Sabtu, 10 April 2010

Launching Sekolah Perempuan di Gunung Kidul

Solo Pos
Edisi : Sabtu, 10 April 2010 , Hal.3
Tinggi, kejahatan seksual di Gunungkidul

Gunungkidul (Espos) Kejahatan seksual yang menimpa perempuan di Gunungkidul menempati urutan teratas dibandingkan kabupaten lainnya di DIY.

Tercatat 300 kasus yang ditangani Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND) sejak 2008. Perempuan di daerah sangat rentan menjadi korban karena kurangnya pemahaman dan akses informasi yang masih minim. Bagian pengorganisasian sending area wilayah Gunungkidul Rumpun RTND Gunungkidul, Lukman Hakim, mengatakan selain kurang informasi, sebagian besar perempuan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja di wilayah Yogyakarta. Profesi ini banyak diminati karena diyakini tidak memerlukan pendidikan dan mudah dilakukan meski perlindungan terhadap profesi ini kurang. Banyak ditemukan PRT diberikan jam kerja yang panjang, upah dan fasilitas yang minim tiada jaminan kesehatan. Lebih parahnya lagi perempuan banyak menjadi korban kejahatan seksual, pernikahan dini dan perceraian. Tercatat jumlah kekerasan seksual sebanyak 300 kasus pada 2007 dan 959 pada 2008. “Perempuan yang selalu menjadi korban tersebut karena kurangnya informasi pendidikan dan kesehatan tentang gender,” kata Lukmat di sela-sela launching sekolah perempuan yang diprakarsai Organisasi Pekerja Rumah Tangga Yogyakarta (KOY) dan RTND di balai Dusun Klopoloro I Giripanggung Tepus, Jumat (9/4). Sekjen KOY, Tri Murtini menambahkan, daerah yang sulit di akses informasi teknologi bahkan transportasi diperlukan sekolah bagi perempuan. Dengan tujuan bisa mengantarkan setiap orang untuk memiliki kontrol otoritas tubuh mereka dalam memilih perawatan bagi dirinya sendiri. Pembahasan yang ada pada sekolah perempuan terkait gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi dan seksual lainnya. Sekolah yang sudah berdiri sejak Agustus 2009 tersebut diharapkan bisa memfasilitasi ibu-ibu dan remaja putri di daerah terpencil untuk membangun peradaban pendidikan. Selain kekerasan, isu pertanian juga masih mendominasi bahwa perempuan selama ini masih menjadi buruh dalam bercocok tanam. Lukman menyatakan terkait tingginya PRT dari Gunungkidul yang jumlahnya mencapai 6.000 orang, pemerintah melihat dengan sebelah mata dengan menekan jumlah profesi ini. Pemerintah berorientasi bahwa pekerja PRT adalah warga miskin padahal kontribusi kepada keluarga cukup besar dari hasil upah yang diterima. Di sisi lain seolah-olah PRT menjadi sapi perah di mana uang hasil kiriman untuk foya-foya keluarga. Maka dari itu perlu pendekatan-pendekatan kepada keluarga yang bersangkutan untuk bisa memahami uang yang dikirimkan disesuaikan kebutuhan keluarga.

Tidak ada komentar: