Rabu, 19 Agustus 2009

PRT, merdeka atau mimpi?

Siaran Radio bekerjasama dengan Global FM
Rabu, 19 Agustus 2009, pukul 17.00 WIB.
Tema: Mimpi Kemerdekaan PRT
Narasumber: Nana dan Alvi


Tanggal 17 Agustus kemarin bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-64. Bulan Agustus identik dengan momen kemerdekaan, jika dihubungkan dengan kemerdekaan bagi pekerja rumah tangga (PRT), nampak jelas realita yang terjadi di masyarakat makna kemerdekaan dalam arti sebenarnya tentu saja belumlah dikecap oleh PRT. Padahal secara nyata pula mereka telah banyak berjasa dalam menangani pekerjaan di lingkup domestik. 
Belum lagi hak-haknya sepenuhnya terpenuhi, malahan terlanggar. Sebagai contoh tidak adanya kesempatan untuk berkumpul, berorganisasi sebagaimana realisasi pasal 28 UUD 45. Juga keterbatasan mengakses informasi, menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya. Pada intinya, kondisi PRT kita adalah PRT hanya sebagai batur, ngemban tutur. Apa yang dikatakan majikan maka itulah yang harus dilakukan.

Padahal kemerdekaan yang diimpikan para pekerja rumah tangga itu sendiri tak muluk-muluk. PRT hanya ingin setelah kewajiban-kewajiban mereka tunaikan, maka hak-hak mereka pun otomatis diterima. Tapi kenyataan adalah kebalikannya. Hak-hak PRT yang kerap menjadi permasalahan adalah soal upah layak ataupun upah yang tak dibayarkan oleh majikan. Namun sebenarnya masih banyak lagi hak-hak PRT yang kadang disepelekan oleh majikan, semisal: masa istirahat selama bekerja, libur/cuti satu hari dalam seminggu termasuk cuti saat haid, disamping juga tempat tinggal dan makanan yang layak, seringkali terlalaikan. Hak-hak tersebut adalah komponen dalam perjanjian kerja yang selama ini ditekankan dan disosialisasikan oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) Yogyakarta. 

Perjanjian kerja memang hanya salah satu jalan saja untuk meminimalisir pelanggaran hak-hak PRT, mengingat Undang-Undang yang mengatur PRT secara spesifik belum ada, meski untuk wilayah Yogya telah ada Perda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang memuat satu pasal dengan tiga ayat delegatif tentang pekerja rumah tangga, yaitu pasal 37. Karenanya, pemerintah juga diharapkan memberi perhatian terhadap permasalahan PRT ini. Hal itu dipicu oleh lingkup kerja PRT dalam ranah domestik yang dianggap wilayah privat dan sulit sekali tersentuh hukum yang menyebabkan PRT rentan terhadap kekerasan, sehingga PRT baru dianggap benar-benar merdeka ketika pekerjaan PRT tidak disepelekan lagi dan mereka yang ingin bekerja sebagai PRT tak lagi menganggap PRT adalah pekerjaan akibat keterpaksaan kondisi ekonomi maupun pendidikan yang minim, melainkan sebuah pilihan kerja atas kemampuan dan keterampilan mereka menjadi PRT. 

Paradigma pemikiran seperti itulah yang seharusnya dirubah. PRT adalah pekerjaan layak, bukan keterpaksaan. Jika tak mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan tinggi yang menimbulkan keterbatasan lapangan kerja, PRT harus menonjolkan kelebihan dari segi lain, semisal keterampilan. Untuk itu, harus ada pembekalan keterampilan sebelum terjun langsung ke dunia kerja. Seperti yang dilakukan RTND melalui sekolah PRTnya. RTND memang satu-satunya LSM yang berkecimpung dalam pemberdayaan PRT yang juga menyelenggarakan sekolah pekerja rumah tangga secara gratis, namun harapan ke depan, bukan hanya RTND saja yang menjadikan sekolah PRT sebagai sekolah alternatif pembekalan bagi PRT, melainkan juga agen-agen penyalur yang selama ini berkompeten terhadap meningkatnya kerentanan kekerasan pekerja rumah tangga.

Pembekalan keterampilan yang tak hanya di bidang kerumahtanggaan, babysitter dan pramurukti sebagai pokok materi, tetapi juga komputer, bahasa Inggris, pendidikan kritis tentang HAM, Gender, Kesehatan Reproduksi, etika dll menjadikan alumni sekolah PRT RTND sebagai pekerja profesional yang menghargai profesinya serta memerdekakan dirinya sebagai pekerja dalam artian selain melakukan kewajibannya secara penuh, PRT juga mendapatkan haknya seimbang pula.

Terkait dengan kemerdekaan dalam sebuah bangsa yang beraneka ragam, baik suku, agama, ras maupun profesi, diharapkan nantinya kemerdekaan bukan saja berarti lepas dari penjajahan, tetapi lebih pada pemerdekaan semua elemen bangsa, yang salah satunya adalah kemerdekaan bagi PRT dalam mendapatkan haknya selaku pekerja yang semestinya.

Tidak ada komentar: