Jumat, 25 Maret 2011

Antara Kapolda DIY dan “Sunan Kalijaga”

Oleh: Anton Tabah *)

MUNGKIN anda heran kenapa polisi mendata babu? Mungkin anda heran kenapa polisi ikut sibuk ngurusi eceng gondok di danau? Anda mungkin geli ketika polisi melarang sapi atau kerbau hamil untuk menarik pedati atau untuk membajak sawah? Kenapa heran? Tidakkah itu semua jika dibiarkan akan bermuara ke masalah kamtibmas yang menjadi tugas utama Polri.
Kenapa babu (PRT) didata polisi? Karena babu sering menjadi sumber gangguan kamtibmas. Tak jarang babu melakukan kejahatan mencuri atau membawa lari anak bayi majikannya. Polisi akan kesulitan jika tak punya data tentang babu-babu. Lalu kenapa eceng gondok? Tumbuhan eceng gondok jika menutup danau akan menjadi sarang tikus dan akan mematikan reproduksi ikan menyulitkan nelayan. Muaranya pada kerawanan kamtibmas.
Kenapa polisi melarang sapi atau kerbau hamil untuk menarik pedati? Karena perikebinatangan agar tidak mengganggu kesehatan sang sapi atau sang kerbau dalam rangka reproduksi. Tampaknya hal tadi remeh temeh tapi jika dibiarkan akan sangat potensial mengganggu kamtibmas.
Itu yang namanya faktor korelatif kriminogen dan police hazard. Polisi cerdas akan mengantisipasi karena tugas utama Polri adalah melakukan pencegahan (preventif) bukan penindakan (represif) sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 30 tugas pokok Polri mengutamakan pelayanan, perlindungan, pengayoman (preventif) baru langkah terakhir penegakan hukum (represif).
Kapolda DIY Brigjen Ondang Sutarsa juga punya inovasi menarik antara lain memberdayakan sarana hiburan/bisnis topeng monyet, menyebar anak buah yang mendalam ilmu agamanya untuk menjadi khatib salat Jumat di berbagai masjid dan musala di pelosok-pelosok desa, membuat group band dan keroncong untuk membaur dengan rakyat, membuat hiburan panggung boneka si Pentul, membuat panggung besar pagelaran wayang kulit dan ikut masuk ke acara rembug desa serta majelis-majelis taklim. Mungkin anda juga heran dengan cara Kapolda DIY ini?

Sunan Kalijaga
Semua tadi adalah inovasi cerdas seorang polisi bagaimana menyampaikan pesan-pesan kamtibmas memanfaatkan budaya (kultur) lokal/kearifan lokal yang terserak ternyata bisa menjadi media komunikatif untuk menyampaikan pesan-pesan kamtibmas. Seperti Sunan Kalijaga dan para Wali Sanga ketika menyebarkan dakwahnya tentang agama Islam di tengah masyarakat Hindu, Budha dan Animisme ketika itu. Sunan Kalijaga menyampaikan pesan-pesan dakwahnya melalui budaya pagelaran wayang kulit dan gamelan yang sangat disukai masyarakat. Hasilnya sangat signifikan monumental. Islam cepat berkembang ke seantero Nusantara menggantikan Hindu, Budha dan Animisme.
Dalam ilmu komunikasi ada teori ”tangkap kuda dengan kuda” secara ilmiah disebut ”autoplastis communication” (manjing ajur ajer) mengetahui dan memahami apa kesukaan komunikasi supaya pesan-pesan komunikator mudah dicerna, difahami dan diterima karena komunikasi adalah pengoperan lambang-lambang bermakna antara komunikator dengan komunikan baik langsung maupun melalui media. Komunikasi yang baik efektif diibaratkan menangkap kuda dengan kuda? Sebinal apapun kuda jika ditangkap dengan kuda akan nurut juga. Sesulit apapun pesan disampaikan jika melalui budaya dan kearifan masyarakat insya Allah akan berhasil juga.

Polisi Memang Harus Cerdas
Metoda Sunan Kalijaga monumental seperti wayang kulit dan gamelan sekaten setiap memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW gamelan sekaten selalu merdu bertalu-talu ditingkah hiruk pikuk bazar akbar murah sebulan penuh di Alun-Alun Utara dan Masjid Agung. Para komandan polisi di Jawa biasanya memanfaatkan media wayang kulit merangkul para dalang dan sinden menyampaikan pesan-pesan kamtibmas.
Cermatilah berbagai inovasi Kapolda DIY ini. Membuat grup band dan keroncong sebagai media mengumpulkan massa, membagi suka, berjoget ria di area publik menyisipkan pesan-pesan kamtibmas. Panggung si Pentul dengan boneka dan badut cerdik jenaka, lebih dekat berkomunikasi dengan anak-anak balita sampai usia sekolah dasar (SD) aplikasi membumi program polisi sahabat anak.
Polisi menjadi katib di masjid-masjid sarana silaturahmi dengan rakyat yang efektif sekaligus amar ma’ruf nahi munkar karena pesan-pesan kamtibmas sarat dengan amar ma’ruf. Tapi polri lebih didesain ke nahi munkar karena hukum itu benda mati baru hidup di tangan polisi. Polisi tak boleh cuma berdoa jika melihat kejahatan (munkar). Jika yang lain cuma bisa mengingatkan ”jangan mencuri”. Polisi benar-benar melarang dan menangkap pencuri sehingga hukum benar-benar hidup.
Lalu inovasi topeng monyet? Kita tahu topeng monyet cukup digemari masyarakat karena gerakannya lucu di tingkah bunyi gamelan dan kecerdikan pawangnya. Begitu pula kecerdikan Kapolda merevitalisasi topeng monyet yang sering di lampu-lampu pengatur lalu lintas. Sang monyet meliuk-liuk menari sesekali membuka poster-poster kamtibmas ; Awas narkoba, Say No To Drugs, Disiplin Lalu Lintas dll. Sang monyet jenaka menutup akrobatnya dengan membentang spanduk ; Monyet saja disiplin, bagaimana Anda?
Penonton dan pemakai jalan pun tergelak-gelak setidaknya bertanya dalam hati ; iya ya monyet saja disiplin kog saya tidak?
Inovasi Kapolda DIY bukan hanya komunikatif. Tapi sekaligus membuat polisi simpatik di tengah masyarakat yang haus kelembutan, menjadi polisi memang harus cerdas, jenaka, sabar. Muaranya adalah simpatik dirindukan dan dicintai rakyat Insya Allah!

*) Anton Tabah, seorang Jenderal Polisi (aktif), Dosen Tamu di berbagai Perguruan Tinggi dan Kolumnis Pemimpin Umum HK, Penasehat ESQ dan Pesantren se-Indonesia.

Tidak ada komentar: