Kamis, 11 Februari 2010

Regulasi PRT akan jadi Perda

Kamis, 11 Februari 2010 10:33:23


JOGJA: Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dengan tegas mengatakan tidak akan mencabut Surat Keputusan (SK) 244/Kep/2009 yang menganulir Peraturan Daerah (Perda) Kota Jogja, No.13 Tahun 200, Pasal 37 tentang Kontrak Kerja dan Perjanjian Kerja Pembantu Rumah Tangga (PRT).

Hal ini disampaikan Sultan menyusul adanya desakan dari Kongres Organisasi PRT Yogyakarta (KOY), dalam aksi demo yang dilaksanakan di Pemkot Jogja, Selasa (9/2). Aksi para pembantu yang didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) merasa kecewa terhadap SK Gubernur yang menganulir aturan perlindungan terhadap profesi pembantu rumah tangga.

Sultan mengatakan, penganuliran terhadap salah satu pasal dalam Perda yang diterbitkan Pemkot Jogja itu dilakukan menyusul adanya pembatasan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Ketentuan yang disyaratkan Mendagri dalam pembuatan Perda ketenagakerjaan adalah hanya mengatur para pekerja informal. Sedangkan, keberadaan PRT masih tergolong pekerja informal.

“Kan dasarnya sebelum Perda itu dikirim ke pusat. Itu (Perda) bisa dievaluasi oleh provinsi. Karena aturan dalam Perda itu ketentuan dalam negeri untuk tenaga kerja, bukan PRT yang sifatnya informal. Saya menolak itu, karena ada ketentuan atasan saya yang membatasi,” kata Sultan di Kepatihan, Rabu (10/2).

Menurut Sultan, SK itu sudah tepat. Namun bukan berarti Pemprov tidak berpihak pada PRT. Untuk masalah PRT, dia berjanji akan membentuk Perda sendiri. “Pemerintah Provinsi akan mengatur sendiri bentuk Perda bagi PRT (yang informal), karena Perda yang dibuat Pemkot itu masalah tenaga kerja. Untuk itu kami akan bentuk tim di tingkat provinsi, tak hanya untuk kota,” ujarnya.

Menanggapi pernyataan gubernur, Koordinator Advokasi PRT Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) Buyung Ridwan Tanjung mengaku tidak bisa mempercayai 100% atas janji gubernur. Alasannya, sejak 10 tahun lalu elemen masyarakat yang bergerak dalam memperjuangkan PRT sudah melakukan inisiasi mengenai Perda PRT agar masuk di tingkat provinsi.

“Tapi apa? Sama sekali tak pernah direspons. Padahal kami sudah memperjuangkan ini ke pihak eksekutif maupun legislatif, lengkap dengan draf Perda yang sudah kami buat. Jangankan direspons, masuk ke Prolegda saja tidak,” ujar dia dihubungi terpisah.

Menurutnya, Perda PRT tersebut sangat penting. Pasalnya, saat PRT diatur dalam perda, berarti PRT mendapat pengakuan sebagai pekerja. Sehingga, secara hukum para PRT telah memiliki perlindungan tersendiri bagi profesinya. Dengan diakuinya PRT sebagai pekerja, kata dia, PRT juga memiliki hak-hak yang sama dengan pekerja lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Buyung menolak apabila PRT dikatakan sebagai pekerja informal, yang memicu dikeluarkannya SK Gubernur tersebut. Karena, dalam UU Ketenagakerjaan, PRT sudah memenuhi tiga syarat untuk disebut sebagai pekerja, seperti pekerja formal pada umumnya. “Syarat itu adalah pekerjaan, adanya upah, serta adanya hubungan antara atasan dan bawahan,” imbuh dia.

Oleh Andreas Tri Pamungkas
Harian Jogja

Tidak ada komentar: