelaah apa saja yang telah dilaksanakan KOY selama ini.

Hal tersebut memang bukan isapan jempol, mengingat KOY sudah boleh dibilang melakoni banyak hal selain melaksanakan program-program pendidikan seperti komputer dan bahasa inggris, diantaranya dengan dipercaya sebagai ketua JPPRT (Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) Yogyakarta. Harus diakui, kepercayaan yang diberikan ini sebuah nilai tambah bahwa KOY jelas adalah sebuah organisasi yang nyata bentuk dan gerakannya.

Baru-baru ini, KOY juga mengirim surat kepada Presiden RI sebagai protes atas keputusan pemerintah karena menyetujui standar pengaturan nasional bagi perlindungan pekerja rumah tangga hanya dalam bentuk rekomendasi yang tidak mengikat, bukan sebuah konvensi seperti yang dikehendaki KOY dan teman-teman pekerja seperjuangan lainnya. Sikap KOY sekaligus makin mengukuhkan representasinya sebagai organisasi yang bukan hanya omong doang. KOY juga ingin menyerukan gerakannya, bukan hanya di tingkat lokal tetapi juga nasional, demi perlindungan terhadap nasib pekerja rumah tangga itu sendiri tanpa embel-embel kepentingan mana pun.

Ibarat sebuah baju pula, meski dipandang telah bagus untuk dipakai, tetapi kadang perlu permak-permak di beberapa tempat. Begitu juga KOY, sebagai organisasi dengan massa cukup besar dan tersebar, juga selalu memerlukan perbaikan dan masukan sana-sini. Kendala tak dipungkiri selalu muncul, apalagi mendengar keputusan pemerintah tentang standar ILO tempo hari yang sungguh mengecewakan dan sempat menyurutkan teman-teman PRT di KOY. Namun perjuangan tak berakhir disitu, pembenahan dan penambahan program serta aktivitas terus dilakukan KOY. Semoga dengan semangat dan kerja keras yang tak pernah padam, KOY dapat mewujudkan tujuan yang dicita-citakannya selama ini. Hidup Kongres Operata Yogyakarta!

Kamis, 01 Oktober 2009

Perjanjian Kerja: Momok Para Majikan

Nasib PRT = Selalu Kalah
PRT. Pembantu Rumah Tangga, babu kasarannya. Pekerja Rumah Tangga, begitu istilah baru yang coba diperkenalkan dan disosialisasikan satu dekade terakhir oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND), LSM yang bergerak di bidang penguatan, pendampingan dan perlindungan PRT pada masyarakat. Bicara soal nasib PRT, tentu masih lekang dalam ingatan kita kasus Ceriyati, atau yang terbaru kasus Siti Hajar, sekujur tubuh penuh bekas luka. Itu yang terekspose media, tentunya masih banyak kasus-kasus lain yang tak hanya menimpa PRT yang bekerja di luar negeri, tetapi di negeri sendiri, yang mengalami nasib serupa dengan pahlawan penyumbang devisa negara tersebut. Tetapi julukan istimewa itu ternyata tak seistimewa namanya, bahkan bertolak belakang dengan nasib mereka. Meskipun demikian, tetap jumlah tenaga kerja yang mengadu nasib keluar negeri tak surut, malah kian membengkak. Iming-iming materi, gaji dalam jumlah besar untuk menambal kebutuhan ekonomi seakan menutup mata mereka dari kekerasan yang kerap terjadi dan ketiadaan payung hukum yang menaungi.

Belum Ada Regulasi
Tak hanya PRT Migran, untuk PRT domestik pun yang nyata-nyata menjadi mayoritas pencaharian warganegara kelas bawah pun negeri ini belum bisa memberikan regulasi yang jelas. Ini sungguh ironis, mengingat peran penting pekerja rumah tangga dalam lingkup kerumahtanggaan. Namun justru lingkup kerja yang merupakan wilayah domestik atau privat itulah yang membuatnya tak terlihat dari luar sehingga pekerja rumah tangga sangat rentan terhadap kekerasan tetapi tak tersentuh hukum. Selain pola pikir masyarakat yang masih menganggap PRT adalah batur, ngemban tutur, sehingga titah majikan layaknya sabda pandita ratu yang harus dilaksanakan, tetapi hak-hak mereka tak pernah terpenuhi. Ironis bukan? Lalu siapa yang patut dipersalahkan? Mereka yang memilih profesi PRT akibat keterpaksaan ekonomi atau kah pemerintah yang hingga detik ini belum memberikan regulasi yang jelas dan spesifik mengatur upah dan kelayakan kerja bagi PRT? Saling tunjuk pun rasanya tak berguna. Yang terpenting adalah bagaimana cara memberi perlindungan bagi PRT dengan belum adanya naungan hukum. Diantaranya adalah dengan penggunaan perjanjian kerja karena salah satu penyebab kekerasan dan kelalaian hak oleh majikan disebabkan tidak adanya perjanjian kerja kedua belah pihak pada awal masa kerja sehingga majikan seperti diberi angin segar untuk melalaikan kewajiban dan ringan tangan dalam melakukan kekerasan.

Bukan Persoalan Yakin Tak Yakin
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah yakin penggunaan perjanjian kerja akan menjamin PRT memperoleh haknya? Masalahnya bukan pada yakin atau tak yakin, perjanjian kerja memang tak menjamin seratus persen PRT akan terbebas dari jerat kekerasan, namun paling tidak sembari menanti kejelasan regulasi oleh pemerintah Indonesia yang tersendat-sendat, perjanjian kerja dapat meminimalisir kelalaian hak-hak PRT oleh majikan.

Perda Yang Seolah-olah Hanya Tempelan
Meskipun demikian tak lantas perjanjian kerja bisa tersosialisasikan dengan mulus-mulus saja. Malahan, untuk level perjanjian kerja yang dapat dikategorikan level "terendah" dalam sebuah regulasi, tak banyak majikan atau pengguna jasa yang memakai perjanjian kerja sebagai sebuah kewajiban. Bahkan di dalam Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan wilayah Yogyakarta yang beberapa waktu lalu disahkan pun hanya menyebut kata DAPAT pada peraturan penggunaan perjanjian kerja. Istilah kata dapat berarti bukan sebuah keharusan, sehingga tanpa menafikan niat baik pemerintah dalam memulai langkah awal perlindungan bagi pekerja rumah tangga, sepertinya satu pasal dengan tiga ayat delegatif kearah penyusunan peraturan walikota tentang penggunaan perjanjian kerja itu seolah hanya tempelan belaka. Sebab dinilai dari segi hukum, kata DAPAT tak mencerminkan regulasi yang mengikat, dalam hal ini sanksi. Tentu saja kian melemahkan posisi perjanjian kerja untuk direalisasikan.

Momok Bagi Majikan
Selain hal-hal yang dipaparkan diatas, mayoritas majikan/pengguna jasa yang sepertinya enggan memakai perjanjian kerja lebih dikarenakan ketakutan majikan bahwasanya perjanjian tersebut hanya akan menguntungkan pihak pekerja rumah tangga (PRT). Padahal pemikiran itu adalah kekeliruan besar. Perjanjian kerja memuat kesepakatan hak dan kewajiban PRT dan majikan secara seimbang. Jadi tak hanya hak PRT, seperti upah, fasilitas, masa istirahat dan libur saja, melainkan kewajiban PRT sehingga kedua belah pihak mengerti bukan hanya hak dan kewajiban, melainkan konsekuensi yang mereka terima jika melanggar. Sekaligus memberikan pengakuan secara hukum jenis pekerjaan kerumahtanggaan ini mempunyai nilai ekonomis untuk mengatur hubungan kerja yang harmonis, produktif serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Kesadaran Yang Mendesak
Pada intinya, perjanjian kerja memang mempunyai nilai lebih untuk perlindungan pekerja rumah tangga, namun aturan yang lebih tinggi juga teramat diperlukan terutama mengingat belum adanya regulasi PRT baik di tingkat propinsi bahkan tingkat nasional. Persoalan yang paling mendesak adalah pentingnya kesadaran di tingkat majikan atau pengguna jasa akan penggunaan perjanjian kerja sebagai gerbang awal perlindungan PRT yang lebih konkrit demi terpenuhinya hak-hak pekerja rumah tangga secara keseluruhan yang selama ini telah banyak terabaikan.