Senin, 03 Mei 2010

PRT DIAKUI SEBAGAI PEKERJA

Senin, 03 Mei 2010

Sumber: Radar Yogya

Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan sebagai Terobosan

JOGJA – Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga DIJ (JPPRT-DIJ) menyambut positif langkah Pemkot dan DPRD Kota Jogja yang segera menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan. Jaringan yang terdiri dari beberapa organisasi, individu, dan serikat pekerja rumah tangga (PRT) ini secara khusus memberikan tanggapan terhadap pasal 37 perda tersebut. Pasal 37 dianggap sebuah pengakuan kedudukan PRT sebagai bagian dari dan sejajar dengan pekerja lainnya.

’’Kami memberikan apresiasi dan penghargaan kepada Pemkot Jogja tentang masalah ini,’’ ungkap Koordinator Divisi Advokasi Rumpun Tjut Nyak Dien (RTND) Buyung Ridwan Tanjung di sela koordinasi JPPRT-DIJ di rumah dinas wali kota Jogja, kemarin (13/6). Dimunculkannya pasal 37, lanjut Buyung, merupakan upaya terobosan hukum yang dilakukan pemkot dalam upaya perlindungan dan perwujudan terhadap hak-hak PRT.

Meski demikian, kata Buyung, masih ada yang harus diperbaiki. Ayat satu dalam pasal 37, misalnya. Kalimat dalam ayat itu yang berbunyi; pengguna jasa PRT dapat membuat perjanjian kerja sama secara tertulis dengan PRT, masih harus diberi catatan.

Buyung menilai, kalimat tersebut melemahkan semangat perlindungan terhadap hak-hak PRT. ’’Menurut kami perjanjian itu adalah kewajiban atau harus dilakukan antara pengguna jasa dan PRT,’’ tegasnya.

Demikian juga pada pasal tiga yang menyebutkan pedoman kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan wali kota. Sebagai ayat yang delegatif, penerbitan perwal merupakan bentuk tanggung jawab untuk menerjemahhakn perda tersebut. ’’Itu terutama dalam hal pendefisian jenis pekerjaan,’’ jelasnya.

Tapi, lanjutnya, yang paling utama adalah menyangkut hak-hak dan kewajiban PRT dalam perjanjian kerja sama antara PRT dan pengguna jasa. Hak-hak itu antara lain upah yang layak, jam kerja yang jelas, wilayah kerja yang jelas, dan hak libur yang jelas. Termasuk di dalam aturan yang harus diperjelas lewat perwal adalah ketentuan tentang sanksi bagi pelanggarnya.

Saat ini, diperkirakan lebih dari 7.500 PRT yang bekerja di Kota Jogja. Jumlah itu dipastikan lebih besar secara riil. Sebab, data itu dihimpun beberapa tahun lalu. ’’Yang pasti lebih banyak dari itu sekarang,’’ tegasnya.

Di sisi lain, ditetapakannya perda ketenagakerjaan ini dinilai akan lebih menjamin pekerja perempuan. Itu antara lain yang tercantum pada pasal 30. Sebelumnya, sempat terjadi perdebatan mengenai pekerja perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun tidak diperbolehkan bekerja antara pukul 23.00-06.00.

Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Jogja Ardianto menilai, pasal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Yakni, perempuan kurang dari 18 tahun diperbolehkan bekerja. Padahal usia kurang dari 18 tahun masih disebut sebagai anak-anak dan tidak boleh bekerja seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Berdasarkan kesepakatan, maka Konvensi ILO digunakan sebagai rujukan karena di dalamnya diatur mengenai batasan usia minimum diperbolehkan bekerja yaitu 15 tahun dengan syarat-syarat tertentu. (din)

Sabtu, 01 Mei 2010

Hari Buruh Internasional

Pernyataan Sikap
Kongres Organisasi PRT Yogyakarta (KOY) dan Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND)
Aksi Pekerja Rumah Tangga (PRT) Menuntut Status
PRT = PEKERJA

Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu : Pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja, memberikan perlindungan dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Akan tetapi, saat ini lapangan pekerjaan sangatlah sulit didapat. Hal ini yang melatarbelakangi tumbuhnya sektor informal. Data Sakernas 1998 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja (65,40 persen) di Indonesia tahun 1998 berusaha di sektor informal; sisanya bekerja di sektor formal (34,60 persen). Menurunnya jumlah pekerja formal (Data BPS: 2000 sekitar 34,8 % menjadi 32,2 % tahun 2001) berbanding terbalik dengan sektor informal (dari 65 % menjadi 68 %). Dan akan semakin besar jika pertumbuhan ekonomi tidak cukup signifikan. Keberadaan dan kelangsungan kegiatan sektor informal dalam sistem ekonomi kontemporer bukanlah gejala negatif, namun lebih sebagai realitas ekonomi yang berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional. Setidaknya, ketika program pembangunan kurang mampu menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja, sektor informal dengan segala kekurangannya mampu berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja. Di Propinsi DIY sendiri ada kurang lebih 37 ribu PRT yang artinya 1,5 % total PRT di Indonesia berada di Yogyakarta. Ini juga berarti bahwa pemerintah DIY tidak bisa berpangku tangan menunggu regulasi Nasional untuk melindungi PRT.

1 Mei atau Mayday diperingati sebagai Hari Buruh Internasional yang berawal dari usaha gerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh. Keikutsertaan Kongres Organisasi PRT Yogyakarta (KOY) yang merupakan organisasi payung yang beranggotakan 19 operata (Organisasi Pekerja Rumah Tangga) yang tersebar di Sleman, Bantul, Kota Yogyakarta dan Gunung Kidul pada hari buruh ini bukan tanpa sebab. Meski dari segi hukum, keberadaan PRT sebagai pekerja tidaklah diakui oleh negara. Negara baik di tingkat pusat maupun daerah masih saja disibukkan dengan keraguan bahwa PRT adalah sebagaimana pekerja lainnya sudah seharusnya mendapat perlindungan terhadap hak-haknya. Profesi pekerja rumah tangga adalah profesi yang berhak mendapatkan upah layak dan bentuk perlindungan hukum yang setara dengan buruh atau pekerja di sektor informal lain, karenanya tak ada alasan bagi pemerintah selaku pelindung warganegara dan majikan/pengguna jasa sebagai mitra kerja untuk tak mengakui PRT sama dengan pekerja melalui pemenuhan hak-hak dan perlindungan hukum yang setara.

Upaya KOY dalam perjuangan guna memperoleh ketegasan payung hukum atau regulasi yang sama yang selama satu dekade ini tertatih dan cenderung diskriminatif. Oleh karenanya, inisiasi Gubernur untuk segera merumuskan Peraturan Gubernur (PERGUB) tentang PRT pun sangat disambut baik dan didukung oleh KOY. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan yang termasuk dalam PERGUB tersebut hendaknya sesuai dengan standard Hak Asasi Manusia Internasional. PERGUB haruslah menjadi kepanjangan tangan penghormatan dan perlindungan hak –hak PRT baik sebagai pekerja maupun sebagai manusia.


Oleh karena itu pada hari Buruh Internasional ini, kami, Kongres Operata Yogyakarta dan Rumpun Tjoet Njak Dien, menyerukan:
1. Kepada masyarakat: Bahwa PRT adalah Pekerja Rumah Tangga, bukan Pembantu Rumah Tangga. Dengan demikian, perlindungan kepada PRT sebagaimana pekerja lainnya mutlak diterapkan kepada kami.
2. Kepada Negara: Berikan perlindungan hukum yang jelas bagi PRT dengan segera mensahkan RUU PRT di tingkat nasional.
3. Kepada Gubernur DIY: Realisasikan segera Peraturan Gubernur (Pergub) tentang PRT yang mengakomodir kepentingan PRT dengan seadil-adilnya dan sesuai dengan standard HAM yang diakui secara Internasional.


Hidup Perempuan !!!
Hidup Pekerja Rumah Tangga !!!

Yogyakarta, 1 Mei 2010



Sri Murtini
Sekjend KOY



Yuni Satya Rahayu
Ketua Badan Pelaksana RTND